Lembu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekujur tubuh Lintang menggigil parah.

Baru saja tujuh langkah dari pagar rumahnya sendiri, dan deretan giginya sudah gemeletak. Laki-laki itu biasanya selalu menengok kembali, meminta Azima mengejarnya, memeluk pinggangnya erat-erat. Kemudian ia akan melambaikan senyum, mencium puncak kepala sang adik, dan mengucapkan salam sembari mengemudikan sepeda motornya.

Tak ada jawaban kali ini. Hanya tetesan air yang naik dari dada dan meleleh di pipi Lintang.

"Ngghh!" Kedua kaki Lintang tampak kehilangan tulang selagi ia terjerembab dan hampir mencium karpet pasir di depan rumah.

Kepala laki-laki itu berdenyut hebat. Tangan lunglainya berusaha bersandar pada butiran pasir yang menyerap sinar matahari terakhir hari ini. Rasa nyeri perlahan merembet dari telapak kaki, paha, lalu lutut. Ada beberapa butir pasir yang mendarat di tepi bibirnya. Rasanya pahit, asin, dan masam.

Mula-mula Lintang terdiam. Namun dadanya begitu rakus begitu ia menengadahkan separuh wajah menuju telapak kaki orang-orang yang berjalan di seberang mobil. Lintang mulai tersedak dengan air matanya sendiri. Ia berusaha meludah, tetapi mulutnya hanya mengeluarkan sederet rintihan—seperti seekor domba yang tahu ia akan segera dibawa ke tempat jagal.

Rasa sakit akhirnya memaksa seluruh tubuh Lintang untuk memuntahkan isi perutnya.

Tepat setelah itu, udara dingin mengalir dari tenggorokan menuju paru-paru. Kedua mata laki-laki itu akhirnya bisa melihat dengan jelas gumpalan liur di bawah dagunya, menetes-netes dan membasahi karpet pasir. Genangan kuning kehijauan. Darah laki-laki itu semakin mendidih saat ia mengingat-ingat pertemuannya dengan Azima. Ia mencoba bertumpu dengan siku kanannya dan bangkit perlahan.

"Ghhh .. to-tolong ... di-dingin," desis Lintang, tak kuat menahan dingin.

Mata Lintang nyaris terbelalak. Ada beberapa kepul asap rokok merekah dari kedua belah bibirnya. Padahal, ia tak sedang merokok. Seketika, laki-laki itu semakin terisak selagi sekujur tubuhnya nyaris membiru—sebiru teratai utpala. Saking dinginnya, kulit Lintang serasa melepuh, membeku, retak, lalu terpecah-belah meskipun darahnya mendidih.

"Lho, le, apuwa le?" 

Lintang refleks menengadahkan kepalanya. Degup jantungnya seakan berhenti saat itu juga.

Siluet tubuh seorang pria membayang-bayanginya. Ada dua tanduk runcing menyembul dari dahinya. Sebuah kalung kerincingan perak melingkar di leher pria tersebut. Begitu angin berembus dan menghantam lembut kerincingan perak itu, suaranya mirip kereta api yang akan lewat. Aroma hutan jati, keringat para buruh, biji kopi, tuak yang tercecer, darah yang mengering, dan batang tebu mengangkasa. 

Siluetnya ... mirip seekor lembu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro