43 | Mama Nora

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🔞 WARNING 🔞

Part ini mengandung unsur seksualitas, LGBT, kekerasan, paksaan, pemerkosaan, kata-kata vulgar, dan lain sejenisnya. Tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun.

[pythagoras]

.

.

.

.

Kamar Alta.

Ruangan itu kini benar-benar sangat berantakan. Benda-benda seperti buku, lampu belajar, kursi yang biasanya untuk Alta belajar, semua berserakan tidak di tempat semestinya. Dan yang paling parah, pakaian yang berceceran di lantai.

Hendery, pria itu duduk di ujung ranjang dan hanya memakai celana panjangnya. Dada bidang dan otot tubuhnya terlihat sangat menonjol dan jelas karena tak ditutupi apapun. Tatapan tajamnya mengarah pada sosok yang terbaring di atas ranjang.

Sosok dengan sekujur tubuh penuh luka. Yang hanya memakai kaos putih tanpa bawahan. Tubuh setengah telanjang itu terbaring mengenaskan di atas ranjang. Keringat bercampur cairan lengket dimana-mana. Sosok yang tak lain adalah...

Alta.

Yang usahanya ingin kabur harus dipupus oleh Hendery. Anak malang yang harus kembali merasakan neraka buatan orang yang selama ini ia panggil Papa.

"Alta, anak kesayangan Papa. Mau sampai kapan kamu tidur?" ucap Hendery dengan nada suara yang terdengar manis.

Pria bertubuh tinggi itu bangkit dari duduknya. Berjalan ke sisi lain ranjang untuk melihat sang 'anak kesayangan' yang masih betah memejamkan mata. Tangan besarnya menepuk pipi Alta beberapa kali hingga timbul kernyitan halus dari wajah Alta.

"Hey, ayo bangun!"

Tepat setelah Hendery berucap, mata Alta terbuka. Sangat sayu dan kosong, seperti tak memiliki tenaga. Dan faktanya memang begitu. Hanya untuk membuka mata, Alta memerlukan tenaga lebih. Entah sudah berapa jam ia tertidur. Sakit di sekujur tubuhnya langsung terasa begitu kesadarannya terkumpul.

"Papa belum selesai menghukum kamu, kenapa kamu tidur, hm?" ucap Hendery dengan senyum di bibirnya. Tangannya bergerak merabah pinggang Alta dan perlahan turun ke belahan pantat yang merah penuh lebam tersebut.

"Ngh..."

Erangan lirih dari Alta terdengar saat Hendery sengaja memasukkan dua jarinya ke lubang yang masih meneteskan cairan dari dalamnya. Nafas Alta tercekat begitu Hendery merenggangkan jari-jarinya dan menyentuh semua titik lembut di dalam. Kedua tangan Alta mencengkeram sprei ranjangnya dengan kuat. Tubuhnya sudah tak bisa diajak untuk berontak lagi.

"Ayo kita lanjutkan yang tadi... Alta mau 'kan?"

Hendery melirik wajah Alta sekilas. Anak itu meneteskan air matanya sambil menggeleng lemah. Ia lantas mengeluarkan jarinya dari lubang anus Alta. Kemudian menarik tubuh Alta untuk terlentang dari posisinya semula menyamping.

"Kenapa kamu ga mau? Bukannya main sama Papa menyenangkan? Lihat ini, lubang kamu bahkan masih bisa berkedut saat sudah selonggar ini"

Kedua tangan besar Hendery melebarkan kaki Alta. Membuat ia bisa leluasa melihat penis dan lubang milik Alta. Ia membuka kembali resleting celananya dan mengeluarkan penisnya sendiri yang mulai mengeras. Kedua lengan Hendery menahan kaki Alta agar tetap terangkat.

Jleb!

"Hnghh! Ekhh..."

Alta mengernyit kesakitan dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Lubang yang masih sangat sakit kembali harus dimasuki benda besar tersebut.

"Oh! Kamu lihat? Punya Papa bahkan langsung masuk semua saking longgarnya lubang kamu" Hendery terkekeh.

"Sa-sakit... hiks, sa..ngat sakit... hiks" tangis pilu Alta. Tangan kanannya menekan pelan perut bawahnya yang tertutupi kaos. Bagian disana terasa melilit.

Hendery mencondongkan tubuhnya hingga hanya berjarak beberapa centi dari wajah Alta. "Ssst~ Ini akan baik-baik aja, okay? Anak kesayangan Papa ga boleh nangis" ujarnya dan mengusap air mata Alta dengan ibu jarinya.

"Kamu tau 'kan, anak nakal itu harus dapat hukuman. Papa ga suka kalau anak kesayangan Papa ini nakal. Kemanapun kamu pergi, kamu harus izin dulu sama Papa..."

Pinggang Hendery mulai bergerak maju mundur secara perlahan. Suara benturan antar kulit kembali terdengar di kamar tersebut.

"Be-berhenti, ahh! Alta janji g-ga akan nakal lagi... enghh" mohon Alta.

"Sungguh? Tapi Papa ga bisa percaya kamu begitu saja..." ucap Hendery dan mempercepat gerakannya.

"Ahh! Enghh... hhahh, s-stop ahh!"

"Berhenti merengek dan jangan mendesah! Papa mau kamu diam"

"Anghh... hn ahnhh..."

Bukannya diam, desahan Alta makin intens keluar karena penis Hendery yang menuju semakin dalam. Hendery yang geram membungkam mulut Alta dengan tangannya. Rahangnya mengeras dengan kernyitan di dahi saat merasakan penisnya semakin dihimpit lubang Alta di bawahnya. Benda itu siap mengeluarkan isinya.

Splurrh...

"Empphh!" pekikan Alta tertahan saat cairan hangat itu menyembur keluar memenuhi lubangnya. Perutnya benar-benar terasa penuh.

"Hahh... Kalau Papa suruh diam, kamu seharusnya diam" ucap Hendery.

Pria itu menundukkan kepalanya di sebelah kepala Alta untuk mengambil nafas. Tangannya masih senantiasa membungkam mulut Alta yang kini menangis. Tubuh anak itu bahkan tak mampu untuk banyak bergerak. Dengan kaki yang mengangkang lebar dan penisnya yang masih di dalam. Hendery mempertahankan posisi itu cukup lama.

"Kamu bilang kalau menginap di rumah teman kamu selama ini. Siapa tadi namanya, em.... ah, Wiku? Papa benar 'kan?" ucap Hendery sambil melirik Alta dengan ekor matanya.

"Wiku. Dia teman kamu dari SD, iya 'kan? Kalian seharusnya sangat dekat. Gimana kalau Papa bunuh anak itu?"

Tubuh Alta menegang mendengar itu. Matanya yang bergetar mencoba menatap wajah di sampingnya. Hendery tengah tersenyum.

"Kenapa? Kamu ga mau kalau Papa bunuh anak bernama Wiku itu? Kalau gitu kamu harus nurut sama Papa. Jadi anak yang baik, mengerti?"

Hendery menatap wajah Alta dengan intens. Melepaskan tangannya dari mulut Alta dan menunggu jawaban dari anak tersebut.

"Jawab Papa!"

"Me-mengerti..." tenggorokan Alta seperti tercekat hanya untuk mengucapkan satu kata tersebut. Ia tak bisa lari lagi sekarang. Benar-benar tak bisa lari.

Hendery tersenyum seolah tak merasa bersalah sedikitpun. Tak ada belas kasih sama sekali pada anak di bawahnya. Dengan sangat santai ia mengelus rambut yang bermandikan keringat milik Alta.

"Anak pintar... Ah! Dan satu lagi. Jangan coba-coba untuk mencari keluarga kandung kamu kalau kamu masih ingin hidup! Papa ga suka itu, karena kamu sudah punya Papa yang sangat menyayangi kamu melebihi apapun"

Air mata Alta turun tanpa ia bersuara. Jiwa dan raganya kembali dihancurkan berkeping-keping sampai tak berbentuk. Hidupnya seolah memang hanya untuk derita yang dibuat orang yang menyebut dirinya Papa untuknya.

Hendery, benar-benar tak ingin membiarkan Alta pergi dari sisinya. Mengikat anak itu dengan sebuah ancaman yang tentu tak bisa ditolak mentah-mentah. Taruhannya adalah nyawa. Bukan hanya nyawa Alta, orang-orang di sekitar anak itu ia jadikan ancaman.

"Papa sayang kamu... ayo mandi sore bersama~"

...

Hendery menurunkan Alta yang selesai mandi di atas ranjang. Tubuh anak itu telanjang dan basah kuyup. Beberapa tetes air ikut membasahi sprei ranjang milik Alta. Hendery lantas menyelimuti tubuh itu dengan handuk dan berjalan untuk mengambil pakaian di lemari.

Terlihat seperti seorang ayah yang mengurus anak laki-laki kecilnya. Tapi yang sebenarnya terjadi tak sesederhana itu.

Lebam hasil karya Hendery hampir memenuhi seluruh permukaan kulit seputih susu tersebut. Terlihat lebar dan mulai membiru. Hendery mengeringkan tubuh Alta dengan handuk yang tadi ia berikan. Mengusap seluruh badan Alta hingga netranya berhenti pada tato di dada Alta.

Tatapan tidak suka terilhat dari mata Hendery.

"Kalau bisa, Papa ingin hapus tato ini dari badan kamu. Setiap lihat tato itu Papa akan selalu teringat sama keluarga kandung kamu. Mereka itu iblis, bukan manusia..."

Hendery terus mengucapkan kata-kata kebenciannya terhadap 'mereka' yang dimaksud sebagai keluarga kandung Alta. Seolah mereka sangat buruk dan tak layak menjadi keluarga Alta. Padahal sendirinya lebih buruk dari iblis sekalipun.

"...kamu mau lihat sesuatu?" tanya Hendery saat selesai memasangkan pakaian pada Alta. Hanya kerjapan mata yang Alta berikan.

Pria itu kemudian pergi keluar dari kamar Alta sejenak. Dan kembali sambil membawa selembar kertas kecil. Sebuah foto. Hendery menaruh foto tersebut di tangan Alta.

"Itu kamu dan Mama kandung kamu. Foto ini Papa ambil sewaktu kecelakaan yang menimpa kamu dulu" jelas Hendery.

Alta terus menatapi foto di tangannya. Foto berukuran 4R itu ada seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang. Kulit putih dan senyum yang sangat menawan. Memakai sebuah dress putih pendek. Wajahnya tampak asing diingatan Alta.

Tapi melihat sosok anak kecil di samping sang wanita, Alta langsung mengenalinya. Itu adalah dirinya saat kecil. Memakai setelan kemeja putih lengan pendek dan celana pendek berwarna hitam. Senyum yang sama persis dengan sang wanita terkembang. Alta baru menyadari kalau wajah kedua orang di foto itu sangat mirip.

"Wajah kalian berdua mirip di foto itu. Dan sekarang, wajah kamu semakin mirip dengan Mama kamu. Dia wanita yang cantik dan baik" senyum berbeda Hendery tunjukkan saat melihat foto yang dipegang Alta. "Kamu boleh simpan foto itu"

Hendery mengusak rambut Alta sebelum meninggalkan kamar Alta. Tinggal lah Alta sendiri. Masih mematung menatap foto tersebut. Air matanya menggenang.

"Mama..." lirih Alta. Jari tangannya mengusap tepat pada wajah sang 'Mama' di foto. Ia membalik foto tersebut dan menemukan dua buah nama.

'Mama Nora & Joan'

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Papa Hendery tuh belum bisa move on sama masa lalu

Alasan jadi terlalu obsess sama Alta, karena ga bisa dapetin Mamanya. Dan Alta itu duplikat Mamanya

And yeah, Joan is Alta.

Oh, kalian udah pada tau kan. Pertama kali Alta gituan di umur berapa?
_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro