31. Kabar Gus Fawaz

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari, minggu, bulan, terus berlalu tanpa terasa. Banyak hal yang sudah aku jalani tanpa kuasa menghitungnya.

Satu tahun sudah kejadian pelukan Teletubbies, kini kami akhirnya bersama lagi hingga tak terasa sudah memasuki tahun ke tiga di Pesantren Manbaul Hikmah.

Mama sudah menikah setengah tahun lalu dengan Om Januar. Om Januar orangnya begitu hangat, amat menyayangi Mama, juga aku sebagai anak tirinya. Om Januar tipe humoris, jika kami sedang kumpul bertiga, beliau sering membuat lelucon di sela percakapan.

Aku amati, Mama tampak lebih bahagia setelah menikah, aku sangat bersyukur karena takdir indah yang ada.

Tambah bersyukur lagi mendapati kehamilan Mama sudah masuk 4 bulan. Kata Mama, di minggu besok hendak menggelar acara ngupati; sebuah adat Jawa untuk selametan 4 bulan kehamilan.

"Maaf ya, Ma. Azhima nggak bisa pulang. Minggu besok pas banget tes diniyah," maafku dengan rikuh begitu Mama memberiku laporan kebahagiaan itu, mengajakku pulang saat menggelar acara ngupati.

"Ya udah, nggak apa-apa kok, Nak. Yang penting Azhima selalu bantu doa dari sini dan belajar yang tekun." Mama mengusap bahuku.

Hari ahad setelah mengaji, Mama dan Om Januar--hm, maksudku Papa, aku sudah menyebutnya Papa. Kedua orang tuaku menjengukku di pondok. Kami bertiga, kini duduk lesehan di ruang tamu pesantren.

"Iya. Itumah pasti, nggak usah khawatir, Ma. Doain Azhima juga biar dimudahin saat ngerjain soal tes, moga aja bisa ranking pararel," imbuhku, terkikik--soal rangkin pararel nyaris mustahil, dari tahun ke tahun selalu kakang santri, masalah pelajaran pondok dalam memahami kitab kuning, kakang santri banyak yang lebih unggul daripada mbak santri.

"Tapi itu nggak mungkin banget sih, Ma. Yang ranking pararel mah kakang santri terus."

"Kok pesimis?"

Aku nyengir.

"Semua hal itu mungkin, jika kamu percaya dengan diselingi usaha dan doa. Anak cantik Mama pasti bisa kok," nasihat Mama, mengusap bahuku lagi.

"Iya, Mama Mil, Azhima bakalan lebih giat belajar deh kalo gitu."

"Kok Mama Mil?" Mama mengerutkan kening, heran.

Cengiranku mengembang lagi.

"Biasanya kan kalo ibu hamil dipanggilnya bumil, lah ini kan mama hamil jadinya Mama Mil," jelasku agar Mama tidak kebingungan lagi.

Raut muka Mama yang tadi kebingungan, sekarang semringah geli mendengar penjelasanku.

"Eh, itu Papa dateng," ujar Mama sesaat ke depan mendapati Papa Januar kembali ke ruang tamu sembari menenteng kantong plastik putih yang kuprediksi pastilah berisi salad buah yang katanya tertinggal di mobil.

Senyumku langsung mengembang untuk menyambut Papa Januar. Mama juga tersenyum lebih lebar menyambut suami terkasihnya. Pun sama, Papa Januar datang sembari membawa senyum yang kurasakan ketulusannya begitu dalam untuk aku dan Mama Ningsih.

Allah, bagaimana caranya aku bersyukur atas nikmat begini besar yang telah Engkau berikan padaku? Ah, ya Allah, dulu pikiranku tak pernah sampai untuk pada akhirnya berhasil memiliki keluarga kecil yang lengkap layaknya kini karena rasa sakit yang kumiliki, juga Mama. Ya Allah, terima kasih atas segalanya.

Pemahaman baik datang. Penyembuh yang menjadi penawar atas segala lukaku akhirnya kutemukan. Dan perjalananku terasa lebih ringan setelahnya. Ini adalah anugerah terindah dari-Nya. Aku sangat bersyukur, lagi dan lagi.

Rasa syukurku sungguh beragam. Salah satunya adalah tentang ... akhirnya aku bisa memanggil seorang pria yang bisa kusebut Papa--dengan begitu bangga.

***

"Fahimtum?" (Kalian paham 'kan?)

"Fahimnaaaaa." (Kami sudah paham)

Sudah menjadi ciri khas Ustadz Badri, usai ajang bertanya fahimtum kepada para murid dan langsung mendapat jawaban semangat fahimna, pelajaran selesai, istirahat.

Para murid satu persatu keluar dari kelas untuk ke kantin, sisanya tidur di meja dengan bantal sebelah tangan, ada juga yang memilih meluangkan waktu untuk belajar karena hari tes diniyah semakin dekat, sisanya ngerumpi di kelas seperti aku.

"Aku tadi telat masuk sekolah, Jim," omong Sofiya yang bergabung ke mejaku bersama Khulasoh. Di sampingku, Zalfaa tidur pulas.

"Iya. Terus ada apa? Kena takzir buang sampah deket tiang bendera kan?" sahutku, memberesi kitab imriti yang barusan dikaji Ustadz Badri.

"Iya, bener. Tapi bukan itu yang aku maksud, Jim," sangkal Sofiya.

Khulasoh ikut-ikutan meramaikan kehebohan Sofiya. "Iya, bukan itu yang Copi maksud. Ada sesuatu yang bentar lagi pasti bakalan viral."

"Apa tuh yang bakalan viral?" sahutku, sengaja berpangku tangan menatap Khulasoh dan Sofiya.

"Gus Fikri mau nikah, ya?" bahasku kemudian, nada bicaraku dengan sengajanya kurendahkan, mengurai pangkuan tanganku.

"Yah, bakalan patah hati," imbuhku, sekedar bercanda.

"Ngapain patah hati sih kalo Gus Fikri nikah, Jim? Kamu kan cuman mengidola, harusnya seneng kalo Gus Fikri akhirnya dapet kekasih halal," tanggap Khulasoh.

"Curiga nih kamu ngarep lebih, Jim. Jangan-jangan selama ini kamu juga ngarep perjodohan anak SMA sama Gus yang berusia matang kayak di novel-novel," ledek Sofiya, senyum-senyum tidak jelas.

Kedua mataku melebar.

"Sembarangan kamu deh, Cop. Tadi cuman bercanda. Dan nggak ngebayangin kayak gitu juga ih!"

Sofiya dan Khulasoh tertawa.

"Sini, Jim, aku kasih tahu sesuatu yang bentar lagi bakalan viral, pokoknya kamu nggak boleh ketinggalan, harus tahu duluan." Sofiya melambaikan tangan, menyuruhku mendekat ke arahnya.

Di samping gadis Bangka Belitung ini, gadis Tegal alias Khulasoh, senyum-senyum random. Aku jadi berfirasat buruk, mereka berdua mau mengerjaiku.

Bodoh amat tentang firasat buruk, aku mengikuti intruksi Sofiya.

Sofiya langsung membisikiku.

"Aku tadi liat Gus Fawaz baru pulang dari pondok, ranselnya gede banget, pasti isinya baju kotor tuh." Sofiya menyempatkan terkikik.

Hatiku menghangat perlahan usai mendengar kabar kepulangan Gus Fawaz.

"Kayak biasa, Jim, Gus Fawaz tetep ganteng. Ah, malah tambah ganteng dari yang dulu kita tahu, mukanya tambah kinclong aja. Dan apa, Jim? Kamu pasti heran deh sama yang satu ini," lanjut Sofiya.

Semakin membuat hatiku menghangat. Penasaran soal kabar lebih lengkapnya perihal kepulangan Gus Fawaz dari pesantren Kediri.

Aku melirik ke arah Sofiya sejenak, sahabatku satu itu sigap menarik wajahku seperti semula, membisikiku lagi.

"Dia jadi good attitude, Jim. Vibes-nya dia udah kerasa beda banget; dari tatepan matanya, cara gerak tubuhnya yang santun, dan ngomongnya itu yang biasanya lo-gue ke kita, dia sekarang apa? Tadi aku papasan sama dia, lalu dia minta tolong sesuatu dan bahasa yang dia gunain itu Jawa krama, sopan banget," jelas Sofiya, raut mukanya berubah baper sendiri.

"Hmm, kalo kayak gini kan tambah-tambah bikin mleyooot."

Aku menarik wajahku. Sofiya sudah baper tingkat dewa, dia manyun-manyun baper, seolah-olah mau menangis karena saking terharu dan terpesonanya. Lolos membuat Khulasoh tertawa renyah. Menepuk-nepuk bahu Sofiya.

Aku sendiri memilih tersenyum untuk mengimbangi situasi.

Sebuah senyuman yang memiliki 3 makna; senyuman geli melihat kemlyeotan Sofiya, senyuman syukur karena Gus Fawaz sungguh berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dan senyuman bahagia ... mendengar kabar Gus Fawaz pulang. Dan aduhai, anehnya, aku langsung berharap bisa melihat Gus Fawaz segera.

Bukan hati saja yang kini menghangat, kedua pipiku juga. Membuatku bingung pada diri sendiri atas perasaan yang menjadikan jantungku berdebar sedikit lebih kencang.

Ah, ya Allah, aku ini lagi kenapa?

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro