04. Gus Fawaz

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau apa, Faa?" tanya cowok berambut undercut yang barusan menabrakku dan membeli rokok.

"Mau ambil lauk tongkol, Gus," jawab Zalfaa dengan suara dan bahasa yang kentara sopan. Menambah kadar keherananku dalam bisu.

Buat apa sesopan itu sama si cowok belagu? tanyaku dalam batin sembari melirik ke arah Zalfaa. Gus? Gusuran? Agus ya namanya? Eh, atau Agustus? Sial! Pikiranku malah melayang rumit untuk mencari kebenaran nama si cowok belagu itu. Kurang kerjaan banget!

"Ambil aja gih. Ngapain lo nunggu lama di situ," titah cowok ini. Kembali fokus ke arah panci dengan air di dalamnya yang sudah mendidih. Menyobek kemasan ramen, menuangkannya ke panci perlahan.

Zalfaa pun beringsut mendekat ke arah cowok itu, tepatnya ke area top table. Jelaslah diekoriku. Mengambil 2 lauk tongkol yang dimaksud Ummi Izzati di top table yang ditutup tudung saji.

"Dia anak baru, Faa?" tanya cowok itu yang kini sedang mengaduk ramen di panci.

"Nggih, Gus," jawab Zalfaa. Menutup tudung saji setelah berhasil mengambil lauk tongkol.

Aku yang berposisi di belakang Zalfaa menatap penuh selidikan tanda tanya akan cowok itu. Kenapa pula harus tanya lagi kalau diriku santri baru, padahal jelas-jelas sudah kukatakan "iya" saat di mini market barusan. Dan semrawutan juga bertanya perkara; kenapa coba cowok belagu macam dia bisa-bisanya nyasar ke dapur Ummi? Mana enak banget buat ramen kayak di rumah sendiri dengan gaya ala generasi micin.

Namun, itu hanya sekedar tanya sepihakku. Tidak ada percakapan lain setelah itu di antara kami bertiga. Zalfaa dan aku pun keluar dari dapur ndalem. Beringsut mengambil jatah makan siang di dapur pondok, lalu menyantapnya di ruang makan pondok.

Ruang makan pondok bersebelahan dengan dapur pondok. Ruangannya jauh dari atensiku sebelumnya dengan ruang berisi jajaran set meja dan kursi. Nyatanya justru ruang kosong layaknya aula dengan dinding belakang terpasang jejeran wastafel untuk mencuci tangan dan box makan. Terdapat 2 box sampah untuk sampah kering dan basah di pojokan.

Alhasil Zalfaa dan aku duduk lesehan saja di keramik ruang makan. Menyantap nasi dengan sayur kangkung dan irisan telor dadar, ditambah lauk tongkol dari Ummi.

"Barusan tuh cowok namanya Agus, ya? Eh atau Agustus, Faa? Dia kenal sama kamu juga ya keliatannya?" tanyaku di sela menyantap makan siang.

Zalfaa tampak menelan unyahannya di mulut sebelum menjawab, "Bukan Agus, apalagi Agustus namanya, Azhima. Bukan itu namanya. Iya, kami memang udah saling kenal dari lama."

"Lalu apa? Gusuran?" timpalku asal.

Zalfaa mengulas senyum geli. "Bukan. Gus itu sebutan untuk putra Kyai di kalangan pesantren, Azhima. Namanya Fawaz. Gus Fawaz."

Aku yang sedang mengunyah lauk tongkol tersedak mendengar fakta barusan. Kembali menatap Zalfaa dengan muka terheran.

"S-serius? Jadi cowok tampang generasi micin itu ... maaf ... putra Abah dan Ummi?" tanyaku dengan melotot.

***

Ternyata si cowok belagu barusan adalah Fawaz Abdullah, putra kedua Abah Kyai Dullah. Pantesan saja cowok itu ketika menanyaiku perihal "Santri baru?" dan aku mengiyakan, dia langsung berujar "Oh, pantes". Oh pantes dalam arti pantesan saja tidak tahu siapa dirinya yang populer seantero pondok putri.

Fakta tersulit dipercayaiku perihal Fawaz--yang biasa disebut Gus Fawaz oleh para santri-santriwati ini--adalah bergaya layaknya remaja generasi micin. Kesan belagu alias songong di kali pertama itulah yang membuatku terheran-heran bahwa itu putra Ummi Izzati dan menyana kalau palingan anak tetangga pesantren yang sok dingin dan keren. Apalagi dengan gayanya yang ala badboy dengan tampilan rambut undercut, ditambah menggunakan bahasa lo-gue di sini yang termasuk pedesaan.

"Dulu mondoknya di ibu kota, masih di pondok milik pamannya. Dia termasuk anak cukup nakal, suka pergi dari pondok saat jam ngaji, keluar pondok sesukanya, hingga berakhir diam-diam ikutan casting film," jelas Zalfaa dengan nada lebih rendah.

"A-apa? Ikutan casting film? Mau jadi artis?" Kedua netra kelamku membulat. Menenggak air putih di botol minumku.

"Nyaris jadi artis, Azhima. Dia udah lolos casting. Terpilih jadi salah satu peran pembantu buat projek film adaptasi dari novel best seller. Tapi ya itu ... gagal sebelum semuanya terjadi, Abah dan Ummi nggak ridho saat tahu niatan Gus Fawaz itu." Zalfaa lebih merendahkan volume bicaranya, seperti takut-takut ketahuan sedang menghibahi putra pengasuh pesantrennya ini oleh orang lain, sekalipun di sini hanya ada kami berdua.

"Memang jika jadi main peran, dia jadi karakter apa? Film-nya genre apa, ya?" Sifat kepoku muncul ke permukaan.

"Jadi badboy yang tsundere, Azhima. Genre-nya fiksi remaja gaul yang banyak skinship dengan cewek," ungkap Zalfaa atas pertanyaanku.

"Pantes, Abah ama Ummi nggak ridho kalo gitu mah. Mungkin kalo genre religi atau yang nggak skinship sama cewek, boleh kali, ya?" terkaku sembari wajah sosok cowok belagu tadi hadir dalam pikiran. Memang sih cowok itu goodlooking. Dipikir-pikir mirip AL-Ghozali. Eh, nggak sih, lebih mirip Jefri Nichol, apalagi dengan dagu belahnya tadi.

"Bisa jadi boleh, tapi nggak tahu juga, sepertinya lebih ridhoan si Gus mondoknya yang bener aja. Bagaimana pun dia kan diharapkan banget buat jadi penerus pesantren ini," jawab Zalfaa, menyuap sisa tongkolnya.

Aku bergeming sejenak. Pikiranku masih terheran-heran dengan fakta Gus Fawaz. Lagi-lagi terheran dengan konsep yang sama dari sebelumnya; tampak layaknya generasi micin, padahal  dia putra pengasuh pesantren, seharusnya attitude jauh lebih baik dari itu yang terkesan songong.

"Kok bisa ya, dia kayak gitu .... Maksudnya ... dia kan ...." Akhirnya mulutku bicara, tetapi ragu-ragu.

Seperti tahu jalan pikiranku, Zalfaa cepat tanggap. "Gus Fawaz manusia biasa, Azhima. Abah dan Ummi juga manusia biasa. Kadang di posisi Abah dan Ummi yang terhormat seperti ini, yang banyak disegani orang-orang sebab kearifannya, ketawadhuannya, justru yang menjadi cobaan terbesarnya terkadang malah putra beliau sendiri yang bisa dibilang ... justru bertentangan dengan sikap mulia beliau ...."

Aku mengangguk pelan. Jawaban Zalfaa benar sekali. Kata guru mengajiku di rumah, kadang anak memang menjadi cobaan terbesar bagi orangtuanya dengan konteks cobaan yang beragam untuk setiap pasangan. Jika Abah dan Ummi cobaan terbesarnya mungkin adalah Gus Fawaz dengan sikap generasi micin, lalu bagaimana dengan Mama? Apakah Mama diam-diam juga menganggap diriku menjadi salah satu cobaan terbesar Mama dalam hidupnya? Aku jadi melamun sebab menerka-nerka itu. Hingga semuanya buyar ketika suara nyaring pekak terdengar.

Tetttttttttt!

Derit bel pesantren terdengar seantero asrama putri. Bel dengan bunyi tet satu kali yang cukup panjang menandakan saatnya untuk salat dzuhur berjamaah. Khilaf juga karena keasyikan membahas Gus Fawaz, aku dan Zalfaa jadi tidak dengar sayup adzan dari speaker masjid yang berada di dekat pondok putra sana.

Para santriwati pun tampak menanggalkan aktivitas untuk kemudian bergegas mengambil air wudhu. Yang sedang tidur siang perlahan bangun, mengangkat kaki untuk melangkah ke kulah. Pun sama, aku dan Zalfaa yang berduaan makan siang di ruang makan pondok bergegas ke kulah, menyempatkan mencuci box makan kami yang sudah kosong, serta satu piring bekas lauk tongkol dari Ummi Izzati.

Ini kali pertamanya aku ke kamar mandi di komplek B. Area kamar mandi yang ada seperti sebuah lorong cukup dalam dengan terdapat 10 kamar mandi. Tepatnya sisi kiri berisi petakan-petakan kamar mandi, sisi kanan memberi ruang jalan dengan pinggiran terpasang kran-kran.

Di saat waktu berwudhu untuk persiapan salat, kamar mandi cukup padat. Kran-kran di sisi kanan hampir penuh digunakan, sebagian kamar mandi pun demikian. Namun, kata Zalfaa, ini belum seberapa padatnya karena kamar mandi yang sedang kami pijak adalah untuk para penghuni komplek B yang masih cukup sedikit penghuni sebab belum berdatangan santri baru, besok kalau sudah santri baru berdatangan bisa lebih padat dan antrean lebih lama. Berbeda dengan kamar mandi komplek lain yang berisi santri lama, padat dan antre banget.

Tak perlu menghabiskan waktu lama untuk wudhu sebab tidak perlu mengantre barusan, aku dan Zalfaa sudah kembali ke kamar.

Di kamar, aku bertemu kembali dengan 2 orang yang sedang mengobrol saat diriku kali pertama masuk ke kamar dengan Mama. Bersalaman dengan 2 anak itu, saling berkenalan, dan ternyata nama 2 anak ini Khulasoh dan Sofiya. Khulasoh santri baru dari Tegal, sedangkan Sofiya santri baru dari Bangka Belitung. Mereka berdua seumuran denganku.

Kami berempat pun mengenakan mukenah masing-masing. Dan satu personil kamar yang tersisa datang juga. Namanya Roihana, dia bukan santri baru, sudah 5 tahun di pondok, menjabat sebagai rois atau ketua kamar B5 yang akan mengurus dan mengkoordinir penghuni kamar B5. Mbak Roihana berasal dari Banjarnegara. Kalau Zalfaa dari Kebumen, dekat Pantai Ayah.

Kami berempat pun berangkat ke mushala pondok putri bersama. Sedangkan Mbak Roihana karena sedang haid jadi free, memilih menyapu kamar.

Ruang mushala pondok putri luas dengan nuansa dominan warna putih; mulai dari cat tembok hingga keramik lantai. Ada beberapa rak kayu gantung untuk menaruh al-Quran yang ditempel di tembok, satu mimbar kayu dengan logo pesantren yang berfungsi untuk acara khitobah, tempat khusus imam berada di ujung depan mushala mengarah kiblat, terpasang juga beberapa kipas angin dinding.

Ruang mushala sudah separuh terisi dengan sajadah yang sudah mengambil shaf dan si pemiliknya kebanyakan sedang bersimpuh membaca al-Quran, tetapi ada beberapa juga yang malah ngobrol asyik.

"Aku lupa bawa al-Quran, Faa," keluhku setelah menggelar sajadah.

"Kamu lupa bawa al-Quran? Pinjem aja yang ada di sini," sahut Khulasoh yang kini duduk di sebelahku.

"Iya, pinjem aja yang ada di sini. Toh, banyak juga al-Quran yang nganggur dan udah nggak ada pemiliknya juga, jadi udah dihalalin buat dipinjem," nimbrung Sofiya yang berada di sebelah Khulasoh.

"Memang beneran boleh?" Aku masih ragu-ragu.

"Boleh banget. Nggak papa, Azhima." Ini suara Zalfaa.

"Yuk, pinjem Quran di sono tuh," ajak Khulasoh sembari menunjuk sebuah rak gantung radius 2 meter darinya.

Aku pun akhirnya memilih saran untuk meminjam al-Quran karena malas juga jika harus ke kamarku lagi. Ditemani Khulasoh dan Sofiya, aku beringsut ke arah rak gantung yang dimaksud, meninggalkan Zalfaa yang sedang nderes al-Quran.

Sampai tujuan, aku memilih al-Quran di rak. Begitu pun dengan Khulasoh dan Sofiya sibuk membantuku mencari al-Quran yang sudah tidak ada pemiliknya untuk dipinjam. Di deret rak al-Quran, ternyata lebih dominan berisi al-Quran dengan mushaf yang sudah lusuh dan ngelinting, mungkin akibat dulunya si pemilik rajin banget nderes.

Tak berselang lama, kedua netra kelamku tertuju pada al-Quran sampul biru dengan kondisi fisik yang masih baik. Tangan kananku pun beringsut mengambil al-Quran itu untuk menilik siapa pemiliknya, mengecek bisa dipinjam atau tidak.

Dan saat sebelah tanganku hendak mengambil al-Quran biru tersebut dengan menarik pelan dari tatanan, tiba-tiba seseorang memanggilku dengan suara yang cukup akrab kudengar.

"Azhima ...."

_______________


Gus: sebutan spesial para santri untuk putra kiyai.

Ning: sebutan spesial para santri untuk putri kiyai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro