30. Pelukan Teletubbies

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Khulasoh's birthday.

Aku dan Zalfaa semangat membungkus kado berisi 2 buah novel karya penulis favoritnya dan kitab 'imriti untuk nahwu di kelas 2 Wustho besok. Kalau Zalfaa, Si Gigi Kelinci itu mengado jenis sarung gloyor Tuban yang katanya sedang diidamkan Khulasoh jauh hari.

Kami berdua niatnya memberikan kadonya nanti malam.

"Faa, tolong pegangin bentar," pintaku yang kesulitan membungkus kado, meminta tolong Zalfaa untuk memegangi bokong kotakan kadoku karena aku hendak menselotip bungkus kado di bokong yang lain.

Cekatan, Zalfaa mengikuti intruksiku.

"Itu bedak bayi buat apa?" kepoku di sela menselotip bokong kotakan kado.

Kepala Zalfaa bergerak, melirik ke arah bedak bayi di atas kasurnya.

"Buat nanti kita ngerjain Khulasoh, baju di lemarinya, nanti kita obrak-abrik, lalu bubuhin itu," jelas Zalfaa dengan wajah semringah nian, "Persis kayak tahun lalulah. Kamu juga digituin saat ultah sama aku, Copi, dan Khulasoh 'kan?"

Aku mengiyakan dengan mengangguk. Itu benar sekali. Di ulang tahunku di tahun kemarin, aku dikerjai mereka bertiga dengan pakaian satu lemari diobrak-abrik, lalu dibubuhi bedak satu botol saat mereka menyelesaikan misi menaruh kado mereka ke dalam lemariku. Sebab pakaian kotor oleh bedak, sebagian aku cuci, sebagian lagi hanya cukup aku tepuk-tepuk kasar agar hilang bedaknya.

Ah, momen begituan memang menyebalkan, tapi manis karena tak lain adalah bentuk perhatian mereka padaku, dan lucu kala dikenang.

Obrak-abrik pakaian selemari dan dibubuhi bedak sudah menjadi tradisi kami berempat jika di antara kami ada yang ulang tahun. Sofiya yang mengajari. Beberapa teman santriwati ada yang ikut-ikutan, katanya cukup seru, daripada ditampong memakai butiran telur busuk, lebih kasihan.

"Ciee .... Mau buat Khulasoh ya itu?" ledek Mbak Cunul yang tetiba masuk kamar.

"Hehehe ... Iya, Mbak Nul." Aku dan Zalfaa menjawab kompak. Nyengir lebar.

"Ngado apa nih?"

"Rahasia, Mbak."

"Sama Mbak masa main rahasia-rahasiaan." Mbak Cunul menyinggahkan pantatnya di pinggiran kasur. Menoeli pinggangku.

Aku nyegir geli.

"Novelnya Bang Tere, Mbak," jelas Zalfaa. Kedua tangannya beralih mengatup di sebelah telinga Mbak Cunul, seolah-olah sedang berbisik.

Kedua mata Mbak Cunul yang penyuka buku-buku Tere Liye itu melebar. "Woah! Judulnya apa?"

"Janji sama Sesuk."

"Aku belum baca yang Sesuk, aku harus boking pinjem pertama kali nih."

Antusias benar Mbak Cunul sampai aku dan Zalfaa tekikik. Mbak Cunul maniak banget soal pinjam buku-buku penulis produktif itu, apalagi yang serial Bumi layaknya Khulasoh. Bucinnya juga nggak maen-maen; yaitu karakter fiksi, Ali dalam serial fiksi ilmiah dan fantasi novel Bumi.

Pokoknya Mbak Cunul, alias Mbak Khusnul adalah seperbucinan. Kalau mereka duduk bareng dan bercerita Ali, bakalan klop banget ceritanya dan seperti tidak ada ujung, sudah macam penggemar K-Pop saja kalau sedang membahas bias.

Kami berduapun melanjutkan membungkus kado dengan Mbak Cunul yang katanya hendak mendongengi kami novel dari Tere Liye yang berjudul Janji. Dia memang suka melucu, dia ternyata hapal blurb-nya dan memberitahu kami dengan nada puitis, lolos membuat aku dan Zalfaa terhibur atas kekreatifannya, tapi lama-lama terdiam juga karena terlalu menyentuh.

***

Sampai waktu 00.00, aku belum juga memberikan kado.

Sesuai niat awal, aku hendak memberikan kadonya di belakang layar, diam-diam menyelipkannya di lemari Khulasoh. Tapi karena Khulasoh selalu berada di kamarnya sehabis takror, aku kesulitan.

Hal tersebut sudah menjadi tradisi kami berempat, diam-diam menyelipkan kado sembari mengobrak-abrik pakaian yang ada dengan membubuhkan bedak bayi. Kami tidak ada yang marah karena ulah yang menjadikan pakaian kami selemari kotor oleh bedak, justru kami mendengkus senang karenanya, bentuk perhatian jail kami berempat, buat seru-seruan. Baru nanti di tengah malam ulang tahun, kami akan memberikan ucapan selamat ultah seraya memberikan 15-20 donut harga 2 ribuan yang ditaruh di atas piring plastik, diberi lilin angka usia ulang tahun. Sesederhana saja memeriahkannya, tapi sangat membuat kami bahagia dan berkesan.

Dan lihatlah, dini hari, saat aku terbangun dari tidur dan tergesa keluar untuk kemudian menyelipkan kado yang tertunda, saat aku hendak sampai ambang pintu, kedua mataku disambut oleh penampakan itu. Sebuah penampakan ulang tahun khas kami.

Lagu eid milad sa'id kudengar dari bibir Zalfaa dan Sofiya. Mereka bertiga duduk di atas kasur Sofiya yang ada di bawah. Zalfaa yang memegang roti donat berlilin 17 yang sudah dinyalakan. Kedua mata kelam Khulasoh tampak berbinar senang mendapati kejutan perayaan tak asing yang ada. Satu-dua personel kamar mereka bangun, disusul yang lain. Mereka tidak kesal karena terusik, justru melangkah ringan ikut nimbrung, ikut merayakan dengan sukacita.

Aku tersenyum melihatnya. Kado di sebelah tanganku kupeluk. Aku ingin sekali bergabung merayakan, tapi kakiku tak kuasa melangkah ke sana karena jika aku egois ke sana, hanya akan merusak kebahagiaan Khulasoh.

"Ayok, tiup lilinnya, Soh," seru Sofiya seraya bertepuk tangan.

"Nggak boleh ditiup," larang Zafaa.

"Oh, iya. Ya udah di-kipit-kipit pake tangan ajalah kayak biasa," balas Sofiya. Yang lainnya bersemangat, meramaikan "Ayok! Ayok buruan!"

Dengan diawali senyuman lebar, Khulasoh memadamkan nyala lilin sesuai intruksi Sofiya.

Nyala lilin padam. Tinggal ramai mengucapkan ucapan selamat ultah untuk Khulasoh dan mendoakan yang baik-baik. Tampak dengan penuh bahagia di usianya yang bertambah satu tahun, dia mengaminkan doa-doa mereka.

Donat varian rasa dibagikan ke mereka yang ikut merayakan. Ada total 10 orang di situ, donatnya 15, sisanya satu-dua berebutan jatah, membuat ramai.

Sofiya jail, mencolek krim cokelat donat, mengoleskannya ke dahi Khulasoh.

"Heh!" decak Khulasoh atas kejailan Sofiya.

Sofiya mendengkus meledek. Menyolekkan krim cokelat ke pipi Khulasoh. Yang lainnya tertawa. Ikutan colek mencolek krim.

Aku yang kini mengintipnya di balik pintu kamar yang sedikit terbuka, tersenyum lagi. Amat senang melihat Khulasoh bahagia nian di hari ulang tahun ke-17 nya.

Aku menunduk, menghela napas sejenak untuk kemudian hendak pergi.

Namun, kala aku mengangkat wajah untuk kemudian pergi, pandanganku terserobot oleh tatapan mata kelam yang membuat kakiku kaku. Tatapan netra Khulasoh.

Aku ketahuan mengintip. Aku membeku di tempat. Dan ... Khulasoh mendekatiku. Yang lainnya yang awalnya berisik, jadi perlahan diam.

"Soh," sapaku kaku begitu Khulasoh lolos berjalan pelan ke arahku radius satu meter.

Tidak menyahut. Sahabatku satu ini terus melangkah pelan. Menatapku datar.

Suasana kian menghening. Yang lainnya pasrah menonton.

Aku yang memeluk kado, memilih membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya, aku menunggu sahabatku itu datang sempurna padaku, biarlah jika mungkin aku terkena omongan tidak enak layaknya di kemarin-kemarin, tidak apa.

Hela napas halus kulalui. Khulasoh sempurna sudah berdiri di hadapanku. Menatap dalam.

"Met milad, Soh," ucapku, mengucapkan selamat ultah dengan bahasa campuran seperti yang lain mengungkapkan.

"Moga hidup kamu makin berkah, makin bahagia, makin--"

Tanpa terduga, Khulasoh memelukku erat, memotong kesemogaanku buatnya.

"Maaf, Jim. Maaf ....," bisiknya itu.

Kedua mataku melebar alami. Jantungku berpacu kencang sebab tak percaya bahwa justru reaksi barusan yang kudapatkan darinya.

Belum usai keterkejutanku, Sofiya ikut beranjak mendekatiku, menubruk memelukku, lantas membisikiku, "Maafin aku, Jim. Maaf, maaf ...."

Kedua mataku berkaca-kaca.

Disusul Zalfaa. Dia memelukku juga.

Kami berempat berpelukan layaknya pelukan Teletubbies.

_________________


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro