14. Duh Gusti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku hanya tersenyum, tidak menjawab apa pun, memilih menimpali pelukan Khulasoh, menepuk-nepuk punggungnya.

Khulasoh mengeratkan pelukanku. Sepertinya tangisan Khulasoh semakin deras, aku bisa merasakannya dari embusan napasnya yang tidak teratur.

Terdengar langkah kaki seseorang ke kamar mandi.

Khulasoh dengan gesit mengurai pelukannya. Dia cepat-cepat menghilangkan jejak air mata dengan kedua tangan. Lalu tanpa bisa kuprediksi, saat seseorang berhasil masuk ke kamar mandi dan berjalan cepat ke toilet karena seperti kebelet buang air, Khulasoh tertawa keras.

"Aduh, besok ulangan bahasa Inggris ya, Jim? Aku belom belajar," katanya sembari menepuk jidat. Wajahnya sudah berubah drastis, tidak ada lagi sisa sedih, rupanya Khulasoh pandai memanipulasi perasaannya.

"Jim, diem aja," ujarnya kemudian mendapatiku yang masih diam. Dia menepuk sebelah bahuku.

"Mau ditungguin nggak? Kalo nggak aku balik ke kamar dulu nih," imbuhnya itu.

"Nggak. Kamu ke kamar dulu aja," jawabku.

"Oke deh kalo gitu." Khulasoh tersenyum lebar, lalu pergi.

Aku menatap punggung sahabatku satu ini dengan perasaan masih keheranan.

Khulasoh itu, dia adalah sahabatku yang paling ceria. Dia itu memiiki selera humor yang bagus, pandai membuat hidup suasana menjadi hangat, pokoknya dia bisa dibilang happy virus.

Aku pikir Khulasoh itu tidak mempunyai beban berarti dalam hidupnya. Setahuku, dia mempunyai keluarga yang lengkap, ekonomi keluarganya juga berkecukupan, dan dia mempunyai seorang abang yang sangat sayang padanya. Pokoknya kehidupannya adalah salah satu jenis kehidupan yang aku inginkan.

Oh, Allah, ternyata aku tertipu selama ini. Beban Khulasoh itu ada. Sekalipun aku belum tahu macam apa beban itu, tetapi aku bisa merasakannya barusan; bahwa beban yang sedang ditanggungnya berat.

Beban berat itu, aku bisa merasakannya dari suara Khulasoh barusan yang bergetar, pelukan eratnya, dan tangisan dalam diamnya. Sosok yang selalu terlihat ceria ini sungguh sedang tidak baik-baik saja, dia sedang rapuh. Kuyakin tentang ingin buang air kecil adalah bohong, dia ke sini hanya ingin menangis tanpa diketahui orang-orang.

"Mbak, tungguin aku!" seru seseorang dari dalam toilet.

"Iya, Mbak," jawabku, terbuyar dari lamun. Beringsut melepas hijab, menunggu santriwati itu yang entah siapa sedang gosok gigi, mencuci muka, dan wudhu.

Tidak sampai 10 menit, aku sudah kembali ke kamar. Kamarku sudah dipadamkan lampunya, tampak remang dengan pencahayaan dari luar saja.

Sebelum naik ke keranjang tidur, aku menyempatkan mendongak untuk menatap Khulasoh di kasurnya. Dia sudah tidur dengan selimut membalut tubuh sempurna. Entah, itu benaran dia sudah tidur atau tidak, aku tidak tahu, tapi bisa jadi dia justru sedang menangis dalam diam.

Aku memilih tidak mengusiknya, kadang sebagian orang di saat sedih seperti ini, hal terbaiknya adalah menyendiri sejenak. Aku paham benar karena aku merasakannya sendiri. Kesendirian memang hal yang paling dibutuhkan seseorang di momen tertentu.

Aku sungguh tidak mengusiknya, tetapi esok, aku bisa mencari cara lain untuk membuat pendekatan pada Khulasoh sebagai wujud empati: bahwa dia tidak berjuang sendiri, setidaknya ada aku--sosok sahabat yang berkenan mendengar keluh kesahnya dan bekenan membantunya sebisaku.

Aku melepas hijabku. Membawa tubuhku ke keranjang tidur, menemukan Zalfaa sudah tidur nyenyak dengan masih mengenakan hijab--sepertinya dia tadi kembali ke kamar dalam keadaan mengantuk berat hingga tidak punya waktu melepas hijab hijaunya.

Aku menghela napasku. Tidak lupa berdoa sebelum tidur untuk kemudian memejamkan mata.

Dan sebelum terlelap, aku menyempatkan berterima kasih pada-Nya karena malam ini, satu pemahaman baik datang padaku. Pemahaman baik bukan tentang bertemunya aku dengan Mbak Haura yang bisa jadi sungguhan jodoh Gus Fikri, sebuah pertemuan agar aku sadar diri dan tidak boleh berharap lebih dari menjadi sosok penggemar. Bukan itu. Melainkan tentang pemahaman baik lewat Khulasoh tadi; bahwa di dunia ini bukan aku saja yang mempunyai beban kehidupan, setiap orang mempunyai bebannya sendiri, entah itu ringan atau berat, entah itu dipendam atau memilih dipertontonkan.

Malam yang kian matang, aku berterima kasih pada-Nya karena telah membawaku kembali untuk bersyukur atas hidupku, intropeksi diri lebih dalam lagi, dan kembali mengingat bahwa ... aku bukanlah hamba satu-satunya yang sedang memendam dan mendapat penderitaan di dunia.

***

Setelah setoran juz amma ba'da subuh, aku dan Khulasoh berada hanya berdua di kamar, sahabatku satu ini justru meminta maaf padaku perihal tadi malam.

"Maaf, tadi malem aku buat kamu kaget, Jim. Soal tadi malem itu ... nggak usah diinget, ya? Aku hanya terlalu baper aja tadi malam. Sebenernya aku baik-baik aja kok," katanya itu setelah menaruh al-Quran ke rak gantung, menghampiriku yang sedang menjadwal buku-buku pelajaran sekolah pagi.

Gerakan tanganku yang sedang mencari buku bahasa Inggris di rak gantungpun terhenti, menengok ke arah Khulasoh, menimpali, "Iya, nggak apa-apa kok. Tapi jika suatu saat kamu butuh temen keluh kesah, aku siap buat itu, Soh. Aku bakalan jadi pendengar yang baik buat kamu." Aku menepuk sebelah bahunya.

Seutas senyum singgah di bibir Khulasoh. "Makasih, Jim."

Aku mengangguk.

"Soh, buruan ke KM, Nareswari bentar lagi selesai mandinya katanya, kamu antri mandinya abis dia 'kan?" seru Sofiya yang baru saja masuk kamar. Dia sehabis selesai mandi. Handuknya terlampir di sebelah bahu.

Khulasoh menoleh ke arah Sofiya yang sedang berjalan ini, menjawab singkat, "Okee. Otw nih."

Setelah itu Khulasoh beringsut mengambil baju dan handuk, bergegas ke KM atau kamar mandi. Sedangkan Sofiya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk di depan cermin yang terpasang di dinding kamar sembari bersenandung lagu India.

Aku melanjutkan proses menjadwalku.

Beberapa jam terlewati dengan terasa cepat.

Sial sekali, pagi ini aku telat karena barusan disuruh piket ulang; yaitu mengepel aula pondok karena kotor lagi oleh ulah kucing hitam dan oren yang berkelahi, Si Hitam terluka dan berdarah, darahnya tercecer mengotori lantai aula dari ujung hingga ujung.

Kali ini telatnya bukan dengan Khulasoh, melainkan dengan Zalfaa.

Tidak banyak protes dengan Pak Satpam sekolah, kami berdua lari memutari lapangan sesuai peraturan telat. Disusul Gus Fawaz yang memang hampir setiap hari telat dan selalu dihukum seperti ini. Kata Gus Fawaz di suatu waktu, nggak apa-apa dihukum buat lari pagi-pagi, toh itu buat gue yang mageran jadi olah raga juga. Kali aja bisa buat gue nggali passion, jadi atlet lari mungkin setelah gatot jadi artis. Hahaha. Ya beginilah kelakuan Si Gus Tengil, sudah tidak heran.

Setelah kelelahan berlari, pelajaran pertama diisi dengan ulangan bahasa Inggris; narrative text.

Bu Mirna keluar dari kelas setelah membagikan soal. Sebagian dari teman-teman langsung blingsatan mencari contekan, sebagian menggarapnya khidmat, beberapa malah tidur masa bodoh dengan ulangan.

Dan golongan masa bodoh dengan ulangan ini adalah Gus Fawaz, dia tidur dengan anteng di pojokan, sebelah tangannya dijadikan bantal. Kalau teman sebangkunya, Juki sedang fokus menggarap soal.

"Jim, liat deh Si Gus, tidur aja ganteng," celetuk Sofiya yang menegok ke bangkuku sembari edaran matanya menunjuk Gus Fawaz yang berposisi tidur di atas meja, kepala menyamping menghadap ke arah kami.

Aku mengamat Gus Fawaz sejenak, dia memang ganteng di kala tidur, muka songongnya juga cukup adem dipandang.

"Kedip, Cop," ledek Zalfaa.

"Kedip woy kedip." Kali ini Khulasoh yang duduk sebangku dengan Sofiya, dia menoel-noeli punggung Sofiya.

Sofiya hanya tersenyum. Malas menanggapi itu.

"Bangun ngapa Gus, kerjain ulangannya, sulit tahu nih pelajaran," omong Sofiya, masih cuem Gus Fawaz dari bangkunya.

"Bagi dia mah bahasa Inggris nggak sulit, Cop. Kan dia sebelumnya dah mondok di pesantren modern, bahasa Inggris udah buat jambalan dia sehari-hari, udah jadi bahasa keseharian dia di sana sama bahasa Arab," jawab Khulasoh.

"Iya, dia mah dah nggak mikir kalo pelajaran bahasa Inggris. Kayak biasa, dia bakalan bangun di penghujung mapel, lalu ngerjain nggak sampai 5 detik selesai dan nilainya dijamain bakalan shahih." Aku ikut menimpali.

Khulasoh dan Zalfaa terkikik. Sofiya menghempaskan napasnya.

"Terserah kamu aja lah, Gus, yang penting tetep ganteng," timpal Sofiya.

Kami bertiga langsung terbatuk-batuk.

Bu Mirna kembali. Kami semua mendadak tenang.

Waktu terus berjalan. Bel istirahat pertama berbunyi.

"Jim. Jima!"

Gus Fawaz sudah berseru saat aku memasukkan buku ke tas. Aku menoleh dengan malas. Malah kudapati muka Juki.

"Beliin gue batagor sama sebotol teh dingin, Jim," perintahnya yang beranjak mendekat ke bangkuku.

Aku mengangguk. Sofiya yang masih duduk di bangkunya menguping percakapkan kami.

"Bayarnya pake duit lo dulu. Soalnya gue lupa nggak minta uang jajan sama Ummi."

Aku mengangguk lagi. Segera mengangkat pantat dan beranjak pergi ke kantin bersama Sofiya.

"Eh, tunggu dulu, bentar," serunya saat aku beberapa langkah melangkah. Aku dan Sofiya menoleh bersamaan.

"Sini, Jim." Gus Fawaz melambaikan tangannya.

Aku malas ke sana, memilih menjawab, "Ada apa, Gus? Bilang aja kekurangannya. Mau tambah somay, pempek, atau apa?"

"Nggak. Bukan begituan. Makanya sini, gue mau tunjukin sesuatu ke elo," ujar Gus Fawaz, kedua matanya sibuk melihat ponsel di tangan, sepertinya hendak menyuruhku membeli sesuatu yang ada di layar ponselnya.

Aku bersitatap dengan Sofiya sejenak. Sofiya menyuruhku untuk mendekat saja.

Dengan malas, kubawa kaki ke sana.

"Bade nopo malih, Gus?"

(Mau apa lagi, Gus?)

Gus Fawaz tetap diam. Sibuk mengotak-atik ponselnya. Aku hanya bisa menunggu.

"Nih, liat. Lo pasti tahu ini siapa," kata Gus Fawas, akhirnya bicara juga sembari memamerkan ponsel iPhone miliknya ke arahku.

Aku menatap layar ponsel itu. Mengamatinya dari arah sejengkal tangan. Dan sesaat kamudian, kedua mataku membulat melihat ada apa di layar ponsel Gus Fawaz.

"Lo pasti kenal dia, 'kan?"

Aku masih bergeming. Pikiranku dihujani banyak pertanyaan, salah satunya; Gimana Gus fawaz bisa dapet foto modelku saat kecil itu? Duh Gusti!

______________




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro