19. Inisial F & Akhiran Z

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang akan mengingat kita setelah mati? Mengingat kebaikannya, bukan keburukannya? Siapakah juga yang akan berbaik hati mendoakan kita? Apakah ada seseorang yang akan menangisi kita kelak ketika mati dengan tangisan kesedihan, bukan malah tangisan palsu karena kegirangan? Sederhananya hal beginian yang meresahkan Mbah Leha yang sebatang kara.

Kata Zalfaa, dulu alasan kenapa Mbah Leha dan suaminya mengangkat anak bukanlah semata-semata agar keluarga kecilnya menjadi lengkap; ada suami-istri, lalu anak. Melainkan ada hal lain yang juga sangat diharapkan pasangan ini yaitu sebuah bakti sosok anak; anak yang mau merawatnya saat sakit, merawatnya saat tua nanti, anak yang rajin mendoakan saat beliau hidup dan terus mengalir di saat mereka sudah meninggal.

Namun, harapan itu hanya sekedar harapan mendapati hal tak senonoh yang dilakukan anak angkatnya pada beliau. Menyisakan kekecewaan yang begitu dalam.

Kecewa bukan sekadar kecewa atas laku anak angkatnya, melainkan Mbah Leha juga kecewa pada diri sendiri karena dulu beliau dan suaminya tidaklah mendidik anak angkatnya dengan benar. Dan penyesalan di akhir inilah ganjarannya. Andai bisa mengulang waktu, Mbah Leha ingin mendidik anak angkatnya dengan baik dan juga mengubah tabiat buruknya di masa lalu.

"Memang Mbah Leha ndidik anak angkatnya itu gimana, Faa?" tanyaku untuk memastikan sekalipun dalam pikiran, aku mempunyai tebakan cara didik seperti apa.

Di langit Kebumen, senja semakin matang. Angin berhembus pelan ke arah kami.

Zalfaa melirik ke arahku sejenak, lalu kedua kelereng matanya menatap kolam ikan koi.

"Terlalu manjain anak itu dan nggak pernah ngajarin tentang gimana pentingnya belajar agama. Selama hidup, beliau manjain anak itu sama gelimang harta. Dan beliau juga islamnya cuman islam KTP. Selain jadi juragan beras, beliau juga seorang rentenir, nyaris di kampungnya dulu itu, semua warganya membencinya. Kata Mbah Leha, beliau sadar jika digelandangkan adalah salah satu buah dari perbuatan tak baiknya di masa lalu. Tapi beliau bersyukur dengan takdir ini karena jadi sebab buat beliau sadar, tobat, lalu usaha jadi pribadi yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Beliau belajar jadi orang yang bisa disenangin orang lain lewat perbaikan akhlaknya, berharap ... besok setelah beliau meninggal nanti, dari mereka bakalan ada yang mau berbaik hati ndoain beliau," jelas Zalfaa, panjang lebar.

Aku mengangguk paham.

Setelahnya, kami berdua tercenung sembari menatap kolam ikan koi. Suara deresan al-Quran kakang pondok putra untuk menunggu waktu maghrib dari masjid yang berada di kawasan pondok putra sayup-sayup terdengar. Suara deresan al-Quran itu sangat merdu dengan bacaan fasih dan tartil, membuat tenang.

Aku jadi terpikir tentang dulu sebelum mondok. Tepatnya saat Mama merayuku untuk mau mondok. Nasihat Mama yang membuatku terenyuh. Tentang mondok agar aku belajar agama untuk kebutuhan hidupku, yang mana agama itu ibarat rambu-rambu lalu lintas agar kehidupan kita memiliki keseimbangan, terutama antara dunia-akhirat dan haq-bathil. Juga tentang Mama yang ingin memiliki seorang anak yang mempunyai kesadaran untuk setiap saat mendoakan beliau hingga saat beliau meninggal nanti.

Aku sungguh paham sekarang maksud Mama. Aku merasa sangat bangga memiliki sosok Mama Ningsih.

Melalui cerita Zalfaa, melalui kisah Mbah Leha, aku menjadi tambah merasa beruntung kenapa Mama memasukkanku ke penjara suci. Aku merasa beruntung karena bisa belajar agama dari guru-guru terbaik di pesantren yang kualitas keilmuannya bagus dan nasab keilmuannya juga jelas. Aku merasa beruntung karena selain belajar agama, di pesantren juga mengajarkan kita hidup mandiri dan bersosialisasi dengan akhlak yang sesuai. Aku sangat merasa beruntung karena di pesantren menjadi lebih paham bahwa dalam hidup ini, kita sangat membutuhkan sebuah doa; yang bukan hanya diuntukkan saat kita masih hidup, tetapi juga di saat kita telah mati nanti.

"Hei! Ngapain pada ngelamun lo berdua. Sandekala. Masuk ke ndalem gih!" seru seseorang bersuara bariton, membuyarkan pikiranku dan Zalfaa.

Kami berdua berjamaah menoleh ke muara suara. Langsung mendapati Gus Fawaz di ambang pintu belakang rumah sembari berkacak pinggang.

Aduh, Gus satu itu selalu saja membuat rusuh. Aku dan Zalfaa memilih tidak menanggapi.

Sekitar seperempat jam kemudian, mentari sempurna tenggelam di ufuk barat. Kumandang adzan terdengar gagah.

***

Sehabis Isha, di kamar Zalfaa, aku menyimak Zalfaa muroja'ah hafalan Qur'annya, juz 16.

Zalfaa muroja'ah dengan lancar juz 16 ini, salahnya dalam satu juz palingan hanya 4-5, dan parahnya, membuatku mengantuk.

Memakan waktu sekitaran setengah jam untuk satu juz, selesai sudah menyimak hafalan Zalfaa.

Setelah shadaqallaahul-'adziim, aku menutup al-Quran, menciumnya lembut, lalu menyimpannya di rak gantung yang ada di kamar Zalfaa.

Aduh, mataku sudah 5 watt, aku mau langsung bobo syantik. Menyambar bantal, tiduran asal di kasur.

Sedangkan Zalfaa, entahlah, sahabatku satu itu melakukan kegiatan apa setelah muroja'ah, aku sudah tidak tahu gerak-geriknya, aku terlelap. Tapi barusan sempat mendengar tawa renyah Zalfaa atas kekantukanku, berdecak, "Dah lengket banget matanya ya, Azhima? Ya udah bener gitu, bobo syantik, nanti aku nyusul."

Enak banget tidurku, nyenyak, sampai lupa kalau sedang berada di rumah orang.

Aku bermimpi Mama, beliau menjengukku di pesantren, lalu membawaku membeli roti sobek di toko roti Numani miliknya Mbak Haura. Aku membeli roti sobek yang brownies, memakannya lahap dan rasa cokelatnya guri-guri nyoy. Setelahnya, Mama mengajakku ke toserba untuk membeli kebutuhan mandiku seperti sabun yang hampir habis di pondok.

Aku di sana menemukan nori, kuambil satu bungkus, memasukkannya ke keranjang belanjaan dan--

"Azhima ...."

Terdengar suara Zalfaa memanggilku sembari menoel-noel pipiku.

Mimpi indahku buyar sudah. Membuka mata.

"Ini, Gus Fawaz katanya mau ngomong sama kamu," omong Zalfaa yang berbaring tengkurap di sebelahku.

Aku seperti orang lingung, diam saja, mengucek mata.

"Di WA," jelas Zalfaa sembari meletakkan ponselnya di depan wajahku yang bersandar miring di bantal.

"Mau ngomong apa sih, Faa? Ah, males," sahutku. Dijawab Zalfaa dengan mengidikkan bahu.

Mau tak mau, dengan malas aku meraih ponsel Zalfaa, menilik pesan WA dari Gus Fawaz yang katanya ingin berbicara padaku, entah untuk apa.

Aku menyempatkan beringsut untuk mencuci muka, lalu baru membuat pesan untuk Gus Fawaz sembari rebahan di kasur, di samping Zalfaa yang kini menonton film Merindu Cahaya de Amstel di tablet.

Ini aku; Azhima.

Ada apa, Gus?

Aku mengirim pesannya seperti itu. Dan di detik kemudian, sudah centeng 2 biru saja.

Tampak Gus Fawaz sedang mengetik. Dia mengirim sebuah pesan, tapi dengan cepat dihapusnya, kirim lagi dan segera dihapusnya lagi. Membuat kesal saja. Mana aku belum sempat membacanya.

Namun aku tetap menunggu dengan sabar.

Nun sukun ketemu ba kan iqlab.
Yak masa lo ketemu gue nggak ijab.

Kedua mataku melotot setelah membaca pesan masuk dari Gus Fawaz. Masih bingung dengan pesan gombal yang datang.

Tunggu dulu, aku tidak langsung membalas, aku berfirasat dia sedang mengerjaiku.

Huruf illat kue ana telu; alif, ya, karo wawu.

Setelah lulus nanti lo gue bawa ke KUA, mau?

Eh? Gombalan macam apa barusan itu? Aduh, tidak salah lagi, pasti dia sedang mengerjaiku. Apa maksudnya juga dibawa ke KUA? Mau jadikan aku tukang sapu-sapu di sana?

Aku memilih mendiamkannya. Menunggu pesan masuk lain. Gombalan macam apa lagi yang akan dia berikan. Setelah puas, barulah aku akan mengetik bahwa aku tidak percaya dengan sandiwaranya.

Itu bukan dari gue.

Salam tuh dari Juki.

Yakali masa gue ke elo. Nggak keren banget.

Benar firasatku. Dia mengerjaiku, membawa-bawa Juki.

Aku cemberut sebal. Apalagi di letak kalimat "Yakali masa gue ke elo. Nggak keren banget" yang diakhiri dengan emoji muntah, itu menyebalkan, terlihat merendahkanku sekali.

Siapa juga yang percaya, Gus.

Gombalan mah nggak mempan buat aku.

Balasku begitu.

Tapi lo pertama baca pasti ambyar.

Ge-er banget pasti.

Aku memberengut membaca itu.

Boro-boro.

Aku nggak suka digombal begitu.

Setelah membalasnya dan terlihat Gus Fawaz sedang mengetik, aku memberikan ponsel ke Zalfaa, sudah malas melayani candaan tidak berfaedah Gus tengil satu ini. Mendingan ikut menonton film.

Aku pun memutuskan menonton film. Zalfaa malah sibuk membaca chat-an kami. Dia tampak tersenyum geli.

Abai. Aku fokus menyimak film yang dimainkan Amanda Rawles yang menjadi tokoh Khadijah, sosok mualaf asal Belanda.

"Azhima ..," panggil Zalfaa.

Aku menoleh ke sahabatku itu.

"Mau aku bocorin sebuah rahasia?" Zalfaa tiba-tiba membuatku penasaran saja.

"Rahasia? Apa emang?" Aku bertanya sembari mengerutkan dahi.

Tidak langsung membocorkan apa itu, Zalfaa malah tersenyum meledek, membuatku curiga.

"Sini aku bisikin." Zalfaa melambaikan tangannya.

Aku pun menurut saja. Mendekat ke arah Zalfaa dan dia segera memberi tahuku sesuatu.

"Kadang nih ya? Ada tipe cowok yang kalo naksir, pdkt-nya malah ngenekin. Contohnya sih kayak ngeledekin cewek sama cowok yang nggak disukai cewek itu. Biar apa? Ya biar ceweknya ngambek, biar cewek itu nggak kepikiran kalo sebenarnya dia tuh suka, padahal aslinya ... dia sendiri yang lagi caper tuh, kayak ...."

Sengaja sekali, Zalfaa mengambangkan kalimatnya, membuatku harus berpikir keras sekalipun aku sudah mempunyai atensi siapa di balik "kayak" itu yang dimaksud Zalfaa.

"Kayak inisial F, akhiran Z ..." Zalfaa mengakhirinya dengan tersenyum meledek dan menoeli bahuku.

Sedangkan usai tahu siapa cowok yang dimaksud ini, aku melotot, lantas terbatuk-batuk.

Zalfaa tertawa ringan.

Inisial F, akhiran Z, alias Fawaz. Ah, bisa-bisanya Zalfaa berpikiran sejauh demikian.

________________







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro