⭐Chapter 6🌼

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading....
.
.
.
.


Hening. Tak ada suara sejauh telinga mendengar. Empat manusia yang kini ada di taman belakang rumah Bintang terjebak dalam suasana canggung. Aku berpikir, mungkin Kinar dan Justin masih merasa kecewa pada Bintang. Tetapi Bintang telah menceritakan segalanya. Tidak adakah rasa iba di hati mereka?

Namun, perkiraanku mendadak sirna kala Justin bangkit dari duduknya, menghampiri Bintang dan menepuk bahu pria berwajah kearab-araban itu. "Sorry, Bro. Gue nggak tahu kalau kejadiannya kayak gitu."

"Maaf ya, Tang. Gue nyesel deh nggak ada di sisi lo ketika lo terpuruk," imbuh Kinar.

Seketika senyumku mengembang. Ya, seharusnya aku tahu. Mereka adalah Kinar dan Justin. Sahabat paling setia yang pernah kukenal.

"Kalian berdua jangan minta maaf. Ini salah gue," ujar Bintang.

"Udah, nggak usah saling menyalahkan. Yang terpenting, sekarang kita berempat sama-sama lagi." Justin berusaha mencairkan suasana. "Kuliah lo di Inggris gimana, Tang?" lanjutnya yang kini duduk menyeruput teh hangat buatan Bi Iyam.

"Oh iya, kuliah lo gimana kalau lo di sini?" Kinar ikut penasaran.

Aku yang sama sekali tak ingat tentang kuliah Bintang pun kini hanya menunggu jawaban dari pria itu.

"Lusa gue balik ke Inggris, kok. Udah seminggu gue di sini. Selesai kuliah, gue bakalan menetap di Indonesia," jelas Bintang.

Aku terdiam mendengar jawabannya. Jadi, Bintang akan pergi lagi? Hatiku rasanya sakit sekali. Dadaku bergemuruh dan mataku mulai berkaca-kaca. Kenapa aku sesedih ini?

"Baru juga datang, udah mau pergi lagi," cerocos Kinar.

"Gue janji, setelah lulus gue nggak akan ke mana-mana lagi." Bintang mencoba memberikan pemahaman. "Mau cepet-cepetan wisuda nggak? Yang duluan wisuda gue kasih hadiah," lanjutnya.

"Ah, pasti lo yang duluan, gue jamin," balas Justin yakin.

"Yup! Teratai ke dua," sambung Kinar.

"Gue ke tiga!" sahut Kinar dan Justin bersamaan.

"Lo pasti yang terakhir, lo kan malas," ujar Kinar sarkastis.

"Enak aja lo, orang malas bisa berubah jadi rajin kalau niat," bantah Justin.

"Niat pun lo nggak punya!"

"Lo lihat aja nanti!"

"Mau taruhan? Berani berapa?"

Aku dan Bintang hanya geleng-geleng kepala menyaksikan kehebohan yang kini kembali terjadi. Bintang berdeham, tetapi Kinar dan Justin tak peka. Sampai akhirnya Bintang bersuara, "Udah dong, woy! Kalian berdua nggak ada berubah-berubahnya, ya."

Aku hanya cekikikan melihat dua manusia absurd itu.

"Eh, bentar deh, gue mau nanya," ujar Kinar dengan wajah serius.

"Apa?" tanya kami bertiga bersamaan.

"Kalian berdua beneran pacaran?" tanya Kinar sembari menatapku dan Bintang bergantian.

"Enggak!" jawabku cepat tanpa pikir panjang.

"Pura-pura aja, biar nggak ada yang hina Teratai lagi," sambung Bintang enteng. Entah kenapa aku merasa aneh mendengar jawabannya. Ya, memangnya apa yang kuharapkan? Sungguh tak mungkin aku berpacaran dengan Bintang. Lagi pula, aku tak pernah pacaran dan tak ada istilah berpacaran dalam Islam.

"Konyol banget sih pertanyaan lo, mana mungkin mereka pacaran. Lo mau lihat abinya Teratai ngamuk?" seloroh Justin. Aku langsung terkekeh mendengarnya.

"Ya, namanya juga nanya!" sahut Kinar tak terima. Gadis itu kembali menatap Bintang. "Nggak bakalan mempan cara lo, Tang. Kalau caranya gitu, keadaannya malah makin parah."

"Maksudnya?" Bintang mengerutkan dahi.

"Gosip lo berdua udah tersebar di fakultas kita. Dan yang ada, nama lo berdua tambah jelek. Mereka bilang, lo mau sama Teratai karena cuma mau main-main aja. Sedangkan Teratai malah semakin dihina, dikatain nggak tahu diri karena pacaran sama orang ganteng." Kinar bercerita dengan berapi-apa. Emosinya tampak jelas dari gurat wajahnya.

"Teman-teman...," lirihku. Ketiga pasang mata di depanku kontan saja mengarah padaku. "Kalian nggak perlu melakukan apa-apa supaya aku nggak dihina lagi. Ini udah takdirku. Dan ini akan terus terjadi. Lagian aku udah terbiasa, kok. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Hening. Mereka diam menatapku.

"Artis aja yang udah cantik sering kena body shaming, apalagi orang Hirsutisme seperti aku. Wajar. Aku nggak apa-apa, kok," lanjutku.

"Tapi, Ra—"

"Kinar...," aku menyela, "udahlah, nggak apa-apa."

Aku menghela napas sebelum kembali melanjutkan apa yang memang ingin kukatakan. "Dalam hidup, kita akan bertemu banyak orang, banyak karakter, banyak kepribadian, banyak pendapat, dan setiap orang berbeda-beda. Kita akan bertemu dengan orang-orang baik, tapi orang jahat akan selalu ada. Kita akan bertemu dengan orang yang tulus, juga akan bertemu dengan orang yang hanya datang di saat butuh. Kita akan bertemu dengan orang yang pengertian, juga akan bertemu dengan orang-orang yang selalu menganggap kita salah sekali pun kita benar.

"Ada mata yang menatap dengan cinta, dan ada mata yang menatap penuh kebencian. Dalam hidup, kita menemui berbagai macam manusia. Dan itulah hidup yang harus kita terima. Tangan kita cuma dua, nggak akan mampu menutup satu per satu mulut jahat mereka. Kita hanya mampu menutup kedua telinga. Biarkan saja mereka berkoar-koar."

Aku mengakhiri pengutaraan pendapatku yang sudah mirip pidato itu dengan senyum hangat. Kutatap satu per satu wajah ketiga sahabatku. Mereka diam. Hanya beberapa saat. Sebab detik selanjutnya senyum mereka mengembang secara bersamaan.

"Aaa ... Ara, gue terharu," lirih Kinar sembari memelukku. Aku tersenyum dan membalas pelukannya.

"Dedek Justin pengen dipeluk juga, dong!" sahut Justin dengan bibir dimanyunkan.

"Najis!" sahut Bintang dengan wajah jijik. Sementara Kinar bereaksi seperti ingin muntah.

Aku tertawa lepas. Semua bebanku seakan hilang seketika. Aku setuju jika orang-orang mengatakan bahwa sahabat itu penawar luka. Mereka adalah tempat terbaik berbagi cerita.

"Oh ya, besok gue anterin kalian semua ke kampus, gue bakalan jemput juga," ujar Bintang. "Soal gosip gue sama Teratai, biarin aja, nanti juga tenggelam sendiri."

"Nggak ada pesta perpisahan nih?" tanya Justin.

"Ada, dong. Besok malam kita acara barbeque di sini. Oke?"

"Oke, Bos!" jawabku, Kinar, dan Justin kompak.

Malam ini aku benar-benar bahagia. Aku tahu bahwa aku akan sedih lagi karena Bintang akan pergi. Tapi ... bisakah aku amnesia sejenak? Aku hanya ingin melupakan hal-hal yang menyedihkan. Sebab hari ini aku hanya ingin merasakan bahagia.

***

"Wah, lo dianterin pacar lo, ya?"

"Itu beneran pacar lo, Ra?"

"Ganteng banget sih, Ra."

Kicauan di sana-sini terdengar kala aku, Kinar, dan Justin keluar dari mobil Bintang. Suasana mendadak heboh. Untung saja Bintang langsung meninggalkan pelataran kampus karena harus mengurus tiket penerbangannya esok hari.

"Aduh! Udah deh, diam ya kalian. Nggak usah kepo!" seru Kinar menghalau teman-teman yang mengerumuniku.

"Jangan suka ngurusin hidup orang, hidup lo semua juga belum tentu bener," imbuh Justin. Seperti biasa, ucapannya kadang menusuk.

Aku hanya bisa berdiam diri. Kinar menarik tanganku menjauh dari kerumunan. Membiarkan para makhluk penasaran itu semakin kepo. Aku bersyukur ada Kinar dan Justin di sisiku. Jika tidak, mungkin aku akan diserang dengan berbagai macam pertanyaan yang membuat diriku sendiri bingung menjawabnya.

Sembari menunggu dosen, aku memainkan ponselku. Ternyata ada direct message dari sebuah akun. Aku mengernyit. Aku mengenali akun itu. Akun yang pernah mengomentari fotoku dengan kata 'cantik'.

Orang asing itu mengirimiku gambar bunga Teratai beserta sebuah pesan.

Bunganya indah, ya. Kayak kamu:)

Aku memerhatikan gambar yang ia kirim. Rupanya itu merupakan foto bunga Teratai yang diambil pagi tadi. Tanggal beserta jamnya tertulis jelas di sudut foto. Tetapi aku tak mengenali tempatnya. Baiklah, lupakan hal itu. Aku lebih penasaran mengapa ia mengirimiku pesan seperti ini?

Maaf, kamu siapa?

Tak sampai lima menit, orang itu kembali membalas.

Pengagum rahasia. Tunggu saja, ya. Besok akan ada hadiah untuk kamu:)

Aku semakin mengernyit. Heran sekaligus penasaran. Aku kembali membuka profil si empunya akun. Masih sama seperti yang pertama kali kulihat, isinya hanyalah bunga dan pemandangan alam. Namun, ada yang sedikit berbeda. Gambar-gambarnya lebih banyak dilengkapi dengan caption yang cukup menarik.

Aku tertarik dengan foto bunga Teratai yang diambil dengan angle berbeda-beda.

Aku telah menemukan Terataiku. Dia tak jauh. Dia ada di sekitarku, di dekatku.

Aku bahagia telah menemukannya...

Begitulah caption yang kubaca. Entah bagaimana bisa, tapi perasaanku berbeda ketika membacanya. Ya, mungkin karena namaku adalah Teratai. Tak ingin semakin penasaran, aku memutuskan untuk tak membalas pesan itu lagi. Kebetulan dosenku juga telah tiba di kelas.

Baiklah, waktunya otak berkerja. Fighting!

⭐⭐🌼🌼

8 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro