20. Dolly & Nona Joy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Usai Zalfaa reda meledekiku perkara inisial F dan akhiran Z, kami berdua lanjut menonton film Merindu Cahaya de Amstel.

Terdengar ketukan pintu di sela menonton film. Zalfaa beringsut membukakan pintu dan ternyata adalah Ummi Istiqomah.

"Bang Al beli kwetiau kesukaan kamu. Makan dulu yuk selagi masih anget kwetiaunya. Jangan lupa Mbak Azhima diajak," kata Ummi Istiqomah pada Zalfaa di ambang pintu.

"Nggih, Um," sahut Zalfaa dengan intonasi suara bungah.

"Mbak Azhima, makan kwetiau dulu yuk," ajak Ummi Istiqomah padaku setelahnya, masih berdiri di ambang pintu.

"Nggih, Um," jawabku yang duduk di pinggiran kasur, mengangguk takdzim.

Ummi Istiqomah mengulum senyum.

Zalfaa mengajakku keluar untuk memakan kwetiau dahulu.

Kami berdua memakan kwetiaunya di ruang keluarga sembari meneruskan menonton film, soalnya,  film yang ada lagi seru dengan adegan cinta segitiga bertabur kesalahpahaman.

"Azhima, apa alasan kamu milih masuk pesantren?" tanya Zalfaa di sela memakan kwetiau dan menonton film.

Aku yang sedang mengunyah kwetiau goreng menyempatkan menelannya perlahan. 

"Oh, itu. Paksaan Mama sih, Faa."

"Serius?"

"Iya, serius. Emang dulu aku keliatan kayak santri baru yang mondoknya dari dalem hati, ya?" Aku menyambar segelas air putih di meja.

Zalfaa yang mulutnya penuh oleh kwetiau mengangguk. Lantas menanggapi, "Iya. Kamu keliat biasa aja gitu. Keliatan menikmati setiap momen di pondok, jarang ngeluh ini-itu, ngajinya juga rajin, dan ya ... nggak pernah nyoba kabur."

"Sebenarnya aku banyak ngeluh di awal. Tapi ngeluhnya dalem hati. Dan tiap kali aku ngeluh, tiap kali aku ngerasa males, aku selalu inget Mama, lalu jadi semangat lagi," jelasku setelah menenggak air putih, "Nggak sampe kepikiran ke situ sih buat nyoba kabur. Soalnya kalo kabur dan lolos sampe rumah, nanti Mama pasti kecewa. Dan kalo kabur nggak lolos sampe rumah, malah ketangkep keamanan pondok, ih itu malu-maluin, itu kan tandanya kaburnya nggak profesional." Aku terkikik.

"Bener! Bener! Itu tandanya nggak profesional kalo ketangkep keamanan pondok, ya?" Zalfaa ikut terkikik.

"Kayak Mia, santri baru angkatan tahun ini yang dari Majenang itu, nyoba kabur lewat gerbang samping dan mau nelusup lewat pekarangan, eh tahunya malah ketahuan Abah Dullah, ya udah deh akhirnya balek lagi ke pondok."

"Ya Allah, itu mah malunya dah berlipat-lipat ganda," jawabku. Kami berdua terkikik lagi.

"Ciee, macem lambe turah aja," cemooh seseorang dari belakang, mengalihkan atensi kami berdua. Sudah bisa ditebak siapa yang ada di belakang sana, Gus Fawas.

Aku dan Zalfaa saling lirik. Malas menanggapi.

Setelahnya, Gus Fawaz santai berjalan melewati kami berdua di ruang keluarga seraya sebelah tangannya memegang piring berisi kwetiau. Dia memakai sarung polos hitam dengan atasan hoodie putih, telinganya tersumpal earphone portable.

Zalfaa mulai jail, dia menoel-noeli sebelah lenganku sembari melirik ke Gus Fawaz yang sudah bodoh amat dengan percakapan kami yang terhenti gara-gara dia. Zalfaa tersenyum jail padaku, senyum meledeki perkara inisial F dan akhiran Z.

Aku mendengkus, mengomel lirih, "Apaan sih, Faa? Gaje!"

Zalfaa malah terkikik menyebalkan.

Aku pun melanjutkan memakan kwetiauku yang tinggal separuh.

Zalfaa menyambar gelas air putihnya di meja sembari masih senyum-senyum tidak jelas.

Diam-diam, aku memerhatikan Gus Fawaz yang malah berhenti dan berbalik arah menuju sebuah lemari kayu besar di samping sana.

Gus Fawaz tampak membuka lemari besar itu. Melihat buku-buku di dalamnya dengan mulut komat-kamit yang sepertinya ikut menyayi lagu atau sholawatan yang sedang terputar.

"Dan bila semua tercipta. Tanpa harus kumerasakan cinta yang tersisa ...."

Akhirnya mulai kedengaran bahwa Gus Fawaz menyanyi lagunya NOAH yang Bintang di Surga. Lumayan lirih, tapi bisa ditangkap oleh pendengaranku.

Dan sepertinya Zalfaa juga bisa mendengarnya. Dia terlihat mengunyah kwetiau sembari tersenyum geli. Senyuman geli entah karena apa; entah perkara masih meledekiku atau soal suara Gus Fawaz yang fals.

"Bagai bintang di surga dan seluruh warn--" Gus Fawas terbatuk-batuk.

Aduh-aduh, itu kenapa pula tiba-tiba nyanyinya ngerok, malah jadi batuk-batuk, keselek air ludah kah?

Sumpah, aku ingin tertawa mendengarnya karena sudah suaranya fals, tiba-tiba ngerok, malah batuk-batuk, gagal keren. Tapi jelaslah aku tahan ketawanya. Aku memilih melirik ke arah Zalfaa, dia mengunyah kwetiau sambil menahan ketawa, sepertinya Zalfaa juga terhibur dengan polah Si Gus Tengil.

Di sana, Gus Fawaz masih terbatuk-batuk, sebelah tangannya juga masih memegang piring kwetiau, buru-buru ke belakang entah buat apa; mungkin mau meminum air putih segalon.

"Ciee, yang lagi dicaperin," goda Zalfaa padaku, akhirnya tawanya meledak.

Aku tersedak kwetiau. Melototi Zalfaa. Heh! Nggak ada dalilnya barusan itu dibilang lagi caper!

***

Aduh, Zalfaa menyebalkan sekali. Bisa-bisanya sekarang malah aku yang digojlogi dengan Gus Tengil itu. Hanya gara-gara asumsi dia soal tipe cowok caper dengan meledeki cewek yang disukainya dengan cowok lain yang tidak disukai? Hm, bukankah asumsi Zalfaa terlalu dangkal?

Aku yakin Gus Tengil itu tidaklah diam-diam menyukaiku. Titik! Tidak ada koma!

Namun, Zalfaa tetap saja menyanggahnya, mengamankan posisi asumsinya saja. Aku tidak peduli.

"Alasan kamu mondok, pasti dari diri sendiri 'kan?" Akhirnya aku membelokkan topik perkara Gus Fawaz setelah kami berdua rampung memakan kwetiau dan menonton film, kembali ke kamar.

Wajah Zalfaa terlihat lebih segar setelah mencuci muka. Dia kini memakai baju tidur potongan dengan gambar beruang imut. Duduk di depan meja rias. Menyisir rambut panjangnya.

Zalfaa melirik ke arahku yang sudah tiduran di kasur lewat pantulan cermin besar di meja rias.

"Iya, Azhima. Tapi ada dorongan juga dari Ummi dan Abah. Juga Mama ...." Zalfaa mengulum senyum. Meneruskan menyisir rambut yang sempat tertahan.

Aku bisa memprediksi jawaban Zalfaa bahwa pastilah selain niat diri sendiri, itu juga karena dorongan orangtua. Apalagi Zalfaa dibesarkan di lingkungan pesantren, jadi keinganan mondok pastilah tumbuh secara alami tanpa paksaan sepertiku, sekalipun hal demikian tidaklah menjamin sempurna layaknya Gus Tengil. Iya, Gus Tengil alias Gus Fawaz yang juga dibesarkan di lingkungan pesantren, tapi malas dimasukkan pesantren hingga kabur berkali-kali, sampai pindah pondok beberapa kali, berakhir mondok di pesantren orangtunya sendiri.

Aku menghempaskan napas. Menatap langit-langit kamar.

Omong-omong, mendengar barusan Zalfaa menyebut Mama yang menandakan maksud ibu kandungnya Zalfaa, aku menjadi penasaran tentang mamanya Zalfaa, seperti apakah beliau itu, berasal dari keluarga mana, aku kepo.

Kuprediksi orangtua kandung Zalfaa pastilah keluarga besar pesantren ini. Berasal dari keluarga baik-baik hingga mempunyai anak sebaik Zalfaa. Tidak sepertiku yang--

Aku beristighfar dalam benak sembari memejamkan mata. Mamaku juga orang baik! kata hatiku untuk membuang pikiran-pikiran aneh yang mendadak hadir.

"Azhima, kamu mau tahu Mamaku?"

Wow! Aku langsung membuka mata mendengar itu. Terkagum dengan Zalfaa yang sudah seperti cenayang saja.

Aku memiringkan tubuh ke arah Zalfaa yang betah duduk di kursi riasnya. Mengangguk semangat.

"Baiklah. Aku mau nunjukin Mamaku ke kamu," sahutnya, lalu beringsut mengambil dompet di nakas. Membuka dompetnya di sampingku.

Kami berdua duduk di atas kasur. Zalfaa memberikanku sebuah foto ukuran dompet.

Foto itu sudah usang. Warna di pinggiran foto sudah luntur walau dilaminating.

Aku menemukan sosok wanita dalam foto ini. Wanita kisaran umur 24-27--sepertinya. Rambutnya hitam panjang bergelombang. Mempunyai senyum yang menawan dengan gigi kelinci yang dipamerkan. Kulitnya cerah. Hidungnya kecil jenjang.  Mengenakan baju atasan merah model dada terbuka. Dandanannya cukup mencolok di bagian bibir yang merah merona.

Kesan pertama melihat foto lama tersebut; wanita itu mirip Zalfaa, apalagi di bagian gigi kelinci dengan senyumannya, wajahnya juga cukup mirip walau warna kulit mereka berbeda karena kulit Zalfaa lebih ke sawo matang, sedangkan wanita dalam foto berkulit kuning langsat. Kesan kedua: aku mendapat pertanyaan perihal kenapa wanita ini mengenakan baju model terbuka seperti itu, apakah Mama Zalfaa bukan dari keluarga pesantren seperti yang kukira di awal?

"Menurutmu, apakah beliau mirip denganku?" tanya Zalfaa, memecahkan terka-terkaku di kepala.

Aku mengulum senyum. Menimpal, "Iya, mirip, Faa. Apalagi senyumnya, itu persis kamu."

Wajah Zalfaa berbinar cerah.

"Kalau kamu tanya siapa nama mamaku? Aku juga nggak tahu. Tapi saat di Dolly, katanya Mama biasa dipanggil Nona Joy," jelas Zalfaa, nada bicaranya merendah.

Aku membisu. Bukan karena malas menyahuti penjelasan Zalfaa, terlebih sebab kaget mendengar satu nama yang disebutkan. Bukan teratensi pada Nona Joy, melainkan pada nama Dolly.

Dolly. Bukankah itu adalah sebuah kawasan di Surabaya yang dulunya terkenal sebagai tempat prostisusi dan sudah ditutup pemerintah beberapa tahun lalu? Jadi, Mama Zalfaa ini adalah seorang ...?

Asumsi-asumsi tak pantas mulai berkelebat di kepalaku.

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro