34. Bab Ekstra: Lukanya Sembuh Sempurna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ternyata benar kata sebagian orang bahwa sebuah lagu bisa membawa kita pada kenangan tertentu.

Seperti kini, lagu Runtuh milik Feby Putri & Fiersa Besari terlantun memenuhi rongga telinga Azhima. Sebuah lagu yang membawa kenangan atas masa-masa di mana dia putus asa. Putus asa sebab tak kunjung menemukan penyembuh. Putus asa atas takdir yang tengah menderanya. Putus asa yang kemudian berujung Mama Ningsih menyuruhnya masuk pesantren.

Azhima masih ingat betul atas kenangan itu yang kini tiba-tiba diingatnya karena mendengar lagu Runtuh.

Lagu Runtuh yang bukan terputar lewat aplikasi Spotify atau YouTube. Bukan juga terdengar lewat alat elektronik layaknya ponsel atau iPod. Melainkan terlantun secara manual lewat mulut seseorang.

Mau tahu siapa?

Sesosok lelaki yang dulu membuat tren memanggilnya dengan sebutan Jim. Alias Fawaz. Si Tengil itu.

"Ini kedua kalinya, aku denger kamu nyanyi," komentar Azhima kala di sampingnya, Fawaz tengah menumis bumbu halus mie nyemek, menambah telor, mengorak-ariknya.

Mendengar kata kedua kalinya, kening Fawaz mengerut. Menyelidik soal; kira-kira kapan yang pertama kali?

"Kapan kamu denger aku nyanyi?" tanyanya setelah sempurna menoleh ke arah Azhima yang sedang memotong bakso dan sosis.

"Dulu kamu suka nguping kalo piket ndalem, ya?" tuduhnya.

Kedua mata Azhima melebar. Enak saja dituduh tukang menguping, merendahkan martabatnya sekali.

"Aku nggak nguping. Kamu sendiri kayaknya yang caper nyanyi biar kedengeran aku sama Zalfaa. Saat itu kamu nyanyi lagu Bintang di Surga-nya Noah. Ingat nggak?" jelas Azhima. Mencoba membuat hentakan-hentakan petunjuk agar Fawaz ingat momen termaksud.

Momen yang dimaksud adalah ketika Azhima dolan ke rumahnya Zalfaa di Kebumen. Saat itu entah kenapa Fawaz juga menyusul ke sana, alih-alih temu kangen dengan Abang Al-nya Zalfaa yang baru pulang menuntut ilmu di luar negeri.

"Entahlah, aku nggak ingat. Tapi masa sih aku secaper itu?" Fawaz sungguh lupa. Tapi enggan ingat juga kalau benar terjadi. Aduh, masa lalunya saat remaja layaknya tampang generasi micin itu sungguh membuatnya malu sendiri sekarang. Dulu dia begitu norak, sok keren, pokoknya banyak sok-sokannya, alih-alih melampiaskan kecemburuannya pada Abang Fikri yang dia rasa ... Abah dan Ummi lebih menyayangi pria yang amat patuh satu itu.

"Istriku, dulu kamu sangat benci aku, ya?" Fawaz jadi membelokkan topik. Teringat masa putih abu-abu saat tahun pertama bertemu Azhima.

Tidak langsung menjawab, Azhima memilih menuntaskan memotong sosis sejenak, hingga kemudian menoleh lagi ke arah lelaki ber-sweater hitam bergradasi abu-abu di sampingnya.

"Aku nggak benci kamu. Cuman ... aku nggak suka sama sikap kamu yang sok bergaya," jujur Azhima, beralih menuangkan potongan bakso dan sosis ke wajan, membiarkannya bergabung dengan orak-orak telor yang sudah matang.

Seutas senyum singgah di bibir Fawaz. Dia sudah menduga jawaban perempuan kearaban satu ini. Sorot mata tajamnya di dulu itu kentara menjelaskan kebenaran jawaban sekarang.

"Kalau begitu ... lalu kapan kamu mulai suka ke aku? Saat aku tobat dan nyantren lagi? Atau saat aku ngampus di Maroko?" goda Fawaz, disahut mata belo Azhima yang kembali melebar.

Tawa renyah pecah sudah dari mulut Fawaz. Dia amat suka istrinya mode sebal, melebarkan mata karena bukan kesan galak menakutkan yang ada, justru wajahnya berubah amat menggemaskan.

Azhima masih kesal. Dia mendorong tubuh Fawaz agar bergeser selangkah untuk dia mengambil alih penuh sesi memasak mie nyemek. Segera menuangkan air secukupnya ke wajan.

Padahal secara tersirat, Fawaz sudah disuruh pergi dari dapur oleh Azhima. Tapi dia bebal, memilih menonton Azhima membuat mie nyemek dengan tangannya jail menarik-narik ringan ujung hijab abu-abu yang Azhima kenakan.

"Mulai nakalnya," komentar Azhima dengan menahan sebal.

Mendengar demikian, Fawaz menahan tawa.

***

Ternyata benar, buah kesabaran itu bisa dirasakan dengan begitu manisnya.

Malam ini, di bentala Palembang, Azhima begitu terharu melihat suasana sekitar di ruang makan.

Bukan terharu sebab katanya masakan mie nyemek hasil karyanya bersama Fawaz itu lezat. Melainkan terharu sebab pada akhirnya ... pemandangan seperti kini sungguh benar terjadi untuknya.

Pemandangan bisa berkumpul dengan keluarga Mama Ningsih, sekarang sungguh menjadi realita, setelah sebelumnya hanya khayalan tingkat tinggi yang dia mainkan dalam sarang pikiran.

Memang, ini bukan kali pertama pemandangan berkumpul dengan keluarga Mama Ningsih terjadi dalam kehidupannya, tapi tetap saja rasanya sama mengharukan dan terlampau membuatnya bahagia.

Dua tahun setelah menikah dengan Papa Januar, Mama Ningsih dibawa beliau ke Sumatera setelah Papa Januar mendapat informasi valid atas keberadaan Ayah dan Ibu mertuanya berada. Pria dewasa satu ini memberanikan kembali menyambung tali silaturahmi Mama Ningsih dengan orangtuanya yang sudah sekian lama terputus.

Dan ternyata semuanya dimudahkan, ayah dan ibu mertua yang sudah pindah tempat tinggal di Palembang menyambut hangat mereka. Usut punya usut, kedua orangtua Mama Ningsih yang sudah semakin menua itu juga tengah berproses mencari Mama Ningsih, mencari sedemikian lewat informan satu ke informan lain, hendak meminta maaf ke anaknya satu ini yang justru mereka usir, padahal tidak ada kesalahan yang anaknya lakukan, justru hanyalah korban yang seharusnya mendapat dukungan lebih.

"Kamu nggak makan?"

Suara Fawaz membuyarkan lamun Azhima. Pandangan Azhima yang sebelumnya teratensikan pada Mama Ningsih yang tengah mengobrol hangat dengan Nyek Hayati--sang ibu--teralihkan.

"Makan kok," sahut Azhima, buru-buru menyuap mie nyemek miliknya.

Sebelah alis Fawaz terangkat. Mengamati polah kentara Azhima yang mendadak canggung usai ketahuan melamun.

"Nggak usah buru-buru," komentarnya, mendapati Azhima melahap cepat.

Azhima melirik ke arah Fawaz yang duduk di sampingnya, mengangguk sebagai jawaban.

Sisa santapan mie nyemek malam ini dihabiskan oleh Najwa, walau tubuhnya masih mungil, tapi bocah satu itu doyan makan sekali, porsinya bukan main. Adik Azhima bilang ke kakek dan neneknya jika masakan mie nyemek Azhima itu rasanya lezat karena bukan murni masakan Kak Azhimanya, melainkan sebab dibantu memasak oleh Abang Fawaz.

Cicitan Najwa sontak membuat tawa Iyek Amir dan Nyek Hayati pecah. Bahkan Abah Dullah dan Ummi Izzati juga tersenyum geli.

Azhima sendiri tersenyum menahan kesal pada Najwa. Malah Najwa menjulurkan lidah.

"Kamu masih kesel ke Najwa?" selidik Fawaz begitu sesi makan malam dengan mie nyemek dan sesi mengobrol ringan usai. Malam kian matang. Kembali ke kamar untuk istirahat.

"Nggak, buat apa aku masih kesel ke Najwa?" sahut Azhima yang tengah menyisir rambut panjangnya.

"Kukira."

Azhima malas menyahuti. Memilih melirik Fawaz yang berdiri di belakangnya lewat cermin.

"Suamiku .... "

"Hm?" sahut Fawaz begitu dia singgahkan ceruk lehernya ke sebelah bahu Azhima.

"Aku tadi melamun, itu karena ... aku terlalu bahagia malam ini," jelasnya.

Bibir Fawaz mengurva.

"Terlalu bahagia kenapa? Karena kenyataan kamu telah jadi istriku?" ledek Fawaz. Segera mendapat cicitan Azhima, "Hm, ge-er!"

Fawaz kembali menyungging senyum.

"Iya, aku memang bahagia tentang kenyataan akhirnya menikah denganmu, sosok yang diam-diam kusukai selama ini. Tapi sungguh, tadi bukan melamun tentang itu," jujur Azhima, dia mendongak ke arah Fawaz begitu lelaki itu menarik singgahan ceruk leher di bahunya.

"Lalu ngelamunin apa?"

"Hmm .... " Azhima malah mengulur waktu, padahal Fawaz sudah tidak sabaran ingin tahu.

"Intinya ... tentang aku dan Mama yang pada akhirnya luka kami beneran sembuh sempurna," jawabnya. Lukisan senyum singgah di bibir.

Sebelah alis Fawaz justru terangkat, dia belum maksud soal pernyataan istrinya barusan.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro