32. Akhirussanah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berdecak senang. Akhirnya sehabis takror, aku kebagian piket ndalem. Mencuci piring ndalem bersama Azizah.

Jantungku berdebar sedikit lebih kencang kala langkah demi langkahku mengikis jarak untuk menuju ke ndalem. Hatiku berharap-harap cemas.

Bisakah aku lihat dia? Bentar aja, Ya Allah, pintaku dalam benak, bingung sendiri perkara kenapa aku jadi begini amat. Kenapa aku sangat ingin melihatnya? Kenapa? Kenapa? Sepertinya aku sudah abnormal.

Beberapa saat ke depan, aku dan Azizah sampai di dapur ndalem. Dengan segera, kami berdua mencuci piring. Kami membagi tugas dengan aku yang mencuci piring, Azizah yang membilas.

Waktu terus bergulir. Aku mengadu pada senyap karena tidak ada keajaiban datang untukku agar bisa melihat Gus Fawaz, padahal cucian piringku hampir selesai. Terus berdoa agar diberi kebetulan satu kali saja dengan mungkin ... dia hendak memasak mie di dapur ndalem atau apalah.

"Udah selesai semua, Mbak. Ayo buruan balek," ujar Azizah dengan semringah setelah kami berdua selesai menaruh piring-piring di rak.

"Aku udah laper banget tahu, pengin cepet-cepet nyerbu mendoan anget di kantin," bisik Azizah kemudian, nyengir.

Aku mengangguk.

"Yok balek. Aku juga laper," timpalku. Ikut nyengir.

Dengan helaan napas berat, dengan langkah tak bersemangat, akhirnya aku beringsut pergi dari dapur ndalem.

Aku cukup kesal karena tidak bisa melihat Gus Fawaz walau sebentar. Tapi lebih kesal lagi saat aku sadar bahwa diriku jadi berubah. Dulu, padahal aku tidak pernah ada rasa ingin melihatnya sedemikian, sekarang malah sebaliknya--aduhai, aku mulai tidak waras.

Pikiranku rusuh oleh Gus Fawaz di setiap langkah untuk keluar dari ndalem.

Dan ... di saat aku tak lagi mau mengharapkan apa pun, aku malah menemukan dia, di sana.

Dari arahku yang hendak keluar dari pintu yang ada di dapur, di mana pintu ini nanti langsung menuju keluar ke area asrama putri, aku justru melihatnya sekilas.

Dia tengah berjalan santai ke arah dapur dengan membawa mangkok di sebelah tangan. Dia memakai hoodie putih dengan bawahan sarung hitam polos.

Sekonyong-konyong, jantungku berdebar kencang. Aku panas dingin. Aku tetap mencoba meneruskan langkah dengan sopan sekalipun aslinya ingin sekali berhenti dan menyapanya.

Gus Fawaz kian dekat dan aku juga lolos keluar dari pintu.

Aku menutup pintu dengan hati-hati. Dan ... di sinilah tatapan mata kami bertemu. Tanganku yang memegang panel pintu yang sudah setengah tertutup pun tertahan. Bodohnya, aku terdiam kaku, aku berharap dia mau menyapa atau meledekiku--seperti biasa, layaknya dulu.

Namun, itu hanya sebatas anganku. Di sekon kemudian, dia justru menunduk, meletakkan mangkok kotor di bak cuci piring, lalu pergi.

Dadaku langsung ngilu. Aku malu perihal kenapa terlalu berharap yang tidak-tidak.

"Mbak Azhima, ayok buruan. Malah bengong," komentar Azizah, tak sabaran padaku yang menutup pintu saja lemot.

***

"Ketemu sama Gus Fawaz nggak, Jim?" selidik Sofiya begitu aku bergabung bersama Sofiya, Khulasoh, dan Zalfaa di aula pesantren putri. Niatnya, malam ini kami hendak lembur nembel kitab nahwu yang bolong-bolong.

"Hmm. Liat bentar," jawabku seraya menaruh plastik berisi mendoan yang tadi kubeli di kantin bersama Azizah.

Kedua mata Sofiya langsung melebar.  "Wah, serius?"

"Hoki kamu ya!" ledek Khulasoh.

Zalfaa tetap kalem. Sibuk menembel mandiri kitab fiqihnya.

"Gimana? Dah kerasa kan perubahannya dia?" Selidik Sofiya yang beringsut cepat untuk duduk di sampingku, mengusap bahuku.

Aku tetap diam. Perubahannya memang terasa. Namun, egoisnya, aku ingin disapanya seperti sediakala saat bertemu.

Sial! Khulasoh menabokku. "Heh! Kok kamu malah murung?"

"Kangen Si Gus mode tengil, ya? Kangen Si Gus yang suka ngeledekin kamu?" Sofiya mulai meledekiku seraya mencomot asal mendoan hangat yang kubeli.

Mataku langsung melebar. Enak banget Sofiya bilangnya. Nggak! Aku nggak kangen!

"Bilang aja kangen, Jim. Nggak apa-apa kok. Aku nggak akan cemburu lagi," ledek Sofiya lagi, melahap mendoan.

"Kamu sekarang suka sama Si Gus kan, Jim?" Ini ledekan Khulasoh. Mereka berdua kalau masalah meledek, klop banget.

Hatiku menghangat, berdalih, "Nggak. Apa-apaan sih!"

Mereka berdua tertawa renyah. Zalfaa juga ikut-ikutan melontarkan cengiran.

"Ngaku aja deh. Aku beneran nggak cemburu. Semoga kamu berjodoh ya sama Si Gus di masa depan," omong Sofiya begitu tawanya reda. Melahap sisa mendoannya.

Pembahasan begini, aku malas menanggapi. Aku memilih mencomot mendoan.

"Aminin ngapa sih, Jim. Aku justru seneng loh kalo kamu nanti sama Si Gus. Aku bangga sama kamu, ternyata kamu adalah cewek terbaik buat idolaku," ujar Sofiya kemudian.

Aku tetap malas menanggapi.

Khulasoh dan Zalfaa meledek berjamaah.

"Cie .... Cie ...."

Terdengar gelak tawa mereka bertiga di sekon ke depan.

Sehabisnya, kami berempat nembel kitab nahwu sampai larut malam.

Dan detik terus berganti menit. Menginjak dini hari, aku tidak bisa tidur.

Dalam keremangan, aku memikirkan tentang Gus Fawaz yang memang sudah berubah. Tatapan matanya sudah berbeda dari yang dulu. Tatapan matanya mulai terasa teduh--walau belum seteduh idolaku, Gus Fikri. Dan sikapnya, aku akui, jelas lebih sopan berlipat-lipat dari yang dulu. Itulah kenapa, saat kami bertatapan, dia memilih menundukkan wajahnya, cepat-cepat pergi untuk menghindari sesuatu yang tidak perlu--seperti mungkin, hasrat ingin mengobrol denganku.

Aduh, memangnya Gus Fawaz masih menyukaiku? Pengungkapan itu sudah satu tahun di belakang. Dan palingan hanya cinta monyet. Palingan juga, dia sudah diam-diam menaksir cewek lain di sana.

Aku memiringkan tubuh di kasurku. Aku jadi malu sendiri. Aku tidak boleh seperti ini. Seharusnya aku tidak memiliki perasaan aneh untuknya. Apalagi berharap bisa dipertemukan dalam ikatan halal di masa depan. Ah, Ya Allah, aku harus sadar diri jika aku ini siapa. Kami tidaklah sekufu.

Waktu terus berjalan sebagaimana mestinya.

Bulan berganti tahun.

Tak terasa, perjalanan menuntut ilmuku di Pesantren Manbaul Hikmah akhirnya selesai.

Malam ini, malam akhirusanah madrasah diniyah.

Seperti biasa, akhirusanah madrasah diniyah digelar dengan meriah. Halaman luas madrasah diniyah ditratag, sound system terbaik terpasang, panggung megah dibuat dengan dekorasi yang memukau dari hasil kreasi santri.

Para wali santri berkunjung, beliau-beliau duduk nyaman di kursi-kursi pengunjung yang disediakan. Sekitaran area acara ramai oleh para pedagang.

Di panggung sana, Ustadz Aiman tengah mengumumkan 3 peringkat atas di setiap kelas madrasah diniyah.

Aku sendiri bersama ketiga sahabatku dan teman-teman kelas 3 Wustho atau 3 Ulya sedang duduk di kursi murid kelulusan. Di sini, kami rapi mengenakan jas almamater madrasah. Aku melirik ke belakang sana, tersenyum menemukan Mama Ningsih yang tengah duduk mengemban Najwa, adik kecilku.

Mama Ningsih menimpali senyumku seraya melambaikan tangan Najwa ke arahku. Kulihat Najwa tertawa karena ini. Dari kejauhan, Najwa tampak menggemaskan seperti biasa.

Kedua mataku mengembun karena amat bahagia, sekaligus ... ada rasa berat hati sebab tinggal menunggu hari, aku hendak keluar dari pesantren untuk menuruskan perjalananku menggapai cita-cita menjadi seorang psikiater.

Di penjara suci ini, aku menemukan banyak pembelajaran sekaligus pemahaman baik. Terlalu banyak, hingga tak bisa kujelaskan satu persatu.

Aku berterimakasih sekali pada Mama Ningsih karena telah memaksaku ke sini yang pada akhirnya aku benar-benar menemukan penyembuh seperti yang Mama katakan. Bukan hanya penyembuh, tapi juga guru terbaik, sahabat terbaik, sekaligus pengalaman yang mengajariku banyak hal, dan tentunya ilmu agama.

Aku merasa beruntung masuk pesantren. Menjadi santri adalah salah satu anugerah terindah yang kumiliki.

Tepuk tangan ramai memenuhi area acara di setiap satu nama yang disebutkan Ustadz Aiman sebagai pemilik peringkat kelas.

Hingga ... sampailah pengumuman peringkat kelas 3 Wustho.

"Azhima Marwah ....."

Namaku disebut sebagai juara 1 pararel di angkatan kelas 3 Wustho, mengalahkan kakang santri yang biasanya doyan juara pararel. Alhamdulillah. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada-Nya.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro