40. Persekongkolan Yang Mulai Tersibak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 40 Persekongkolan Yang Mulai Tersibak

“Kau yakin tak ingin singgah di rumah sakit?” Dashia mengulang pertanyaannya untuk ketiga kali sejak mereka meninggalkan apartemen Serra. Karena keduanya akan kembali ke rumah yang sama, jadi Dashia memaksa Eiza untuk ikut dengan mobilnya. 

Sejujurnya tujuan Dashia membawa Eiza adalah karena ingin singgah di rumah sakit dan memastikan kecurigaannya. Yang tak mungkin diketahui oleh Eiza. “Wajahmu pucat sekali, Eiza.”

Eiza menggeleng. Kepalanya memang pusing dan tubuhnya terasa lemah. Tapi tak seserius itu sehingga harus ke rumah sakit. “Aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat.”

“Sejak kapan kau seperti ini?”

“Hanya tadi.”

Satu kecemasan Dashia raib, tetapi ia tak bisa tenang sebelum semuanya menjadi pasti. Jika Eiza benar-benar hamil, semua rencana yang sudah ia susun rapi dan berjalan sejauh ini akan berakhir sia-sia.

“Kau yakin?”

Eiza merasa aneh dengan desakan pertanyaan Dashia. “Ya, tentu saja, Dashia. Mungkin karena semalam aku kurang tidur.”

Dashia manggut-manggut. “Katakan jika keadaanmu mulai memburuk. Aku tak ingin kau kenapa-napa, Eiza.”

Eiza tak menjawab. Kecemasan Dashia entah kenapa tak menyentuh hatinya seperti biasa. Wajahnya bergerak ke samping, menatap sisi wajah Dashia yang sedang fokus ke arah jalanan. Pegangan tangan wanita itu pada setir mobil bergerak dengan tak tenang. Seolah ada hal lain yang dicemaskan oleh Dashia. Yang tidak ada hubungannya dengan keadaannya saat ini.

Hening yang cukup lama.

“Dashia?”

“Hmm?”

“Saat aku dan Marcuss mengalami kecelakaan. Apa kau bersama Danen?”

Dashia terdiam, rautnya sempat membeku sebelum menoleh ke arah Eiza. Menampilkan raut seolah mengingat sesuatu. “Hari Kamis, bukan?”

Eiza mengangguk.

“Ehm, ya. Kami sedang pergi bersama.”

Mata Eiza berkedip dua kali akan kebohongan yang terlontar dari mulut Dashia. Sangat yakin bahwa itu adalah kebohongan sebesar keyakinannya mengenali Danen di basement rumah sakit pada malam itu.

“Kenapa kau bertanya?”

Eiza tersadar dan memberikan satu gelengan. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Jika Danen senekad itu untuk mencuri desain Marcuss, apakah menurutmu dia akan mencoba membunuh Marcuss?”

Dashia terbeliak terkejut. “Itu tidak mungkin, Eiza.”

“Mama Marcuss berpikir aku yang membunuh Marcuss.”

“Karena kau memukul kepalanya dengan lampu kamar sehingga dia mendapatkan jahitan di kepala yang cukup serius. Dan aku akan bertanya kenapa kau melakukannya.”

“Sebelum kami naik ke dalam mobil, kupikir aku melihat Danen.”

Dashia menggeleng. “Tidak mungkin Danen berada di dua tempat di saat yang bersamaan, Eiza. Kami makan malam dengan keluarga Jessi. Untuk membicarakan tentang perceraian mereka.”

Eiza semakin yakin apa yang dikatakan oleh Dashia adalah kebohongan ketika lagi-lagi tangan wanita itu bergerak dengan kasar di setir. 

“Ya, Danen memang mencintaimu, tapi dia tak mungkin menjadi pembunuh karenamu. Lagipula, kenapa kau mencurigainya? Danen tahu kalau aku mencintai Marcuss. Mama dan Danen tak mungkin merencanakan rencana seburuk itu.”

Eiza tak mengatakan apa pun lagi selain satu anggukan sambil lalu untuk Dashia. Entah kenapa semakin Dashia berkata-kata, hatinya seolah menyangkal semua penjelasan tersebut.

Sikap dan gesture Dashia seolah menyadarkan Eiza akan kebenaran kata-kata Serra. Bahwa Danen dan Dashia telah berubah. Menjadi orang yang tak lagi dikenalinya.

Sepanjang sisa perjalanan. Keduanya tak saling bicara lagi. Mobil Dashia memasuki halaman rumah Marcuss, tepat ketika sebuah mobil berhenti di depan mereka. 

Marcuss melangkah turun setelah sejenak menatap ke arah Dashia dan sedikit lebih lama pada Eiza, sebelum kemudian masuk ke dalam rumah.

“Apakah kalian masih bertengkar?” Dashia memutar tubuhnya ke arah Eiza.

Eiza tak menjawab. Hubungan dan Marcuss bisa dibilang sangat buruk. Dan memang selalu buruk.

"Tapi …." Dashia mengulur suaranya. "Bukankah ini bagus? Aku akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk mengikat Marcuss dan membuatmu terbebas dari pernikahan ini, Eiza. Perlahan, dia akan mulai luluh denganku."

Eiza hanya menelan ludahnya. Tanpa mengatakan apa pun, ia membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Berjalan ke dalam rumah sebelum Dashia menyusulnya.

Dashia tetap di dalam mobil. Matanya yang berkilat licik mengikuti langkah Eiza masuk ke dalam rumah.

Wanita itu pasti menyadari kebohongan yang diucapkannya. Tapi toh Eiza tak punya bukti untuk membongkar kebohongan tersebut.

Jika Eiza bersaksi bahwa Danen yang melakukan percobaan pembunuhan pada Marcuss, tentu saja Danen hanya perlu mengakui bahwa sang kakak bekerja sama dengan wanita itu untuk melenyapkan Marcuss. Yang akan membawa Eiza semakin tersudut dan tak punya pilihan selain bungkam. Dan membuat Marcuss semakin dalam paham dengan kediaman Eiza.

*** 

Marcuss sedang kesulitan melepaskan perban di punggung ketika Eiza masuk ke dalam kamar. Langkah wanita itu terhenti, membeku di ambang pintu yang dibukanya.

Pandangannya terarah pada punggung Marcuss, pada perban yang sudah setengah terbuka dan tangan pria itu yang tampak berusaha meraih untuk sepenuhnya melepaskan perban tersebut.

Marcuss hanya melirik sekilas pada Eiza dan kembali fokus untuk mengganti perbannya. Kemarin-kemarin Marcolah yang membantunya, tapi sepupunya itu sedang mengurus beberapa pertemuan yang tak bisa ia datangi. 

Eiza menutup pintu di belakangnya, pada awalnya ia merasa ragu. Tetapi langkahnya terus bergerak mendekati Marcuss yang duduk di sofa.

Tanpa mengatakan apa pun, Eiza duduk di samping Marcuss dan melepaskan perban tersebut dengan hatu-hati. Marcuss tak menolak, pria itu menurunkan tangannya. Membiarkan Eiza melanjutkan apa yang tak bisa dilakukannya seorang diri.

Eiza terhenyak, menatap luka jahitan yang cukup panjang di bawah tulang belikat Marcuss. Hampir sekitar sepuluh senti. Dan tak hanya itu. Dengan tubuh Marcuss yang setengah telanjang seperti ini, ada banyak bekas luka lain yang sebelumnya tak bisa ia lihat.

Saat pingsan di dalam mobil dan Marco membawa Marcuss keluar dari dalam mobil, satu-satunya hal yang ia ingat hanyalah banyaknya darah di mana-mana.

Kepala, lengan, punggung, juga dada. Karena pecahan  kaca dan benturan di kepala. Dan melihat setiap luka di tubuh pria itu, membuat hati Eiza mendadak terenyuh.

"Kau menangis?" dengus Marcuss. Mendongakkan wajah Eiza yang terpaku pada tubuhnya dengan ujung jari. "Tangisan sedih atau … bahagia?"

Eiza mengerjapkan mata, membiarkan air matanya jatuh dan tak peduli apa yang dipikirkan Marcuss tentangnya. Ia menarik wajahnya, mengambil perban bersih di meja dan kembali menempelkan di punggung  pria itu.

Dengan hati-hati, ia juga mengganti perban lainnya. Di kepala, lengan, dan juga dada. Ketika semuanya selesai, Eiza mengumpulkan perban kotor ke dalam tempat sampah dan mengemas barang-barang di meja ke dalam kotak p3k. 

Ia sudah berdiri di atas kedua kakinya ketika tiba-tiba Marcuss menyambar lengannya dan mendudukkannya di pangkuan pria itu.

Eiza memekik pelan, tangannya tanpa sadar memegang lengan Marcuss yang diperban karena takut terjatuh, tetapi dengan cepat melepaskan pegangan tersebut dengan panik.

"M-maaf," ucapnya lirih.

Marcuss hanya menatap wajah Eiza. Obat pereda nyeri yang ia minum dengan rutin membuat lukanya tak terlalu menyakitkan. Dan hanya pegangan Eiza tentu saja tak cukup membuatnya meringis kesakitan.

Eiza berusaha turun dari pangkuan pria itu, tetapi tertahan oleh pegangan kuat pria itu di pinggang dan pahanya.

"Semakin kau banyak bergerak, itu akan membuat lukaku kembali robek, Eiza."

Seketika tubuh Eiza berhenti meronta. "Lepaskan aku."

 "Tidak."

"Kenapa?"

"Karena tiba-tiba saja aku menginginkan istriku." Marcuss menahan tengkuk Eiza bersamaan bibir pria itu menangkap bibir Eiza. Melumatnya sembari membaringkan wanita itu di sofa yang panjang.

Eiza tak menolak. Membiarkan Marcuss menindih tubuh dan melucuti pakaiannya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro