32 | Satu Lagi Penderitaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Wajah itu terlihat tak tenang dalam tidurnya. Beberapa kali alisnya berkerut. Entah apa yang sedang merasuki mimpinya. Mungkin bukan hal yang bagus. Setelah beberapa saat kembali damai.

Wiku hanya bisa duduk mematung menatap Alta yang tertidur di ranjang. Tubuh Alta yang tadinya kotor penuh keringat dan cairan sperma sekarang terlihat lebih baik setelah ia bilas dengan air. Meski bekas kemerahan dan ikatan tali masih tampak begitu jelas di kulit seputih kertas tersebut.

"Ngerasa nyesel datang ke sini?"

Atensi Wiku beralih kepada Raga yang memasuki kamar. Sebuah rokok tersemat di bibir anak berambut cokelat gelap tersebut. Rahang Wiku mengeras.

"Apa tujuan lo sampai lakuin ini ke Alta?" tanya Wiku dengan suara rendah.

Raga berjalan menuju meja belajar Alta dan duduk di kursinya. Ia menghembuskan asap rokoknya melalui mulut dengan pelan.

"Gue cuma mau main-main aja. Gue suka lihat Alta menderita"

Srakk

Wiku menarik kemeja Raga sampai anak itu berdiri. Matanya menatap nyalang wajah Raga yang tersenyum tanpa dosa. Satu pukulan Wiku melayang hingga membuat Raga terhuyung.

"Lo bener-bener sakit jiwa! Alta punya salah apa sama lo sampai lo tega lakuin ini ke dia, hah?!" amarah Wiku meledak.

Raga mengusap bibirnya yang kembali berdarah. Ia membalas tatapan Wiku dengan tajam.

"Hey..." Raga berjalan mendekati Wiku. "Lo jangan sok jadi malaikat pelindung buat Alta. Lo sendiri tadi juga nikmatin 'kan?" ucapnya sambil menepuk bahu Wiku.

Pikiran Wiku kembali kacau mengingat kejadian tadi. Tentu semua itu terjadi karena ulah Raga. Tapi yang Wiku sesali dirinya sendiri bahkan tak bisa mencegah ataupun menghentikan Alta. Otak dan tubuhnya tidak mau berjalan selaras tadi.

"Gue penasaran sama satu hal sejak tadi..." celetuk Raga yang kini sudah duduk di sisi lain Alta.

Tangan Raga meraih selimut yang menutupi tubuh Alta dan sedikit menurunkannya. Terpampanglah tato seperti kepala burung di dada Alta. Wiku menatapnya sekilas kemudian berpandangan dengan Raga.

"Lo ga kaget 'kan kalo Alta punya tato ini. Berarti lo udah tau, ya"

"Emang kenapa kalo gue udah tau?"

Raga fokus menatap tato di dada Alta. "Lo ga merasa aneh kenapa Alta punya tato kaya gini?" ujar Raga sambil berbaring di samping Alta dan mengelus tato Alta.

Uh, hal itu membuat Wiku merasa kesal. Tapi ucapan Raga ada benarnya. Pertama kali dirinya mengetahui tato Alta adalah saat di SMP. Ia cukup terkejut saat mengetahuinya. Itu adalah saat dimana mereka harus mengganti seragam menjadi seragam olahraga. Alta yang biasanya selalu memakai kaos sebagai dalaman, tak memakainya saat itu.

Hanya Wiku yang mengetahuinya. Alta terlihat takut saat itu karena rahasianya di ketahui orang lain. Dan waktu itu juga Wiku berjanji pada Alta tak memberitau siapapun di sekolahnya soal tato yang Alta punya.

"Alta bilang tato itu udah ada sejak dia umur 9 tahun" ucap Wiku sambil teringat bagaimana wajah ketakutan Alta dulu.

"Lo tau kenapa Alta ga bisa inget darimana tato itu berasal?"

Wiku menghembuskan nafasnya menatap Raga. Ia tak yakin menceritakan masa lalu Alta kepada Raga. Tapi sepertinya tidak ada dampak buruk kalau ia cerita.

"Waktu umur 9 tahun Alta pernah kecelakaan. Amnesia permanen. Dia ga bisa inget apapun waktu itu. Alta ga bisa inget kenangannya saat umur 9 tahun ke bawah, sampai sekarang. Itu yang pernah Alta ceritain ke gue" jelas Wiku.

Entah kenapa suasana di sana sudah tidak ada yang memanas. Amarah Wiku meluap entah kemana karena tiba-tiba teringat masa kecilnya dengan Alta. Dulu Alta yang pertama kali mengajaknya berbicara saat dirinya menjadi anak pindahan waktu SD. Alta juga yang menjadi teman pertamanya.

Alta yang selalu terlihat polos dan riang. Wiku langsung tertarik dengan Alta waktu itu. Percaya atau tidak Wiku waktu SD memiliki tubuh lebih kecil dari Alta. Karena itu pula dirinya sering menjadi objek bullying teman-teman sekelasnya.

Dan Alta yang akan selalu menjadi tameng pelindungnya. Alta selalu memarahi balik anak-anak yang mengganggunya, meski kadang berakhir ikut dibully. Wiku pikir Alta adalah anak yang pemberani dan tak takut apapun.

Setidaknya sebelum hari itu. Hari dimana Alta tak masuk ke sekolah selama seminggu penuh. Wiku mendatangi rumah Alta karena khawatir. Dan saat ia datang berkunjung, ia menemukan Alta yang membuka pintu rumah dengan lebam membiru di sekujur tubuh dan wajahnya.

Ekspresi Alta waktu itu masih teringat jelas di kepalanya. Ketakutan, keputusasaan, dan kepedihan. Sejak saat itu Alta lebih banyak diam. Alta tak seriang sebelumnya. Dan Alta tak pernah bercerita apapun soal luka-lukanya padanya.

Tiga tahun kemudian barulah Alta menceritakan semuanya. Alasan kenapa sifatnya berubah drastis. Itu semua karena Papa Alta. Wiku tak sanggup harus mengingat kata-kata Alta hari itu. Benar-benar sangat menyakitkan.

Sekarang Wiku jadi merasa bersalah karena harus menambah luka lagi bagi Alta.

...

Dini hari Alta terbangun. Merasakan sekujur tubuhnya sakit dan nyeri seperti habis ditimpa batu berton-ton. Semuanya sakit, kepalanya berdenyut.

"Ugh!" Alta meringis sambil menekan perutnya yang tiba-tiba sakit. Rasanya melilit. Sesuatu seperti bergerak ingin keluar dari mulutnya.

Alta ingin muntah.

Ia menutup mulutnya mencegah agar tak muntah di ranjang. Tubuhnya yang sakit ia paksakan untuk berdiri menuju ke kamar mandi. Dengan langkah tertatih berusaha secepat mungkin ke kamar mandi di sebelah kamarnya. Begitu sampai ia langsung jatuh terduduk di depan closet dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Hoek! Ukh—"

Alta terus muntah. Hanya cairan keruh yang keluar dari mulutnya. Rasanya pahit. Perutnya benar-benar sakit. Wajah Alta memerah dengan air mata yang menetes.

"Hhah... hahhh..."

Setelah beberapa saat rasa mualnya mereda. Alta bersandar di samping closet dengan nafas yang terdengar berat. Wajahnya pucat pasi. Kepalanya semakin pening sekarang.

Ia menatap tubuhnya yang baru ia sadari, dirinya tak memakai sehelai kain apapun. Tubuhnya telanjang bulat dengan bekas memar di sana-sini. Pantas saja terasa dingin. Potongan ingatan tak jelas mulai memasuki pikirannya. Semuanya mulai bisa Alta ingat dengan samar.

Tentang Raga dan...

Wiku.

"Astaga... apa yang udah gue lakuin..." parau Alta. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Alta merasa sangat buruk sekarang. Apa yang sudah ia lakukan dengan Wiku tadi. Alta tak sanggup memutar ingatannya lagi.

"Kenapa jadi kaya gini..."

Suara Alta melirih. Ia memeluk lututnya sendiri.

"Kenapa harus Wiku..."

Lagi, Alta menangis. Air matanya turun deras tanpa diminta. Isakan-isakan memilukan memenuhi kamar mandi.

Brakk

"Alta lo di sini?"

Wiku datang membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Ekspresinya yang panik langsung berubah lega begitu melihat Alta yang meringkuk di samping closet. Wajah Alta yang terdongak menatapnya penuh dengan air mata. Hati Wiku teriris melihatnya.

"Ta, lo oke?" tanyanya dengan nada lembut. Wiku berjalan mendekati Alta dan baru sadar kalau wajah Alta begitu pucat.

"Jangan deketin gue..." lirih Alta.

Wiku tak menurutinya. Ia mengambil dua handuk untuk menutupi tubuh telanjang Alta. Direngkuhnya tubuh lemah itu dengan pelan.

"Jangan sentuh gue, Wi... gue kotor! Gue sampah!" Alta memberontak meskipun percuma.

Wiku menggeleng dan mengeratkan pelukannya pada Alta. Ia bisa merasakan tubuh dalam pelukannya itu bergetar. Tangan kanannya bergerak mengelus pucuk kepala Alta.

"Lo ga kotor, Ta! Lo bukan sampah! Jangan bilang kaya gitu, oke?"

Tangannya terus mengelus kepala Alta. Menenangkan Alta yang menangis di dadanya. Hal itu berlangsung selama belasan menit sampai akhirnya Alta tenang. Wiku menunduk, menatap wajah Alta.

"Lupain yang terjadi hari ini" pinta Wiku. Ia mengusap air mata Alta.

Wiku kemudian menggendong Alta berdiri. Satu tangannya di punggung Alta dan satunya lagi di bawah kaki Alta. Kepala Alta bersandar pada dadanya. Wiku lantas berjalan keluar kamar mandi. Ia sempat melirik kearah Raga yang berada di ruang tengah. Tatapannya menajam seolah menguliti Raga.

Langkah Wiku berjalan menuju kamar Alta lagi. Ia sempat panik tadi karena tak menemukan Alta di sana. Wiku mendudukkan Alta di atas ranjang. Ia lantas berjalan menuju lemari Alta untuk mencari pakaian. Sebuah piyama biru berlengan panjang menjadi pilihannya.

Wiku membantu Alta memakai piyama tersebut. Dengan hati-hati ia memakaikan bagian atas dan celananya. Ia meringis saat melihat kembali memar di sekujur tubuh Alta.

"Lo mau makan sesuatu?" tanya Wiku sambil berjongkok di depan Alta yang sudah selesai berpakaian. Kedua tangan besar Wiku menggenggam tangan Alta.

Alta menatap Wiku sejenak. Ia kemudian menggeleng pelan. Tangannya yang digenggam Wiku ia tarik.

"Biarin gue sendiri" pintanya.

Wiku mengangguk mengerti. Ia tak memaksa. Alta butuh waktu sendiri sekarang. Ia melangkahkan kakinya keluar kamar Alta, meninggalkan Alta sendirian.

Alta meringkuk kembali di ranjangnya. Seluruh tubuhnya ia tutupi dengan selimut. Alta tak tidur, ia hanya diam dengan mata yang masih terbuka. Terlalu banyak yang Alta pikirkan sekarang. Dan rasanya ia tak akan mampu menatap wajah Wiku lagi setelah hari ini.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Ku jelasin lagi ya, kalian ga akan digantung sama Alta. Cerita ini udah hampir tamat aku ketik, kurang 3-5 chapteran. Dan kalo UP 2x 1 hari, awal maret bisa aja udah end (jika sesuai rencana)

Yang aku khawatirin itu kalian, takutnya ga kuat kalo aku keseringan UP. Cerita ini emang agak dark, dan itu plan aku dari awal. Ku udah kasih warning di deskripsi cerita buat siapin mental sebelum baca
ಥ‿ಥ

Tapi Alta bahagia kok, tenang aja. Dan yang terjadi disini bukan tanpa sebab. Emang udah takdirnya Alta (. ❛ ᴗ ❛.)
_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro