33. Gamon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu terasa begitu cepat.

Acara halal bihalal alumni Pon Pes Manbaul Hikmah Cilacap tahun ini amat spesial karena setelah beberapa tahun berlalu, akhirnya aku, Zalfaa, Khulasoh, dan Sofiya bisa bersua lagi, bertatap muka secara langsung.

"Masya Allah, Azhima tambah cantik aja kamu," puji Sofiya saat kami berdua cipika-cipiki.

"Kamu juga, Cop. Tambah elegan, langsing," sahutku, mengomentari Sofiya yang dietnya berhasil. Setelah keluar dari pondok, Sofiya memang jadi gendutan, dia sering mengeluh padaku lewat chat, meminta tips aman buat diet.

Sofiya terkekeh ringan, menjembel pipiku begitu kami selesai cipika-cipiki.

"Sesuai tips dari kamu, Bu Dokter. Manjur!" Sofiya memamerkan satu jempol tangannya.

Kami berdua terkikik ringan.

"Jim! Cop!"

Seruan itu berhasil mengalihkan atensi kami berdua. Seruan tak asing. Suara seruan Khulasoh.

"Soh!" Aku dan Sofiya berseru berbarengan.

Kami bertiga cipika-cipiki lagi.

"Gimana kabarnya semua?" tanya Khulasoh begitu sesi cipika-cipiki selesai.

"Alhamdulillah, sehat, Soh. Kamu?" sahutku.

"Aku juga alhamdulillah sehat. Gimana kabarmu, Soh?" Ini sahutan Sofiya.

"Alhamdulillah sehat juga," balas Khulasoh, dibuntuti ledekan ke Sofiya, "Cie ... yang bentar lagi mau lamaran, udah langsing."

Wajah Sofiya tersipu malu.

Beberapa malam kemarin; aku, Sofiya, Khulasoh, dan Zalfaa ber-video call. Kami sudah saling bermaafan di malam itu, menanyakan kabar, mengobrol banyak.

Mengobrol banyak, salah satunya tentang topik pekerjaan kami.

Khulasoh sekarang menjadi penulis. Setelah keluar dari pesantren, dia berkuliah Sastra Indonesia sembari mencoba menulis cerita di salah satu platform menulis online.

Satu, dua, tiga, tulisannya belum banyak dikenal, dan di tahun ke 4, barulah salah satu karyanya viral di medsos saat dia promosi.

Dalam satu tahun ini, dia sudah menerbitkan 2 novel best seller. Satu bukunya, kabarnya sudah dikontrak oleh PH Film.

Kalau Sofiya, dia menjadi pastry chef di Bangka Belitung. 3 bulan kemarin baru saja menggelar grand opening untuk toko roti pertamanya.

Aku sendiri sekarang masih menjalani masa koas untuk kepaniteraan mendapat gelar dr. Sekarang aku tidak lagi tinggal di Purwokerto, keluarga kecilku pindah ke kota kelahiran Papa Januar di Bekasi. Cita-citaku menjadi psikiater masih membutuhkan perjalanan panjang dan perjuangan super keras.

Ah, ada yang penasaran Zalfaa, Si Gigi Kelinci yang belum juga nongol?

Tenang, dia ada di sini. Dia menikah dengan Gus Fikri. Dia ada di ndalem.

Setelah akhirusanah itu dan hafalan al-Qurannya khatam, dia dikhitbah Gus Fikri, menikah. Lalu dia diizinkan Gus Fikri untuk mengambil beasiswa al-Quran di Turki selama 4 tahun. Sekarang dia menjadi seorang dosen.

Aku, Sofiya, dan Khulasoh pun kini tengah melangkah sopan ke ndalem buat sowan ke Abah Dullah dan Ummi Izzati. Tentunya, sowan juga ke Bu Nyai muda kami, Bu Nyai Zalfaa.

"Kepripun kabaripun, Bu Nyai? Saweg sehat sekeluargi 'kan?" tanyaku sopan begitu sampai ke ndalem yang ditinggali Zalfaa dan Gus Fikri. Kami bertiga ke sini setelah rampung sowan Abah Dullah dan Ummi Izzati.

Bukan menjawab, Zalfaa malah mencubit pinggangku.

Aku meringis. Dia masih saja doyan cubit-cubit. Cubitan kecil, amat perih.

Khulasoh dan Sofiya menahan kikikan. Menutupi bibirnya dengan sebelah tangan.

Untung saja di ndalem hanya ada kami berempat. Aku, Khulasoh, dan Sofiya memang sudah janjian untuk ke pesantren lebih awal, agar bisa mengobrol santai bersama Zalfaa. Tidak sowan bareng-bareng sama alumni lain karena nanti takutnya bakalan kaku--soalnya Zalfaa sudah menjadi bu nyai pesantren ini.

"Udah jadi USG, Ning?" tanya Khulasoh usai dia dan Sofiya berhenti terkikik.

Zalfaa sedang hamil 20 minggu, putra kedua.

Jika kami berempat mengobrol, Zalfaa memang kerap tidak suka dipanggil Ning. Kemarin saat di video call saja, dia sungkan disebut demikian. Sekarang juga, tapi jelaslah Khulasoh enggan memanggil Zalfaa dengan hanya sebutan nama karena sekarang berada di ndalem.

"Alhamdulillah udah," sahut Zalfaa kemudian. Pasrah pada kami yang kukuh mau menyebutnya Ning.

"Cowok atau cewek, Ning?" tanggap Sofiya.

"Cowok, Mbak Sofi."

Selalu begini jawaban Zalfaa saat dipanggil Ning, dia akan menambahkan kami dengan sebutan Mbak.

"Alhamdulillah. Anak kedua cowok. Bakalan semanis apa ya nanti? Secara, Abi dan Umminya manis-manis kayak gulali. Kemarin, Ning Qumi saja manisnya kebangetan," komentarku. Qumi adalah anak pertama Zalfaa.

"Awas, awas, nanti Azhima naksir kalo manis-manis kayak Abinya." Sofiya mulai meledek.

Aku melebarkan mata. Menyela, "Hm!"

Ketiga sahabatku ini tersenyum meledek.

"Nggak ding! Azhima kan maunya sama yang itu ...." Khulasoh langsung jail, memakai sama yang itu dalam arti Gus Fawaz.

Sofiya berdehem-dehem yang pastilah untuk meledekiku.

"Itunya Azhima sekarang di mana, Ning? Kabarnya udah pulang dari Moroko."

Topik pembahasan kami mulai berganti. Sofiya yang mengawali bertanya tentang dia yang kabarnya sudah pulang dari berkuliahnya di Maroko.

"Iya. Pulang dari Maroko jelang puasa kemarin," jelas Zalfaa, tepat saat abdi ndalem membawakan nampan berisi teh hangat buat kami.

"Azhima. Gas ketemuan!"

"Sat-set, sat-set, langsung nikah kan, Jim?"

"Nikahnya di minggu depan, bisa nggak? Sebelum aku pulang ke Bangka lagi gitu."

"Bisa diatur itu mah, Cop."

Khulasoh dan Sofiya mulai meledekiku tanpa terkendali.

Aduh, apa-apaan mereka, tidak jelas sekali. Asal meledek sesuatu yang tidak ada kebenarannya. Aslinya, aku dan dia benar-benar hilang kontak sudah bertahun-tahun. Terakhir berkontak di malam itu, saat dia mengklarifikasi perasaannya padaku, bikin gamon tanpa ada pertanggungjawaban.

Bikin gamon karena aku jadi suka dia hingga sekarang. Ini menyebalkan.

Aku hanya diam diledeki begitu.

Setelahnya. Rombongan tamu mulai berdatangan, kami bertiga mohon pamit dari ndalem.

Acara halal bihalal ramai. Alumni dari beberapa angkatan, dari berbagai kota, datang ke pesantren. Sebagian sudah berkeluarga, sebagian masih sendiri.

Solawat yang dibawakan Habib Syekh terdengar lewat sound system terbaik untuk menyambut kehadiran para alumni yang terus berdatangan.

Aku bersama Sofiya dan Khulasoh sudah berada di tratag, mengambil tempat duduk, mengobrol dengan almuni lain yang kami kenal sembari menunggu acara dimulai.

Dan ... di sela kami mengobrol, tak sengaja tatapanku menemukan dia di sana yang tengah bersalaman sopan dengan beberapa alumni putra.

Dari kejauhan, aku melihat dia yang kurindukan. Aku mengamati wajahnya yang kini begitu teduh. Aku melihat senyumnya yang menawan. Aku melihat cara dia tertawa renyah.

Dia ....

Dia ini, lagi-lagi membuatku gamon.

Curian pandangku terhadapnya terekam apik hingga aku pulang ke Bekasi. Membuatku kian menggila merindukannya.

Aku ingin mengobrol ringan dengannya, sungguh, andai bisa, tapi nyatanya tak bisa, lagi dan lagi, ini hanya sekedar angan.

Namun, saat aku bertekad untuk melupakannya, usai salat isha seperempat jam yang lalu, Mama mengetuk pintu kamarku. Beliau membisikiku sesuatu yang amat tidak bisa kucerna baik begitu saja.

Sesuatu itu ... tentang dia.

Dia bertamu ke rumah bersama Abah Dullah.

Ya Allah, kira-kira ada kepentingan apa?

Otakku mulai harap-harap cemas membuat asumsi paling valid.

Dan ... bertamu itu, seiring berjalannya waktu, aku tahu itu perihal apa.

Perihal ....

Dulu, dia menjauh agar kita berdua sama-sama bisa saling menjaga dari hal-hal yang tidak baik perihal cinta. Untuk kemudian dia kembali di waktu yang tepat, untuk akhirnya meminta restu kedua orangtuaku, mengupayakanku agar kita juga bisa bersama-sama saling menjaga dari hal-hal tentang cinta. Bukan dengan menjauh layaknya dulu, melainkan dengan sebuah penyatuan yang diridhoi-Nya.

___________________

Tamat, tapi masih ada bab ekstra di bab selanjutnya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro