15. Omong-omong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih terdiam. Pikiranku belum bisa mencerna dengan baik perkara kenapa Gus Fawaz bisa mendapatkan foto bergayaku dengan setelan baju muslim merah maroon dengan model cukup jadul.

Padahal foto itu diunggah sekitaran 4 tahun lalu dengan merek baju yang bekerja sama denganku, jadi kesimpulannya dia dapat dari mana? Mungkinkah di laman pencarian internet, aku itu ada? Atau dia stalking Instagram produk baju ini sampai sejauh itu untuk mencari aku? Ah, rasanya itu mustahil. Lalu di mana? Dan foto ini juga terlihat bukan jenis screenshot. Atau mungkin screenshot, tapi sudah dipotong rapi. Atau apa?

Aku tidak bisa berpikir lebih. Aku masih terdiam mencari dari mana dia mendapatkannya. Jika dari media sosialku tidaklah mungkin karena sudah kuhapus. Bukan kuhapus foto model itu saja, melainkan kuhapus akun Instagram-ku dari dunia maya setelah kenyataan perkara Papa, juga kuhapus akun Facebook dan YouTube. Sekarang aku hanya memiliki satu akun medsos;  yaitu akun Instagram dengan 59 followers ber-username @jabrikunyu. Lebih tepatnya Instagram kucingku karena di sana hanya berisi postingan kucing hitamku, alias Jabrik.

"Malah bengong," cicit Gus Fawaz sembari menarik ponsel ke saku seragam, sepertinya sebelah tangannya sudah pegal.

"Udah sana cepetan ke kantin. Percuma gue nunjukin ini kalo lo malah begong," imbuhnya dengan sebal.

Aku tetap terdiam. Menatap Gus Fawaz sejenak dan rasanya ingin sekali bertanya, dapet fotoku dari mana? Tapi aku urungkan, memilih berbalik dan beringsut pergi bersama Sofiya.

Dalam perjalanan ke kantin, Sofiya mendesakku untuk memberi tahu tentang barusan aku ditunjukan foto siapa? Terpaksa aku berbohong karena aku malas membawa topik masa lalu sekalipun hanya sekedar foto, aku jawab saja seperti ini, Kayaknya foto Ning Hulya pas kecil, nggak tahu juga sih, aku pangling banget, jadi diemin aja. Dan Sofiya mengangguk percaya.

Hari terus berlalu. Menyebalkan sekali, aku menerima surat lagi dari Juki, entah surat ke berapa, aku tidak pernah menghitungnya. Aku menemukan suratnya di kolong mejaku di sekolah pagi. Dan malam ini sedang dibaca oleh ketiga sahabatku yang kepo.

Mereka bertiga membacanya di kamar mandi pondok yang sedang sepi, sambil berdiri melingkar, secarik surat dibentangkan oleh Sofiya dan membacanya dengan nada lirih--takut ketahuan santriwati lain di luar sana, apalagi keamanan pondok.

"Tolong balas satu kali saja surat-suratku agar aku tahu bagaimana perasaanmu terhadapku, Azhima," baca Sofiya di penghujung surat. Langsung disambut kikikan mereka bertiga.

Aku yang tidak ikut nimbrung dalam lingkaran, memilih berdiri malas di belakang Zalfaa, cemberut, enek sekali mendengar isi surat itu dari tadi.

"Jim, bales dong, kasian Si Juki nggak dapet kepastian mulu," ledek Khulasoh, menoel-noeliku.

"Iya, bales aja satu kali. Kalo nggak suka langsung skakmat aja, Jim. Bales nih surat; Maaf, aku nggak suka sama kamu, Juk, jadi jangan ganggu aku lagi." Sofiya memberi saran. Menepuk bahuku.

Saran itu tetap saja menyebalkan untuk dilakukan. Intinya aku tidak mau satu kalipun membalas suratnya, sekalipun berisi penolakan. Harusnya Juki juga yang peka karena sudah beberapa kali memberiku surat tidak pernah dapat balasan, harusnya peka jika kehadiran perasaannya tidak diterima olehku, berhenti memberiku surat.

"Nih, Jim, percaya sama aku deh, kasih dia balesan satu kali aja buat nolak dia. Percaya sama aku, setelah itu dia nggak bakalan berani usik hidup kamu lagi," imbuh Sofiya.

Aku menghela napas berat.

"Abis itu tinggal ngejer-ngejer Copi, Jim," celutuk Khulasoh. Langsung mendapat pelototan Sofiya.

Aku dan Zalfaa terkikik.

"Bolehlah. Mungkin aku kasih sobekan kertas aja kali ya, taruh di kolong mejanya, isinya gini; Gue nggak suka sama ama lo, jangan ganggu gue lagi, Juk. Gue udah suka sama laki lain."

"Ishh, gila! Bahasanya ikut-ikutan Si Gus," komentar Sofiya sembari menutup mulutnya.

Aku tertawa ringan.

"Biar kena mental dia," jawabku asal.

"Sadis juga kamu, Jim," timpal Zalfaa.

Aku tertawa ringan lagi. "Bercanda kali."

"Nggak papa, lanjotkan!" Khulasoh malah menyemangatiku, sebelah tangannya meninju udara.

Sesaat ke depan, dua santriwati masuk ke kamar mandi, lolos membuat kami bungkam dengan gojlogan barusan.

Kami berempat memutuskan untuk segera ke aula karena di kamar mandi sudah tidak lagi aman untuk bercerita berbau rahasia. Aku menyempatkan merobek surat Juki dan memasukkannya ke tong sampah. Sedikit berlari untuk menyusul ketinggalan ketiga sahabatku yang beranjak ke aula untuk mengikuti acara khitobah.

***

Waktu terasa berjalan cepat. Tidak terasa aku memasuki musim tahun ke 2 di pesantren. Dan aku sangat menikmati kehidupanku di pesantren ini.

Pesantren itu ... tidaklah semenakutkan yang kubayangkan di awal. Pesantren itu juga tak semembosankan yang aku atensikan di dulu yang kupikir penjara suci hanya berisi aktivitas ngaji, ngaji, dan ngaji, bisa membuat bunek pikiran.

Nyatanya di pesantren amat menyenangkan. Serius. Aku berani bertaruh dengan satu cubitan jika aku salah.

Memang, di sini aktivitasnya padat, waktu untuk istirahat cukup sempit, makan seadanya, apa-apa serba harus mandiri, berteman dengan sesuatu yang apa-apa juga antre, serta harus terbiasa disiplin.

Awal kehidupanku di sini juga semuanya terasa begitu berat, apalagi masuk ke pesantren bukan keinginan sendiri. Awal mondok pernah terbesit untuk kabur seperti beberapa kasus santri baru yang putus asa. Tapi sosok Mama selalu berhasil membuatku untuk bertahan, tak peduli seberat apa pun, aku tidak mau membuat beliau kecewa dan sedih.

Pada akhirnya aku memilih bertahan, lagi dan lagi, hingga sampailah aku sungguh menikmati perjalananku di pesantren.

Sungguh, aku menyukai perjalananku di sini; perjalanan menuntut ilmu dengan guru-guru teladan yang tidak usah dipertanyakan lagi sanad keilmuannya, mencontoh akhlak terpuji beliau, menemukan sahabat terbaik, dan beragam pemahaman baik lainnya.

Tapi apakah penyembuh itu sudah kudapatkan sempurna?

Jawabannya masih belum. Kadang aku masih suka iri dengan kehidupan orang lain, menganggap mereka lebih beruntung daripadaku. Entahlah, kenapa aku bisa sebegini bebal, mungkin karena hatiku terlalu kotor sehingga untuk membersihkannya butuh proses yang lama.

Tapi jujur teramat dalam, aku ingin sembuh dari sifatku yang seperti ini, tak peduli seberapa lama proses yang harus kutanggung.

Kadang aku berpikir, kenapa hidup ini bisa begitu kejam? Apakah hidup ini benar-benar adil bagi setiap perorangan? Jika iya, kenapa ada beberapa orang di dunia ini yang penderitaannya seperti tak pernah berujung, justru semakin berat, berat, dan berat? Kenapa menjadi manusia bisa menjadi sesulit ini untuk hidup dengan tentram? Dan hal yang paling kurang ajar yang pernah kuadukan pada-Nya adalah; Kenapa aku harus ada di dunia ini? Aku menyesal telah dilahirkan. Dunia ini memuakkan.

Sebegini kurang ajarnya aku. Aku memang manusia bebal yang selalu menyalahkan takdir. Aku terus saja membenci diriku ini.

Omong-omong, kemarin baru separuhnya aku menceritakan tentang masa lalu. Baiklah, sekarang akan kuceritakan sisanya. Beralih ke sebuah kisah tentang aku di bagian kedua; kisah di mana aku berada di titik terendah kehidupan.

_____________________


Ning: sebutan bagi anak perempuan keturunan kiyai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro