⭐Chapter 5🌼

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....
.
.
.
.


Detak jantungku semakin tak beraturan. Aku benar-benar tak habis pikir dengan pria aneh ini. Tadi ia bilang bahwa aku temannya, sekarang ia malah tak mengakuiku. Entah apa maunya. Air mataku sudah mengalir hingga membasahi kerudung. Aku hendak pergi meninggalkan kafe, tetapi si pria aneh itu segera mencekal tanganku. "Tunggu!" serunya.

Aku menatapnya tak mengerti. Aku ingin melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, tetapi ia malah semakin mengeratkan pegangannya. "Dia memang bukan teman gue," ucapnya sekali lagi pada teman-temannya.

"Terus?" respons pria berjaket.

"Dia pacar gue!" jawab si pria aneh itu tanpa pikir panjang.

Mataku membulat sempurna menatapnya. Tindakannya sama sekali tak disangka-sangka. Pikiranku tak bisa menjangkau otaknya. Pria ini terlalu sulit ditebak. Lagi-lagi ia mengaku sebagai pacarku.

"Pacar?!" respons kedua temannya kompak.

"Iya," jawabnya cepat, "dia pacar gue. Jadi, gue harap lo berdua juga bisa nerima dia, dan stop menghina dia!"

Aku masih diam. Otakku masih berusaha mencerna kejadian ini.

"Kita duluan, ya!" Pria itu menarik tanganku keluar dari kafe tanpa menunggu jawaban teman-temannya yang terlihat bingung setengah mati. Ia langsung mengajakku masuk ke dalam mobil. Tanpa berbicara apa pun, ia melajukan mobilnya meninggalkan kafe itu.

Hening selama perjalanan. Tak ada yang bersuara di antara kami. Hingga akhirnya aku yang lebih dulu bicara karena rumahku sudah dekat.

"Itu rumahku, yang cat cokelat," jelasku menunjuk sebuah rumah kecil di ujung jalan. Ia pun menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku.

"Teratai," panggilnya.

"Iya?"

"Maaf banget ya soal tadi," ucapnya pelan. Ekspresi wajahnya seperti orang yang benar-benar merasa bersalah. "Kalau tahu bakalan kayak tadi, aku nggak bakalan mampir ke kafe itu. Aku benar-benar minta maaf."

"Udah, nggak apa-apa. Dari dulu aku udah biasa kok digituin. Jadi, nggak masalah," jawabku. "Jangan sampai pertemanan kamu rusak gara-gara aku."

"Mereka teman baru, kok. Aku baru kenal mereka minggu lalu. Mereka yang nolongin aku waktu aku dicopet di bandara," jelasnya. "Aku baru pulang dari Inggris, Ra."

Aku mengernyit heran. Untuk apa ia menjelaskan itu padaku? Aku tak punya urusan dengannya. Tapi ... panggilan 'Ra' di akhir kalimatnya tiba-tiba mengingatkanku pada seseorang. Suara dan nada bicaranya benar-benar sama. Ah, sudahlah. Apa yang kupikirkan?

"Makasih ya tumpangannya," ucapku berpura-pura tak memedulikan ceritanya barusan.

Aku pun segera turun dari mobil. Tepat saat aku turun, seorang wanita bercadar keluar dari rumah.

"Assalamualaikum, Umi." Aku menyalami Umi.

"Waalaikumsalam," jawab Umi. "Itu siapa, Nak?"

Belum sempat aku menjawab, pria itu turun dari mobil. Ia menghampiriku dan Umi.

"Assalamuaikum, Umi," ucapnya ramah.

Keningku saling tertaut melihat tingkahnya. Sok akrab sekali. Ia bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'Umi'. Aku melihat Umi terdiam. Mata wanita paruh baya itu menatap lekat wajah pria muda di hadapannya. Hening sejenak.

"Umi," panggilku menyadarkan lamunan Umi.

"Eh, waalaikumsalam," jawab Umi dengan wajah heran.

"Apa kabar, Umi?" tanya pria itu. Ia tersenyum manis di depan Umi.

"Kamu ... Bintang?"

Deg!!

Mendengar Umi menyebut nama Bintang, jantungku langsung berdetak tak keruan. Bintang?

"U-umi ... Umi ngomong apa?" tanyaku kebingungan.

"Lho, ini Bintang, kan? Bintang Angkasa Permadi, sahabat yang selama ini kamu cari," tutur Umi memperjelas.

"Bi-bintang?" Aku gelagapan. Tatapanku beralih pada pria aneh itu. Ia menatapku dalam diam. Hening.

"Kenapa ngelakuin hal tadi?"

"Ya, biar mereka berhenti menghina kamu."

"Memangnya kamu siapa? Kita kan nggak saling kenal."

"Tapi aku kenal kamu, kok."

"Jadi ... ka-kamu, kamu Bintang?" tanyaku terbata-bata.

"Kamu harus cobain cappuccino di sini. Kamu masih suka cappuccino, kan?"

"Bintang? Kamu beneran Bintang?"

Pria itu menghela napas. Ia kemudian menjawab dengan mantap, "Iya, Ra. Ini aku, Bintang."

Deg!!

Bintang? Hah!

Sungguh. Ini terlalu mengejutkan. Apa yang sudah membutakan mata dan hatiku hingga aku tak bisa mengenalinya? Sementara Umi yang hanya sekali melihat langsung mengenali wajahnya.

"Lho, kamu nggak tahu kalau ini Bintang?" tanya Umi heran. Aku hanya diam. "Walaupun terakhir kali Umi lihat Bintang waktu SMP, tapi wajahnya kan nggak berubah drastis. Memang tambah tampan sih, tapi masa anak Umi ini nggak bisa ngenalin? Alis tebal dan mata indah Bintang masih sama lho, Nak," lanjut Umi menggodaku. Padahal otakku belum sampai pada tahap yang bisa diajak bercanda.

"Umi, boleh izin ajak Teratai ke taman dekat sini nggak?" Bintang meminta izin dengan sopan.

"Hm ... boleh," jawab Umi tanpa pikir panjang. "Sepertinya harus ada yang diselesaikan di antara kalian."

Pria itu tersenyum senang. "Makasih, Umi."

***

"Apa? Bintang ke luar negeri?" pekikku heboh.

"Iya, Non. Setelah sidang perceraian kemarin, Nyonya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Dia ngajak Den Bintang," jelas Bi Iyam, asisten rumah tangga Bintang kala itu.

"Tapi kok mendadak, Bi? Dan kenapa nggak pamit sama kita? Dia anggap kita apa, sih?" cerca Kinar.

"Setahu Bibi, itu perintah Nyonya. Dia nggak mau keberadaannya diketahui siapa pun, termasuk sahabat-sahabat Den Bintang. Bibi aja nggak dikasih tahu mereka ke negara mana. Bibi hanya diminta untuk menjaga rumah ini selama mereka pergi."

"Aduh! Gimana kita bisa tahu kabar Bintang kalau kayak gini? Nomornya nggak ada yang aktif lagi. Huh!" keluh Justin sedikit kesal.

"Pantesan tiga hari dia nggak ikut MOS dan nggak ada kabar. Gila tuh anak, tega banget pergi nggak pamit sama kita," imbuh Kinar ikut emosi.

"Maaf, Non Kinar, Non Ara, dan Den Justin, Bibi nggak memihak siapa-siapa. Tapi sekarang kondisi Nyonya sangat kacau usai perceraian. Tolong dipahami. Den Bintang juga nggak pamit karena permintaan dari Nyonya. Tahu sendiri kan kalau Den Bintang sayang banget sama mamanya?" Bi Iyam kembali mencoba menjelaskan.

Kami pun hanya bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa kami ditinggalkan oleh seorang sahabat. Entah berapa lama dia pergi. Entah kapan dia akan kembali. Aku tak tahu. Aku hanya bisa menunggu. Walaupun aku tahu, aku sedang menunggu sesuatu yang tak jelas.

***

Di sinilah kami. Aku dan Bintang. Di sebuah bangku taman berwarna putih. Duduk berdampingan dalam diam, dalam keheningan panjang. Sudah lebih lima menit, tetapi tak ada pembicaraan apa pun. Si pria aneh ini juga tak mengoceh seperti sebelum-sebelumnya.

Bintang. Dia benar-benar semakin tampan sekarang. Aku heran pada diriku sendiri karena tak bisa mengenali wajahnya yang kearab-araban itu, tak mengenali pernak-pernik bintang di dalam mobilnya, tak mengenali suaranya, juga caranya memperlakukanku. Aku benar-benar sudah buta.

"Maaf, Ra." Bintang akhirnya membuka suara. "Maaf, dari awal aku nggak bilang siapa diriku sebenarnya. Aku pikir ... kamu bakalan ngenalin aku. Ternyata enggak."

Aku menghela napas sejenak. Lalu membalas ucapannya, "Aku juga heran, kenapa aku nggak bisa ngenalin kamu. Mungkin ... dulu aku terlalu sakit karena kamu pergi tiba-tiba. Aku mencoba melupakan kamu sebisaku. Mungkin ini sebabnya sekarang aku lupa."

"Waktu itu Mama depresi, Ra. Aku nggak bisa nolak permintaan Mama untuk keluar negeri dan nggak pamit sama siapa pun. Mama terlalu rapuh. Aku nggak tega. Jadi, mau nggak mau aku ikut Mama ke Inggris." Bintang membuka ceritanya. "Kamu, Kinar, dan Justin mungkin berpikir kalau aku tega, nggak berperasaan, atau apa pun itu. Tapi asal kalian tahu, di sana aku stres. Aku prihatin lihat keadaan Mama yang seperti orang hidup segan mati tak mau, aku kangen sama kalian di sini, aku kesel dengar kabar kalau Papa udah nikah lagi. Aku juga kacau, Ra." Suara Bintang mulai bergetar. Setitik air mata keluar membasahi pipinya, tetapi segera ia hapus. Ia tak membiarkan air mata itu bertahan lama.

Hatiku langsung bergetar mendengar cerita Bintang. Aku sungguh tak tega melihat air matanya menetes seperti ini. "Udah, Tang. Kamu nggak perlu cerita semuanya secara detail. Aku ngerti, kok. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf karena pernah berpikir kalau kamu itu jahat," lirihku.

Bintang. Aku merasa sangat malu pernah membencinya. Aku tak tahu kalau orang yang kubenci ternyata menyimpan luka yang sangat dalam. Seharusnya luka itu diobati, bukan malah semakin disakiti.

Maafkan aku, Bintang. Aku sudah salah paham selama ini.

"Oh ya, apa yang bikin kamu balik ke Indonesia? Mama kamu udah sehat?" tanyaku setelah hening beberapa saat.

"Aku balik soalnya Mama ... Mama udah meninggal."

Mataku membeliak mendengar jawaban Bintang. "Innalillahi wainna ilahi rajiun, ka-kapan?"

"Bulan lalu, Ra. Aku ngurusin segala hal tentang Mama di sana, setelah itu aku balik ke sini," jawabnya dengan suara gemetar.

Aku tergerak untuk memegang pundaknya, mengusapnya dengan maksud memberikan semangat. "Sabar ya, Tang," ucapku pelan.

Pria beralis tebal itu tersenyum tipis. "Makasih, Ra."

"Terus sekarang kamu tinggal di mana?" tanyaku lagi. Jujur aku sangat penasaran dengan keadaan Bintang sekarang.

"Tinggal di rumah lama. Selama aku di Inggris, rumah itu ditinggali Bi Iyam dan keluarganya. Pas aku balik, mereka mau pulang kampung, tapi aku larang. Aku ingin mereka tetap di sana dan nemenin aku," jelas Bintang.

Aku pun manggut-manggut. "Udah ketemu Papa kamu?"

Bintang langsung menyeringai mendengar pertanyaanku kali ini. "Buat apa? Aku udah nggak ada urusan sama dia."

Aku terdiam. Aku paham apa yang Bintang alami, apa yang ia rasakan. Jadi, aku memilih tak berkomentar apa pun. Sebaiknya aku segera mengganti topik pembicaraan.

"Kinar sama Justin mana?" tanyanya lebih dulu. Aku yakin ia juga ingin segera keluar dari pembahasan ini.

"Kinar tadi ada di gedung seni. Kamu nggak lihat?"

"Oh ya? Aku nggak lihat."

"Kamu cuma fokus bohongin teman-teman aku, sih."

"Emang tadi teman-teman kamu? Suka menghina gitu kamu bilang teman?" cerca Bintang terkesan mengintimidasi.

"Ya, biasalah. Dari dulu sampai sekarang aku masih jadi sasaran body shaming," ujarku santai. Bintang menghela napas. Tatapan matanya berubah sendu. "Biasa aja, Tang, nggak usah iba gitu sama aku. Aku kan udah terbiasa," lanjutku.

Tiba-tiba Bintang memegang tanganku. Ia menatapku lekat. Membuat jantungku tiba-tiba berdegup kencang. "Teratai, suatu hari nanti, nggak akan ada orang yang bisa menghina kamu. Aku akan selalu ada di depan untuk melindungi kamu."

Deg!!

Aku langsung melepaskan genggaman tangan Bintang. Ah, kenapa aku jadi gugup seperti ini? Bahkan menelan saliva saja aku kesulitan dibuatnya.

Bintang cekikikan melihatku yang salah tingkah. "Gugup, ya? Ciee...."

"Apaan, sih? Siapa juga yang gugup." Aku mengelak.

"Hm ... padahal jantungnya dag dig dug. Kamu pikir aku nggak tahu dari SMP kamu suka sama aku?" tuduhnya penuh percaya diri.

"Enak aja! Kepedean banget sih kamu."

"Ha ha ha." Tawa pria jangkung itu meledak. "Wajah kamu merah, ketahuan banget gugupnya."

"Enggak, ih!" Aku langsung bangkit dari bangku.

"Oke oke, maaf," ucapnya dengan sisa tawa. "Pulang, yuk! Udah mau magrib ini."

"Oke."

"Nanti malam ke rumahku, ya. Ajak Kinar sama Justin," ajaknya saat kami tengah berjalan menuju mobil.

"Mereka pasti marah. Kamu pergi mendadak, pulang mendadak juga."

"Nggak apa-apa, biar aku yang urus mereka."

"Oke. Siap."

⭐⭐🌼🌼

Terima kasih yang sudah membaca:)

Good bye, February!
28 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro