39. Tidak Mungkin, Kan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 39 Tidak Mungkin, Kan?

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Serra, Eiza tak berhenti diselimuti kekalutan. Sebelumnya, ia tak yakin dengan kata-kata Dashia bahwa Marcuss akan membiarkannya keluar rumah. Tetapi saat keluar dari rumah, sebuah mobil sudah disiapkan di depan teras. Salah satu sopir Marcuss membukakan pintu untuknya dan bertanya ke mana tujuannya.

Sekarang, mobil sudah membawanya lebih dari setengah perjalanan. Ia tak benar-benar memperhatikan jalanan, ketika menyadari kecepatan mobil yang melambat dan berhenti di halaman gedung apartemen Serra.

“Saya akan menunggu di basement gedung,” beritahu si sopir ketika Eiza melangkah turun.

Eiza hanya memberikan satu anggukan singkat. Masuk ke dalam lobi dan langsung menuju lantai tempat unit Serra berada. Begitu pintu dibuka, Eiza langsung memeluk sang sahabat. Sangat erat.

Serra seketika memahami perasaan sang sahabat yang sedang jauh dari kata baik dengan pelukan menyesakkan tersebut. Tanpa bertanya, telapak tangannya bergerak mengelus punggung Eiza. “Shhh … Kita masuk dan bicara di dalam,” bisiknya. Membawa Eiza ke dalam sembari menendang pintu apartemen tertutup.

Keduanya duduk di sofa panjang. Masih saling berpelukan. Cukup lama hingga akhirnya Eiza yang mengurai pelukan tersebut. “Minum?” tawar Serra.

Eiza menggeleng. “Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan, Serra. Semuanya … semuanya begitu membingungkan.”

“Mungkin kau bisa memulai dengan bercerita padaku. Aku tak bisa memberikan pendapat apa pun jika tak tahu dengan benar duduk permasalahannya. Aku bahkan tak bisa menghubungi nomormu sejak dua minggu yang lalu. Ini ada hubungannya dengan Dashia, kan?”

Dan mengalirlah semua cerita ketika ia meninggalkan apartemen Serra, hingga Dashia yang tinggal di rumah Marcuss.

“Mereka sudah tidur bersama?” Mata Serra melotot sempurna. Nyaris keluar dari rangkanya. “Aku sudah memperingatkanmu, kan? Kau menggali kuburanmu sendiri, Eiza.”

“Setidaknya Marcuss tak akan membiarkan mamanya menjebloskanku ke penjara. Kupikir ditendang ke jalanan bukanlah hal yang buruk.”

Serra memukulkan bantal di tangannya ke kepala Eiza. “Otakmu benar-benar sudah bergeser ke belakang, ya?”

Eiza sama sekali tak mengaduh atau membalas kata-kata Serra. Apa yang dikatakan wanita itu memang benar adanya. Kepalanya benar-benar sudah pusing. Tak bisa berpikir dengan benar. Dadanya terasa sesak oleh perasaan asing yang tak pernah seberat ini.

“Semua yang kau genggam, sekarang sudah hampir terlepas dari tanganmu, Eiza. Ezlin, tuan Marcuss, dan jangan pikirkan Danen. Dia sudah berubah. Begitu pun dengan Dashia. Kenapa keluarga mantanmu itu masih saja membuat hidupmu semakin pelik saja. Sedikitlah bersikap egois, Eiza,” gemas Serra bercampur kesal. “Sebelum semua terlambat untuk diselamatkan. Sebelum tuan Marcuss benar-benar jatuh ke dalam pelukan Dashia.”

“Sudah terjadi.”

Serra menggeleng. “Dashia belum hamil. Berhubungan sekali belum tentu membuatmu hamil.”

“Ezlin?”

Serra mulai terlihat frustrasi dengan keputus asaan Eiza. “Kau sudah tidur dengan tuan Marcuss sejak tiga bulan yang lalu, kan? Kemungkinan kau hamil dan Dashia hamil, masih jauh lebih besar kau yang mengandung lebih dulu.”

“A-aku … aku tak yakin untuk hamil lagi, Serra. Sudah cukup Ezlin …”

“Buang saja ketidak yakinanmu itu. Berpikirlah menggunakan otakmu. Hidupnya tergantung pada kehamilanmu. Kau ingin ditendang ke jalanan atau  memulai semuanya dari awal?”

“Percayalah, Eiza. Ditendang oleh keluarga Rodrigo bukanlah kematian yang mudah. Sebelum kau bergembira dengan kematianmu. Mereka akan memastikan kau membayar semua yang sudah kau lakukan pada mereka. Kenapa masih tak mengenal siapa suamimu, hah?”

Kecemasan mulai merambati dada Eiza. 

“Aku sudah mengatakan padamu. Entah berapa kali. Satu-satunya pilihan yang kau miliki sejak kau tercebur di dunia seorang Marcuss Rodrigo, hanya membuat tuan Marcuss tak berhenti bosan padamu. Meski kau tak bisa berenang, memangnya kau akan diam begitu saja dan mati dengan perlahan? Satu-satunya jalan hanya menggerakkan seluruh tubuhmu dan naik ke permukaan.”

Eiza tak sungguh-sungguh mengerti apa yang diucapkan sang sahabat, tanpa jeda dan dalam sekali tarikan napas. Namun ketika mengulang dua kali, ia mulai memahami kata-kata Serra. Begitu pun dengan kata-kata Marco.

“Intinya, keputus asaan tak akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Yang harus kau lakukan adalah mengembalikan perhatian tuan Marcuss yang sudah kau sia-siakan dengan ketololanmu itu.”

Eiza terdiam. Terhenyak di punggung sofa yang empuk, menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Mempertimbangkan kata-kata Serra yang entah kenapa lebih banyak benarnya.

“Tapi, kau yakin tuan Marcuss tidur dengan Dashia?” Serra mengulang pertanyaannya. “Kau melihatnya secara langsung?”

Eiza menggeleng. Ia bahkan tak berani membayangkannya. “Aku hanya melihat beberapa kissmark di leher dan sekitar tulang selangkanya.”

“Ck, kupikir kau melihat keduanya telanjang bersama.”

“Tidak ada pria di rumah selain Marcuss, Serra. Dan Marcuss memang suka meninggalkan jejak semacam itu ketika bercinta.”

“Sebanyak yang ditinggalkannya padamu?” Salah satu alis Serra terangkat.

Wajah Eiza memerah. Memberikan satu gelengan. “Meski hanya beberapa, tetap saja mereka sudah …”

“Mungkin saja Dashia yang membuatnya sendiri.”

Eiza menggeleng. “Aku melihat lipstik Dashia yang menempel di bajunya ketika tak sengaja menjatuhkan keranjang pakaian kotor.”

Serra tetap menggeleng dengan keras kepala.

“Kenapa kau berpikiran seburuk itu tentang Dashia? Kita mengenalnya sejak lama, Serra. Dia bahkan minta maaf padaku karena telah tidur dengan Marcuss sementara aku masih sah sebagai istrinya.”

“Jika dia benar-benar minta maaf, tak mungkin dia sengaja menggoda tuan Marcuss yang masih sah menjadi suaminya sendiri, Eiza.” Serra mendecakkan lidahnya dengan kesal. Kemudian terdiam, menatap dalam wajah Eiza. Tampak ingin mengatakan sesuatu tetapi ingin mempertimbangkan lebih dulu. Dan ketika mulutnya sudah terbuka, tiba-tiba suara bel apartemen menyela pembicaraan tersebut.

Keduanya menoleh ke arah pintu. Napas Eiza tertahan, membatin nama Danen ketika teringat kata-kata Dashia yang memintanya ke apartemen Serra jika ingin bertemu dengan Danen.

Serra beranjak, membukakan pintu yang ternyata adalah Dashia. “Hai?” sapanya dengan riang pada Serra. 

Serra tak menjawab sapaan tersebut, juga pelukan Dashia. Keceriaan di wajah Dashia berbanding terbalik dengan kemurungan di wajah Eiza. Bagaimana mungkin ia membalas dengan senyum semringah.

“Sepertinya ada yang berbeda denganmu?” tanya Serra sembari meletakkan tiga minuman kaleng dingin di meja. Membukakan satu untuk Eiza dan meletakkannya di tangan sang sahabat. Tanpa melepaskan tatapan mengamati raut Dashia, yang masih tersenyum tanpa dosa. 

“Ya, setelah semua kekecewaan, akhirnya hal baik mulai menghampiriku.” Dashia menoleh ke arah Eiza. Mencondongkan tubuhnya ke arah Eiza dan memberikan satu genggaman. “Terima kasih sudah membantuku, Eiza. Aku tak akan pernah melupakan apa yang sudah kau lakukan untukku.”

“Lalu, tidakkah kau berpikir apa yang akan terjadi dengan Eiza setelah tuan Marcuss menendangnya dari rumah itu?” Ada kesengitan yang tak ditutupi Serra dalam suaranya.

Dashia mengerutkan kening dengan kata-kata Serra yang pedas. Sementara Eiza menggoyang lengan wanita itu. “Apa maksudmu, Serra?”

“Tuan Marcuss menembakku hanya karena aku membantunya bertemu dengan Danen. Apakah menurutmu tuan Marcuss hanya akan menendangnya ke jalanan jika kau berhasil hamil dan mengandung anaknya?”

Eiza tersedak dengan keras. Memancing gejolak di perutnya. Wanita itu melompat berdiri sembari meletakkan minuman kaleng di tangannya ke meja dan berlari ke kamar mandi.

“Eiza?” Serra lekas menyusul.

Eiza berjongkok di depan lubang toilet. Memuntahkan seluruh makan pagi yang berhasil masuk ke dalam perutnya.

Serra ikut berjongkok di samping Eiza. Satu tangannya menguncir helaian rambut Eiza sementara tangannya yang lain mengusap punggung sang sahabat dengan lembut. 

Setelah beberapa kali muntahan yang menguras seluruh tenaga Eiza, akhirnya muntahan tersebut berhenti. Serra membantu mendudukkan dan membersihkan wajah Eiza. Sementara Dashia hanya berdiri di ambang pintu. Mengamati wajah Eiza yang pucat dengan kecurigaan membuat matanya diselimuti kecemburuan.

Tidak mungkin, kan?

Tidak mungkin sekarang, di saat ia baru saja menyelinap di tengah kesempatan yang terbentang.

Ia tak akan membiarkan semuanya berakhir secepat dan semudah ini?

Tidak akan pernah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro