Hujan Ikan Wader

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Azriel harus menunggu air hujan dan ikan wader turun satu per satu dari langit sebelum ia benar-benar pulang. Ada barang berharga yang sedang laki-laki itu bawa, dan kebetulan, dirinya tak membawa keresek atau kantung. Ukurannya cukup besar, dan benda itu lumayan rapuh.

Kalau ia berangkat sekarang, barang berharganya akan bau amis. Lalu ia harus membersihkannya dengan lap microfiber, ramuan daun talas, dan air mineral.

Ia tak peduli motornya sedang mandi sampai muncul bercak-bercak merah darah. Azriel justru khawatir bagaimana dia bisa membawa barang ini dengan aman. Soalnya, kalau air hujan mengenai barang ini sedikit saja, bisa-bisa barangnya akan luntur. 

Laki-laki itu tak bisa diam. Kakinya melangkah di bawah naungan warung di seberang jalan. Perutnya yang keroncongan segera membaca berbagai macam menu yang ada di sana, mulai capjay goreng, capjay kuah, capjay mie, kwetiau siram, fuyunghai, koloke, ayam saus inggris, ayam nangking, bihun kuah, nasi goreng sosis, dan masih banyak nasi goreng lainnya. Lambungnya bernyanyi terus-menerus. Memang tak bisa diajak berkompromi. Bibir bagian bawah ia gigit perlahan, berusaha bernegosiasi dengan perut agar diam sejenak.

Ada beberapa pejalan kaki yang tak membawa payung hilir-mudik di sekitar lelaki itu. Beberapa di antaranya adalah ibu-ibu yang membawa anak. Ya, mungkin masih TK atau SD.

Anak-anak itu tertawa dan menunjuk-nunjuk ratusan, bahkan ribuan ikan wader yang berceceran di jalanan, saling menggelepar dan tergilas kendaraan. Jalan raya di depan kini bercorak merah darah. Ibu-ibu justru asyik berswafoto dan merekam, meskipun baunya agak amis. Padahal sejauh mata memandang, yang ada cuma warna kelabu.

Meski Azriel memasang kacamata sekalipun, horizon penglihatannya dari kanan sampai ke kiri hanya kelabu. Seakan-akan sekarang ia naik ke Puncak Mahameru untuk kedua kalinya. Deras sekali kabutnya. Tak ada tanda-tanda matahari akan muncul dan memecah tarian air. 

Ia melihat tumpukan batok kelapa di seberang warung. Satu per satu batok itu ditata rapi sekali. Seperti sarang lebah berbentuk heksagonal, menaungi ruang-ruang di bawahnya. Entah kenapa, Azriel jadi tertarik memperhatikannya.

Tapi tak lama kemudian, ada mobil yang melaju kencang dari arah barat. Azriel dalam hati langsung mengumpat. Cipratan darah ikan wader itu nyaris masuk ke dalam mulutnya. Bibirnya terasa basah. Kacamata lelaki itu juga berembun merah. Azriel akhirnya hanya bisa melotot ke mobil yang melintas sembari menghela napas. Ia keluarkan lap microfiber yang ada di kotak penyimpanan. Lap itu bekerja dengan cepat menyerap cairan merah, memecah partikel-partikel air yang ada di dalamnya menjadi lebih kecil, sampai residu cairannya menghilang tanpa bekas.

Azriel mengembuskan napas lega begitu lensa kacamatanya kembali pulih seperti sedia kala. Tatapannya sesekali menghantam langit yang berkedip-kedip. Kilat semerah mawar beterbangan di mana-mana, diikuti gemuruh guntur. Awan-awan yang bergulung di angkasa juga turut bermandikan warna merah. Pria itu suka menghitung seberapa jauh gesekan petir. Ia biasanya berhitung: satu, dua, tiga, dan seterusnya. Kali ini, jarak antara kilat dan guntur hanya dua detik. Bahkan kurang dari itu.

Jujur saja, ia ingin cepat pulang. Selama jadi manusia, ia lebih cepat lapar, haus, dan ringkih. Ia mesti tahu kapan harus berhenti, dan kapan mesti melanjutkan perjalanan. Andaikan ia masih punya sayap seperti berabad-abad lalu, pekerjaan ini akan jauh lebih mudah. Ia baru tahu menjadi manusia ternyata seperti memikul bulan dan matahari sekaligus.

Terkadang, lelaki itu masih mengingat perkataan salah satu kakak tingkatnya. Bahwa orang yang tak berperasaan adalah orang yang terjebak hujan tapi tak ada niatan menulis satu puisi pun dalam hatinya.

Mengingat hal itu, Azriel tiba-tiba tertawa dan mulai menulis dalam benaknya.

Cinta, sekarang tanggal empat belas Februari, dan kauhadiahkan padaku ikan-ikan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro