25. Rencana Dashia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 25 Rencana Dashia

Dashia terdiam, tiga detik penuh ia memastikan telinganya tak salah dengar dengan pernyataan penuh emosi Eiza yang cukup mengejutkannya.

“Kau mencintai Marcuss, kan?”

Dashia memberikan satu anggukan kepala.

“Satu-satunya alasanku menerima semua ini hanya karena Ezlin yang berada di tangannya. Aku sama sekali tak menginginkan pernikahan ini, apalagi mencintai Marcuss.”

“Aku mengerti.” Dashia meraih kedua tangan Eiza dan menggenggamnya. Sebuah senyum menghiasi wajahnya, menyamarkan seringai yang terselip di sana. Ya, inilah alasan mamanya menyuruhnya untuk tetap mempertahankan persahabatannya dan Eiza. Eiza begitu polos dan sangat baik. Lebih mengutamakan hati dibandingkan kenyataan hidup yang jelas lebih keras dan terkadang beberapa hal tak bisa bekerja hanya dengan menggunakan perasaan. Seperti yang terjadi padanya saat ini. Persahabatan atau cinta, ia harus memilih salah satunya. Lagipula ia tahu Eiza tak akan keberatan, selama itu demia kebahagiaannya.

“Tante Loorena membantuku dengan kesepakatannya denganmu, tapi satu tahun waktu yang terlalu lama untuk menunggu kalau kau tak bisa memberinya cucu laki-laki.”

“Aku tahu.” Dan akan terlalu terlambat jika Marcuss berhasil menghamilinya. Sementara kemungkinan anaknya laki-laki dan perempuan adalah 50:50. Jika anaknya perempuan lagi, ia mungkin bisa diuntungkan dengan Dashia yang akan dinikahi Marcuss. Akan tetapi, sudah cukup ia dibuat kesulitan untuk memeluk putri yang sudah dilahirkannya tersebut. Bagaimana mungkin ia harus kehilangan putri yang akan dikandungnya untuk kedua kali?

Jika pun anaknya laki-laki, maka ia akan terjebak dalam pernikahan ini untuk seumur hidup.

“Kita akan melakukan sesuatu untuk mempercepatnya.”

Eiza mengangguk setuju.

*** 

Eiza tak berhenti tersenyum ketika memutar video rekaman baby Ezlin yang dikirim oleh Dashia. Memutarnya berkali-kali dan ia tak akan pernah bosan. Baby Ezlin suah terlihat lebih besar dan gembul dari terakhir kali ia memeluk putrinya tersebut. Bahkan baby Ezlin sudah bisa mengeluarkan celotehan.

Ujung jemarinya menyentuh layar ponsel, seolah putri yang tak bisa disentuhnya tersebut benar-benar berada dalam gendongannya. Sebagai bayaran untuk informasi tentang baby Ezlin, yang sekarang ternyata tinggal di rumah mama mertuanya, Eiza harus melakukan sesuatu yang lain untuk membantu Dashia. Membuat Marcuss meniduri wanita itu. Ya, hanya itu satu-satunya cara untuk memperlebar kesempatan Dashia menggantikan dirinya.

Sore itu Marcuss pulang dari kantor tak lama setelah Eiza membersihkan diri dan mengganti pakaian. Langsung turun ke lantai satu untuk menyambut sang suami. Wajah Marcuss tampak lebih kusut dari biasanya, sepertinya ada masalah pekerjaan yang membuat suasana hati pria itu memburuk.

Tak seperti biasa, dirinya yang selalu menjadi luapan kepenatan pria itu. Sore itu Marcuss hanya menciumnya dengan singkat sebelum memberikan jas dan dasi yang ditarik tak sabaran. Lalu bicara pada Marco untuk langsung ke ruang kerja.

“Bisakah kau meminta pelayan untuk membawakan kami kopi dan beberapa makanan berat ke ruanganya?” Marco menyempatkan bicara pada Eiza ketika Marcuss sudah lebih dulu naik ke lantai dua. 

Eiza mengangguk.

“Terima kasih,” ucap Marco dan menyusul sang sepupu ke arah tangga.

Eiza berdiri tercenung di depan tangga. Menatap Marcuss dan Marco yang sudah menghilang di ujung tangga. Deringan pelan yang berasal dari ponsel di saku memecah lamunannya.

“Ya, Dashia?”

“Aku mendengar ada sedikit masalah yang serius dengan proyek perusahaan. Apakah Marcuss sudah pulang?”

“Baru saja.”

“Dengan Marco?”

“Ya. Mereka langsung ke ruang kerja Marcuss.”

“Jam berapa biasanya Marcuss kembali ke kamar?”

Eiza menggeleng tak yakin. “Aku tak tahu berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan ini, Dashia. Kenapa kau bertanya?”

“Sepertinya kita akan melakukannya malam ini, Eiza.”

“A-apa?” Eiza seketika teringat bubuk yang diberikan Dashia kepadanya tadi siang.

“Kau tahu, pikiran Marcuss pasti sedang kacau. Sepanjang hari ini dia bahkan sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Tak ada satu pun yang berani mengusiknya di kantor. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk memulai rencana kita.”

Eiza mencerna penjelasan Dashia dan mengangguk setuju. “Tapi aku tak yakin kapan dia akan kembali ke kamar.”

“Kau hanya perlu mengantar minuman ke ruangannya dan pastikan dia menelannya. Selebihnya, biar aku yang akan mengurus.”

“Lalu Marco?”

“Marco? Aku akan memikirkan cara untuk membuatnya keluar. Mungkin dengan bantuan tante Loorena.”

“Baiklah.”

Dashia memutus panggilan dan Eiza menurunkan ponsel tersebut dari telinga. Menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.

Beberapa saat kemudian, setelah meletakkan jas dan dasi Marcuss ke ruangannya, ia membantu pelayan menyiapkan kopi dan makanan untuk Marcuss dan Marco. Membawanya sendiri ke ruang kerja pria itu.

Satu ketukan dan ia dipersilahkan masuk oleh suara lelah Marco. Eiza melangkah masuk, melihat Marcuss yang duduk di sofa tunggal dan Marco di sofa panjang. dengan meja kaca yang dipenuhi berkas, dan bahkan beberapa berkas terbuka diletakkan di sofa panjang yang kosong.

Kerutan membentuk di kening Marcuss melihat Eizalah yang muncul. Memberikan satu isyarat singkat untuk meletakkan nampan tersebut di meja kecil di samping sofa sembari menyisihkan vas bunga ke lantai.

“Apakah kalian membutuhkan yang lain?” tanya Eiza. Meletakkan nampan di meja dengan posisi yang diinginkannya sebelum kemudian menatap Marco dan Marcuss bergantian.

Marcuss menggeleng. “Kau sudah makan?”

Eiza menggeleng.

“Makanlah dan kembali ke kamar lebih dulu.”

Eiza mengangguk, lalu membalikkan badan dan berjalan keluar. Begitu ia menutup pintu di belakangnya, napasnya seolah telah kembali meski tersengal setelah menahan napas sepanjang masuk ke dalam ruangan tersebut. Bahkan tangannya sampai berkeringat dingin saking takutnya Marcuss akan mengendus sesuatu yang tak beres darinya. Dan beruntung semuanya berjalan dengan lancar.

Satu jam kemudian, satu pesan dari Dashia membuatnya harus turun ke bawah dan membukakan pintu gerbang untuk wanita itu. Eiza dibuat terkejut dengan penampilan sang sahabat malam itu. Yang mengganti model rambut bergelombang dan cantik Dashia dengan model rambut yang sama dengannya. Lurus dan berwarna hitam pekat. Bahkan potongannya juga sama panjang dengan miliknya.

“Aku takut rencana kita akan tidak akan bekerja jika aku masih menggunakan model lama rambutku,” jelas Dashia sembari mengibaskan rambut hitam wanita itu ke belakang pundak.

Eiza hanya mengangguk setuju. Meski model rambutnya dan Dashia sekarang terlihat sama, tetap saja wajah Dashia lebih cantik darinya, juga tubuh wanita itu yang jauh lebih seksi darinya. Berasal dari keluarga berkecukupan, tentu saja Dashia rutin melakukan perawatan pada tubuh setiap minggunya. Dan Marcuss pasti akan lebih tertarik pada Dashia setelah berhasil menghabiskan malam bersama wanita itu.

“Kuharap Marcuss tak akan memperhatikan tinggi kita berdua yang berbeda. Tapi … aku harus mengganti pakaianku dengan milikmu.”

“Kita ke kamar. Marcuss membakar semua barang-barangku yang dikirim oleh mamamu dan memenuhi lemari pakaian untukku. Tapi aku belum melihat semuanya karena terlalu banyak. Dan tak ada satu pun pakaian itu yang membuatku nyaman memakainya.”

Dashia menyembunyikan rasa irinya akan kata-kata Eiza yang polos, tanpa berpikir bahwa hal yang sangat remeh dan tidak disukai oleh wanita itu adalah perhatian yang begitu ia dambakan dari Marcuss untuknya. Ya, sepertinya benar apa yang dikatakan oleh mamanya. Bahwa semua kebaikan Eiza tak lebih dari sandiwara yang membungkus kelicikan wanita itu yang sebenarnya.

“Kau bisa memilihnya sendiri. Aku akan menunjukkan padamu.”

Dashia mengerjap dengan lanjutan kalimat Eiza. Kemudian menggeleng ketika Eiza menarik tangannya. “Tidak, Eiza. Aku akan lewat pintu belakang dan kau lewat depan saja. Aku baru saja menghubungi tante Loorena dan sebentar lagi Marco akan turun.”

“Baiklah,” angguk Eiza.

Keduanya berjalan melewati gerbang dan berpisah di samping rumah. Dashia melewati samping rumah untuk menghindari tertangkap CCTV atau pelayan. Sementara Eiza langsung ke teras dan masuk ke dalam rumah. Ketika ia sampai di lantai atas, pintu ruangan Marcuss masih tertutup rapat.

“Kau bertemu Marco?”

Eiza menggeleng.

Dashia berkerut kening, ikut menatap pintu ruang kerja Marcuss. “Kita ke kamar Marcuss dulu, aku akan menghubungi tante Loorena sekali lagi,” ucapnya menarik lengan Eiza dan berjalan menuju pintu ganda yang berada tak jauh dari mereka.

Eiza hanya menurut, mengabaikan Dashia yang seolah sudah mengenali denah rumah Marcuss dengan baik. Membawanya ke kamar utama yang tepat. Dan baru saja keduanya memasuki kamar utama, ponsel Dashia bergetar. Mendapatkan satu pesan dari Loorena yang mengatakan sedang ada sedikit kendala dan akan segera membuat Marco keluar dari rumah ini.

“Kita hanya perlu menunggu,” ucap Dashia dengan senyum puas. Memasukkan ponselnya ke dalam tas sembari menatap Eiza yang berdiri terdiam di tengah kamar. “Kenapa?”

Eiza mengangkat wajahnya. “Ehm?”

Dashia mendekat, memegang kedua tangan Eiza dan melihat bibir wanita itu yang menipis dan sedikit bergetar.

“A-aku … kau yakin semuanya akan berhasil?” Eiza menggigit bibir bagian bawahnya. Marcuss pernah berkata padanya. ‘Ada banyak pengamanan di rumah ini, kau pikir tikus kecil akan berhasil keluar tanpa sepengetahuanku?’ Dan ia tak yakin keberadaan Dashia di kamar ini tidak diketahui oleh Marcuss.

Dashia mengangguk mantap. Memberikan tekanan dalam genggamannya untuk meyakinkan Eiza. “Ada tante Loorena yang membantuku.”

Eiza mendesah sekali, berusaha meyakinkan diri meski firasat di hatinya mengatakan sebaliknya.

“Tenanglah, Eiza. Kita berdua akan berhasil.” Dashia berganti memegang kedua pundak Eiza. “Apakah ruang gantinya di sana?”

Kecemasan Eiza teralih ketika Dashia menariknya menuju ruang ganti. Ia menunjukkan dua lemari besar yang dipenuhi pakaian pemberian Marcuss.

Dashia membelalak tak percaya. Melihat tag harga yang bahkan masih menempel di pakaian-pakaian tersebut, yang bisa dipastikan dari merk-merk ternama. Dan tak hanya dua lemari berisi pakaian. Masih ada jajaran tas-tas, sepatu, dan bahkan perhiasan serta aksesoris mewah. Masing-masing satu lemari besar. Semua yang ada di ruangan ini adalah impian semua wanita, termasuk dirinya.

Beberapa bahkan tas dan sepatu incarannya yang tak bisa didapatkan karena hanya tersedia beberapa di negara ini. Ya, kekayaan keluarga Marcuss memang berada di atas levelnya. Dan semua keistimewaan ini jelas tak seharusnya dimiliki Eiza.

“Kau bisa memilihnya sesuka hatimu,” ucap Eiza. Memecah ketakjuban Dashia.

Dashia mengembalikan gaun pesta berwarna perak ke dalam lemari. “Aku memesan gaun ini lebih dari satu bulan, tetapi tetap tak bisa mendapatkannya hanya karena aku memiliki uang banyak,” gumamnya dengan senyum yang tak memcapai mata.

Eiza berkerut kening, tak benar-benar memahami kalimat Dashia dan mengabaikannya. Menunggu mantan adik iparnya tersebut melihat-lihat isi lemari.

Tangan Dashia kembali memilah-milah pakaian tersebut. Yang semakin membakar rasa iri yang terpendam di hatinya. Setelah beberapa kali, Dashia akhirnya mengambil salah satu lingerie berwarna ungu muda. “Aku akan mengenakan ini?”

Eiza menatap lingerie yang bahkan tak berani ia sentuh tersebut. Lalu mengangguk. Dan bersamaan saat itu, suara pintu kamar diketuk.

“Itu pasti Marco.” Dashia menatap Eiza. “Keluarlah.”

Eiza mengangguk, menghela napas beberapa kali untuk menenangkan debaran jantungnya sebelum berjalan keluar. Dengan firasat yang entah kenapa tak bisa hilang dari dadanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro