03. Masuk Pesantren

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari keberangkatan ke pesantren pun tiba.

Di langit pagi Purwokerto yang cerah, Mama dan aku sedang bersiap-siap berangkat ke pesantren, menjinjing tas besar, memasukkannya ke bagasi mobil SUV silver. Jangan tanya isi tas besar itu apa, jelaslah berisi perbekalanku untuk mondok.

Omong-omong, ada barang di dalam tas besar yang baru aku tahu, Mama sengaja memasukkanya diam-diam tadi malam, tak lain adalah 2 setel baju gamis. Soalnya aku paling anti pakai baju muslim yang berjenis gamis. Secara, aku gadis tomboy, pakai gamis yang tampak feminim jelaslah bukan kesukaanku. Biasanya kalau ngaji maghrib di mushola saja aku pakai baju muslimnya potongan, dan jenis potongannya pun yang berbawahan celana.

Tadi malam aku bahkan sempat berbagi keluh kesah dengan Mama karena disuruh membawa lebih banyak setelan baju muslim dengan rok daripada celana. Aku menurut, tapi dengan ogah-ogahan, padahal Mama sudah memberi tahuku kalau di pesantren biasanya dilarang memakai celana dan baju yang ketat-ketat. Alhasil kalau melanggar akan terkena hukuman, tetapi aku memilih bebal, lebih banyak membawa celana.

"Memang di pesantren beneran banyak peraturan, Ma?" tanyaku di sela-sela perjalanan.

"Iya. Seperti kamu sekolah SMP aja kemarin, peraturannya juga banyak, 'kan?" Mama yang sedang menyetir menjawab sembari melirik ke arahku sejenak.

Aku mengangguk khidmat. Kalem lagi sembari menatap sisi jalan yang kini berpanorama hutan pinus dari balik kaca mobil.

Dari tadi malam aku sudah banyak merenung, membayangkan betapa sedihnya nanti hidup tanpa Mama di pesantren. Harus beradaptasi dengan orang-orang baru di sana. Suasana baru yang pastinya sangat kontras dengan di rumah. Apalagi katanya di pesantren aktivitasnya padat sekali. Namun, ya sudahlah, bismillah, niat tholabul 'ilmi.

Kurang lebih 2 jam perjalanan, Mama dan aku sampai ke lokasi pesantren.

Setelah memarkirkan mobil di parkiran khusus untuk para pengunjung pesantren, aku dan Mama cekatan membawa 2 tas besar perbekalan. Berjalan kaki ke gerbang utama pesantren putri.

Aku menyempatkan mendongak menatap gerbang pondok pesantren di hadapanku kini. Sebuah pintu gerbang berukuran standar dari besi yang sedikit menutupi bangunan tinggi di dalamnya. Terdapat CCTV di sudut atas dinding gerbang. Pun terdapat sebuah papan nama pesantren menggunakan aksara Arab dan alfabet; Pondok Pesantren Putri Manba'ul Hikmah Cilacap.

Perlahan, kedua kakiku pun menjejak lagi mengikuti langkah Mama yang mendahuluiku masuk pintu gerbang.

Pesantren putri terdiri dari 3 gedung berformasi huruf U. Setiap gedungnya memiliki 3 lantai. Dan formasi U barusan mengapit pada sebuah rumah bertingkat satu milik pengasuh pondok.

Kami pun masuk ke kantor pusat pesantren putri untuk mendaftar, letaknya di gedung satu paling bawah dan berdekatan dengan ndalem. Disambut baik oleh Mbak Santri berkerudung oren yang katanya adalah salah satu pengurus pondok, memandu pendaftaran.

Untuk mendaftar tidaklah lama, cukup sekitaran 15 menit untuk mengurus administrasi, melihat peraturan pondok yang ada, membayar pendaftaran dan uang bulanan, beres sudah. Langkah selanjutnya adalah sowan ke ndalem pengasuh pondok untuk Mama memasrahkanku mencari ilmu di sini.

Sowan ke ndalem pun tidak begitu lama, kurang dari 30 menit kami sudah keluar dari rumah yang terapit bangunan pondok formasi U. Barusan di sana aku disambut oleh Abah Kyai Dullah dan Ummi Izzati. Aku juga mendapat nasehat Ummi Izzati supaya dibetah-betah, kata beliau; mondok itu menyenangkan karena banyak teman seperjuangannya.

"Mangga, kulo anteraken teng kamar," ajak Mbak Santri berkerudung biru laut dengan ramah, menyambut kami setelah keluar dari ndalem, mengantarkan kami ke kamar yang sudah disediakan untukku.

(Ayo, saya antarkan ke kamar)

"Titip Mbak Azhima, Faa. Direncangi, diopeni nek nten nopo-nopo," dawuh Ummi Izzati yang mengantar kami hingga teras.

(Titip Mbak Azhima, Faa. Ditemani, diurusi jika ada apa-apa)

Mbak Santri berkerudung biru laut di sampingku langsung mengangguk takdzim, menjawab, "Nggih, Ummi."

(Baik, Ummi)

Sesaat kemudian, Mbak Santri berkerudung biru laut yang tak lain bernama Zalfaa, mengantarkan kami ke lantai 2 gedung pertama pondok. Ke kamarku.

***

Kamar ini tampak lebih besar dari kamarku di rumah. Di dalamnya terdapat 4 keranjang tingkat, formasi 2:2 di setiap sisi dinding dengan satu ranjang memuat 2 orang, jadi satu kamar berkapasitas 16 orang.

Mbak Santri berkerudung biru laut, alias Zalfaa menyilakan masuk Mama dan aku. Langsung disambut baik oleh 2 santriwati di dalam yang sedang saling mengobrol di satu keranjang kasur.

2 santriwati itu langsung menyambut baik kami setelah mendengar assalamu'alaikum, menjawab serentak, bergegas menyalami Mama dan aku.

Kamar ini adalah salah satu kamar khusus untuk santri baru. Tepatnya berada di komplek B kamar no 5. Penghuni kamar B5 masih longgaran; 4 orang ditambah aku, sekarang jadi 5 orang, sebab memang para santri baru belum berdatangan karena masih di libur awal kelulusan, biasanya akan padat jika sudah mepet masuk ajaran baru sekolah formal.

Karena masih longgar personil, aku dileluasakan untuk memilih tempat tidur. Aku memilih bersama Zalfaa di keranjang bawah.

"Kamu sudah dipasrahin Ummi sama aku, jadi jika ada apa-apa bilang aja sama aku, ya?" ucap Zalfaa tatkala aku sedang menata baju ke lemari yang tak lain terpasang di kepala tempat tidur itu sendiri.

"Siap, Faa!" antusiasku, sudah sok akrab seperti teman lama saja, menjeda sejenak menata baju untuk fokus ke arah Zalfaa yang duduk di pinggiran ranjang seberang.

"Azhima bener-bener baru tahu kehidupan tentang pesantren, jadi mohon dibimbing ya, Mbak. Kalo nakal, langsung diberi sanksi aja, soalnya kalo nggak, dia ngelunjak nanti," ujar Mama yang duduk di sisi ranjangku, bersebelahan denganku yang sedang menata pakaian.

Zalfaa mengangguk takdzim.

"Nggih, Bu." Suara Zalfaa menjawab lembut seperti sebelumnya, setelah aku memberengut dengan mencicit, "Mama."

"Kamu yang penurut di sini. Jangan ngelangagar aturan. Ngikutin dawuh Ummi Izzati, Nak. Ngaji yang bener biar pinter," imbuh Mama, menepuk sebelah bahuku.

"Iya, Ma," jawabku.

Acara beres-beres pakaian dengan ngobrol ringan selesai setelah 30 menit waktu dihabiskan. Saatnya Mama untuk pamit pulang. Ah, sedihnya.

Aku pun diberi kesempatan untuk mengantar Mama ke parkiran ditemani Zalfaa.

"Dibetah-betah ya, Nak. Di sini banyak temannya, nggak usah khawatir. Mama juga akan rutin jenguk kamu sebulan sekali. Semangat!" nasihat Mama tatkala hendak masuk ke mobil, mengusap kepalaku yang terbalut hijab hitam, tersenyum menenangkan.

"Iya, Ma. Mama jangan khawatir. Aku bakal cepet betah di sini, apalagi ada Zalfaa." Aku menjawab dengan susulan ber-hehehe, menyembunyikan wajahku yang murung, menguatkan hatiku yang sebenarnya juga tak mau berpisah dari Mama.

"Mama pulang. Doa Mama selalu menyertai kamu, Nak. Jangan khawatir tentang apa pun," ujar Mama lagi. Meraih kepalaku dengan kedua tangan, mengecup keningku lembut.

"Jangan kangen Mama berlebihan. Jangan kangen rumah berlebihan juga. Nanti nggak betah-betah," imbuh Mama yang membuat hatiku tersentuh, netra kelamku jadi berkaca-kaca.

"Iya, Ma. Jangan khawatir," ucapku dengan lirih. Memeluk Mama erat.

Mama pun pulang setelah bersalaman denganku dan Zalfaa.

Sedangkan aku dan Zalfaa pulang ke pondok dengan mampir ke mini market terdekat untuk membeli kebutuhan mandi seperti sabun, odol, sampo, dan lain-lain. Juga alat tulis untuk mengaji. Zalfaa juga mempunyai titipan dari Ummi Izzati untuk membeli pembalut.

"Pertama kali aku lihat kamu, kupikir kamu Ipeh, Azhima," jujur Zalfaa ketika kami sedang memilih sabun mandi cair di rak display mini market.

"Ipeh? Apaan tuh Ipeh?" sahutku, menyempatkan melirik Zalfaa sejenak.

"Ipeh itu Syarifah, alias sebutan khas untuk cewek yang masih mempunyai garis keturunan Rosul," jelas Zalfaa.

"Kalo cowok sebutan khasnya Habib," imbuhnya.

"Owalah, iya aku tahu itu kalo Habib. Tapi kalo yang Ipeh barusan itu baru denger." Aku menimpali demikian. Tersenyum singkat ke arah Zalfaa. Sebelah tanganku kembali memilih sabun cair.

Zalfaa tersenyum lebar. "Soalnya kamu cantik banget kaya cewek Arab, macem Ipeh-ipeh yang biasa aku liat," jujurnya sembari mengambil sebotol sabun mandi cair untuk dirinya, memasukkan ke keranjang belanjaan.

Aku tersenyum tipis. Sudah biasa runguku mendengar perkara satu ini;
cantik kayak cewek Arab.

"Ngomong-ngomong, pasti papamu berwajah kayak orang Arab, ya? Wah, aku jadi penasaran sama papamu. Pasti ganteng." Zalfaa tersenyum lebar. Ini adalah kelakarnya untuk kali pertama padaku yang tidak ada lucunya blas.

Mendengar itu, tetap saja dadaku ngilu. Tahu 'kan jika aku paling benci jika ada seseorang yang menanyakan perihal ayah kepadaku dalam bentuk apa pun, sekalipun ... aku sangat yakin Zalfaa belumlah tahu fakta perkara aku tak punya ayah, dan barusan hanya sekedar obrolan ringan.

Aku menoleh ke Zalfaa, tersenyum tipis lagi.

"Ayah aku gantengnya kayak Omar Barkan. Kamu bakalan naksir kalo liat nanti." Akhirnya aku memilih jawaban kelakar juga dengan menautkan Omar Barkan--seorang model Timur Tengah yang dianggap terlalu tampan hingga kabarnya dideportasi dari Saudi Arabia karena ketampanannya.

Wajahku yang sempat murung semringah nian. Untung saja dari dulu aku dianugerahi lihai memanipulasi keadaan, selalu tampak baik-baik saja, sekalipun kadang hatiku sedang porak poranda seperti kini.

Zalfaa memilih melebarkan senyum. Gadis ini tampak manis sekali di penglihatanku dengan 2 gigi kelinci yang tampak.

Tidak apa. Luka ini akan segera sembuh, seperti kata Mama, batinku kemudian saat akhirnya aku membuntuti Zalfaa ke rak display pembalut.

Aku pun mengambil satu kotak pembalut biasa dan malam di rak display, memasukkan ke keranjang belanjaan. Berjalan pelan menjauh dari Zalfaa, beralih ke arah rak display di seberang bagian ujung belakang mini market untuk mengambil beberapa mie instan. Aku mengambil 3 bungkus mie instan, cekatan memasukkannya ke keranjang, dan saat berbalik untuk kemudian kembali ke arah Zalfaa, aku tertabrak oleh seseorang.

Tubuhku limbung, tetapi tidak sampai terjatuh karena cekatan bisa menyeimbangkan tubuhku kembali. Aku menatap lelaki itu yang menabrakku, tampaklah sosok cowok seumuran denganku.

"Hati-hati kalo jalan," tegur cowok itu dengan muka acuh tak acuh.

Aku mengernyit mendapat teguran itu. Aneh sekali. Jelas-jelas yang menabrak adalah cowok itu.

"Kebalik kali," ketusku.

Kini ganti cowok si penabrakku yang mengernyit.

"Santri baru?" tanyanya, malah keluar dari jalur pembicaraan.

"Iya," singkatku. Malas menanggapi cowok kurang sopan santun satu ini yang bukannya meminta maaf, malah tampak mau mengadili.

"Oh, pantes," jawab lelaki si penabrak, lalu tak acuh meninggalkanku, menuju rak display berisi rokok.

Setelahnya aku mendesah lemah sebab tiba-tiba harus bertemu dengan cowok belagu macam dia. Memilih tak acuh juga, kembali ke arah Zalfaa yang sudah ke meja kasir.

Tak berselang lama, aku dan Zalfaa pun pulang dan sampai ke pondok. Zalfaa mengajakku menemaninya untuk menghaturkan pembalut malam titipan Ummi Izzati. Menghaturkan titipan pembalut itu. Kemudian Ummi Izzati memerintah kami untuk ke dapur ndalem, mengambil lauk tongkol di sana untuk makan siang kami.

Sampailah kami ke dapur ndalem bergaya minimalis yang dipadukan dengan desain kontemporer. Langkah pelanku tertahan diiringi dengan sebelah alisku terangkat mendapati sosok tak asing.

Sosok tinggi atletis dengan kaos oversize putih yang dipadukan dengan celana jeans, rambut kepala undercut seperti Cristiano Ronaldo, sedang berdiri di samping top table untuk mememasak ramen. Sosok tak asing yang beberapa saat lalu ditemuiku di mini market.

Aku terhenyak, tepat ketika cowok yang sedang memasak ramen itu merasakan keberadaan kami di radius 5 meter, beralih fokus menatap ke kami.

Si Cowok Belagu di sini? Ngapain? keluhku dalam batin, saat pada akhirnya kedua manik mata kelamku saling bertumpu dengan mata hitamnya.

_________________


Ndalem: istilah khusus bagi santri untuk menyebut kediaman pengasuh pesantrennya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro