34. Pertengkaran Hebat 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 34 Pertengkaran Hebat 2

“Dan mamalah yang berada di balik semua ini,” geram Marcuss. Dan itu bukan sebuah pertanyaannya. Buku-buku jarinya memutih. Saking kuatnya cengkeraman dalam kepalan tersebut. “Apakah semua ini hanya untuk menyingkirkan Eiza dari hidupku?”

Loorena tak menyangkal, seringai yang tersamar di ujung bibirnya sudah lebih dari cukup menyiratkan keinginannya. “Kau yang memaksa mama bersikap tegas seperti ini, Marcuss. Kau pikir mama tak tahu kekacauan yang dibuat wanita itu di café. Istrimu diserang karena tertangkap berselingkuh dengan mantan suaminya. Apa lagi yang kau tunggu? Berapa lama lagi kau harus membuat dirimu direndahkan dan terlihat menyedihkan seperti ini oleh wanita murahan itu, hah?”

Marcuss menggeram. “Mama tak tahu apa pun.”

“Tak perlu tahu. Terlalu memalukan untuk diketahui,” decih Loorena. Beranjak dari kursinya sembari mengambil tasnya. “Kau hanya punya dua pilihan, Marcuss. Membuangnya dan mama akan melakukan apa pun untuk memperbaiki situasi ini. Atau membiarkan dirimu diinjak-injak olehnya.”

*** 

Suara decitan ban terasa seperti menusuk gendang telinga saking kuatnya Marcuss menekan pedal rem. Tanpa mematikan mesin mobil, pria itu melompat turun. Kakinya melangkah lebar-lebar, dengan tujuan yang pasti. 

Membanting pintu kamar terbuka, dan berhasil membangunkan Eiza yang ketiduran karena terlalu lelah menangis.

Kantuk wanita itu seketika raib denga kedatangan Marcuss yang tampak berapi-api. Pria itu melempar jas dan dasi yang ditarik paksa dari leher, langsung melompat ke ranjang.

Eiza sudah berhasil menurunkan kedua kakinya ketika pundaknya ditangkap dan tubuhnya kembali disentakkan di kasur yang empuk.

"Lepaskan, Marcuss!" jeritnya keras. Tubuhnya berusaha memberontak dengan tekanan tubuh Marcuss yang kemudian menindihnya. 

Kedua tangannya berusaha mendaratkan pukulan untuk menjauhkan tubuh pria itu dan kakinya menendang ke segala arah. Demi menyulitkan apa yang hendak dilakukan Marcuss padanya. Menghindar jelas adalah sebuah kemustahilan.

"Lepaskan!!" teriak Eiza lebih lantang.

Tangan Marcuss berhasil memaku kedua tangan Eiza di atas kepala dan tangannya yang lain mencengkeram rahang wanita itu. "Kau masih berpikir bisa melawanku?"

"Sampai mati."

Marcuss menyeringai. "Ya, lakukan itu. Sepertinya kau punya terlalu banyak tenaga setelah bangun tidur," pungkasnya mengakhiri kalimatnya dengan menyambar bibir Eiza. 

Teriakan Eiza seketika tertahan oleh ciuman kasar Marcuss. Tak memberinya jeda untuk bernapas dan bahkan merampok seluruh udara yang seharusnya mengisi paru-parunya. Dan pria itu memang sengaja membuatnya kehabisan napas. 

Wajah Eiza merah padam. Ketika bibirnya digigit dan sedikit memberikan celah bagi lidah Marcuss untuk menyelinap ke dalam mulutnya. Eiza pun menggunakan kesempatan tersebut untuk balik menggigit pria itu. Dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya.

Marcuss melepaskan pagutannya. Merasakan anyir di ujung lidahnya. Kepalanya hanya terangkat beberapa senti dari wajah Eiza, ketikan detik berikutnya lampu tidur di nakas dipukulkan ke kepalanya.

Ketika tubuh Marcuss berguling ke samping dan mengerang pelan, Eiza mendorong dada pria itu menjauh dan lekas turun dari tempat tidur.

Eiza berhasil mendapatkan keseimbangan tubuhnya setelah terhuyung beberapa kali. Menatap Marcuss yang memegang kepala, dengan darah merembes ke sisi wajah pria itu. Ada beberapa tetesan yang jatuh ke ranjang. Membuat Eiza kebingungan apakah harus melarikan diri atau menolong pria itu.

Ia hanya berusaha membela diri. Tak menyangka akan memberikan pukulan dan luka seserius itu pada Marcuss.

"Ada apa ini?" Marco muncul dari balik pintu yang terjemblak terbuka. Menatap wajah Eiza yang bersimbah air mata dengan rambut dan pakaian yang tampak berantakan sebelum beralih pada Marcuss.

Pria itu lekas menghampiri Marcuss. Memeriksa luka di kepala sang sepupu. Tak perlu bertanya bagaimana pasangan ini terlibat pertengkaran yang seolah tiada hentinya.

"Ambilkan kotak p3k di laci kamar mandi," pintahnya pada Eiza. Yang masih berdiam di tempat dengan tubuh bergetar.

Eiza pun berbalik ke kamar mandi, keluar dengan kotak putih di tangan dan juga sebaskom air hangat juga handuk kecil yang kemudian diletakkan di nakas.

"Keluarlah," ucap Marco kemudian. Perintah tersebut mendapatkan geraman dari Marcuss. "Sekarang, kalian jelas butuh tempat untuk sendiri," tegas Marco lebih serius dari Marcuss. Lalu memberikan satu anggukan lembut pada Eiza.

"Kali ini kau yang berlebihan, Marcuss. Kau pikir dengan semua ini akan membuatnya semakin patuh padamu? Tidak. Ini hanya akan membuatmu tersiksa. Terutama dia."

"Diam saja kau, Marco."

"Oke." Marco memeriksa luka di kepala Marcuss. Kemudian mendesah pelan dan berucap, "Sepertinya butuh jahitan. Kita harus ke rumah sakit."

Marcuss menggeram lagi. Meringis menahan rasa sakit yang lumayan membuatnya tak nyaman. Sekaligus menahan geram karena semua ini perbuatan Eiza. Menyambar handuk di tangan Marco dan menggunakannya untuk menghentikan pendarahan tersebut untuk sementara waktu.

Pandangan Marco terhenti ketika melihat kotak p3k dengan bercak darah yang membentuk telapak tangan. "Juga istrimu."

Marcuss menoleh ke samping. Tampaknya telapak tangan Eiza pun tak sengaja memegang pecahan lampu tidur yang sekarang tergeletak di samping nakas.

Rasa pusing sempat membuatnya terhuyung, dengan sigap Marco membantunya berdiri. Keduanya berjalan keluar dan menemukan Eiza yang duduk tepi sofa santai. Kepala wanita itu tertunduk, dengan kedua tangan yang saling meremas di atas pangkuan.

"Kau bisa turun sendiri?"

Tanpa menjawab, Marcuss menarik lengannya dari sang sepupu dan berjalan menuruni anak tangga.

***

Marcuss butuh beberapa jahitan sehingga perawatan pria itu lebih lama dibandingkan Eiza yang hanya di telapak tangan. Dokter sempat mempertanyakan lebam di pergelangan tangan, yang segera terbungkam oleh tatapan tajam Marco dan kalimat singkat pria itu. "Marcuss hanya menyuruh Anda mengobati istrinya, Dok. Bukan mengurus urusannya."

Eiza pun ikut menelan ludahnya akan sang dokter yang langsung merapatkan mulut. Melanjutkan merawat telapak tangannya. Memastikan plester anti air di tangannya melekat dengan baik.

Setelah selesai, Marco membawanya keluar dari ruang dokter. Melintasi setengah lorong dan berhenti di depan ruangan yang lain.

"Tunggu di sini," ucap Marco sebelum membuka pintu.

Eiza duduk di kursi panjang yang tak jauh dari posisinya. Menghela napas panjang dan berat. Kemarahannya perlahan  berubah menjadi penyesalan dan rasa bersalah akan luka Marcuss yang cukup serius. Ditambah cukup banyak darah pria itu yang keluar karena luka tersebut.

Cukup lama Eiza menunggu di luar, saat menyadari tak ada siapa pun di sekitar lorong ini. Tidak seperti biasanya, ke mana pun Marcuss pergi selalu ada beberapa pengawal pria itu yang mengekor.

Eiza menatap ke sisi kanan dan kirinya, ketika memutuskan beranjak dari duduknya dan melangkah ke tangga darurat. Menuruni anak tangga hingga terhenti di basement.

"Nyonya?" Seorang pria berpakaian serba hitam memanggilnya dengan hormat. Sengaja berdiri menghalangi di depannya. Dan hanya anak buah Marcuss yang memanggilnya nyonya.

Eiza mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Hanya ada dua orang dan satunya berdiri membukakan pintu bagian depan untuknya.

Eiza pun mengikuti langkah pria itu. Jika pengawal pria itu membukakan pintu bagian depan, sudah pasti Marcusslah yang akan duduk di balik kemudi. Yang artinya Marcuss sudah tahu ia meninggalkan lantai lima lebih dulu. Tapi … bukankah keadaan pria itu masih tidak memungkinkan untuk menyetir?

Sepintas pertanyaan tersebut muncul di benaknya ketika tanpa sengaja pandangannya menangkap seseorang yang berdiri di sudut basement. Dengan posisi yang cukup tersamarkan oleh cahaya remang basement sekaligus pakaian pria itu yang serba hitam, nyaris tak terlihat jika ia tak menajamkan pandangannya.

Danen?

Nama itu baru saja muncul di pikirannya ketika lengannya disambar dari belakang. Tubuhnya didorong masuk ke dalam mobil dengan kasar. "Kau benar-benar tak melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk membuat masalah, ya?" geram Marcuss. Menekan pundak Eiza ke jok mobil dan wajah yang nyaris menempel. Kedua mata pria itu tampak memerah, saking geram pria itu padanya.

Eiza tak menjawab meski ia sendiri tak yakin akan bisa melarikan diri dari pria itu. Toh pria itu berhasil menangkapnya, jadi apalagi yang harus dicemaskan?

Setelah meremas pundaknya, Marcuss memasang sabuk pengaman untuk Eiza dengan kasar. Membanting pintu mobil dengan keras, sengaja membuat Eiza terkaget. Memutari mobil dengan langkah cepat dan duduk di balik kemudi.

Mobil melaju dengan kencang meninggalkan basement rumah sakit. Melesat di tengah lalu lintas yang cukup padat.

Eiza menggigit bibir bagian dalam, menahan kengerian yang semakin tak tertahankan ketika beberapa kali mobil Marcuss nyaris menyerempet kendaraan lain.

Kepala Eiza menoleh ke samping, matanya terpejam dan pegangannya pada sabuk pengaman semakin menguat. Bergetar hebat ketika selanjutnya guncangan yang cukup keras menyentakkan pegangannya. Suara hantaman yang keras berdengung di telinganya.

Tubuhnya tersentak ke depan, wajahnya tertampar airbag dan terhentak ke belakang. Meski goncangan tersebut tidak melukainya, tetap saja goncangan hebat tersebut membuat kepalanya pusing.

Mengerang pelan, Eiza membuka matanya dengan perlahan. Mengedarkan pandangan ke sekitar mobil. Yang baru saja menghantam pohon besar.

Eiza tercengang dengan keras, terisak kencang ketika melihat Marcuss yang sudah tak bergerak. Dengan mata terpejam dan kepala serta wajah yang bersimbah darah. Lebih banyak dari luka yang ia berikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro