44 | Ikatan Terikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Pagi-pagi sekali, Wiku langsung meluncur ke rumah Alta. Alasannya tentu karena ia ingin melihat keadaan Alta yang tak diketahuinya sejak kemarin. Saat Wiku datang kemarin, berniat untuk memberikan surat izin yang diberikan Kenzo, rumah Alta sepi. Tak ada yang menjawab panggilannya apalagi membukakan pintu.

Semangat Wiku yang sempat berkobar sebelum datang, harus sedikit terganggu karena sosok 'setan' yang juga ikut datang kesini.

"Lo kenapa datang ke sini?" ketus Wiku. Mata tajamnya menyipit tidak suka menatap Raga yang tengah berdiri di sampingnya.

"Lo sendiri ngapain di sini?" balas Raga.

"Gue mau ketemu Alta, lah. Lo yang ga berkepentingan ngapain ke sini"

Raga menggulirkan matanya malas, tak lagi meladeni ucapan Wiku. Ia mulai melangkah melewati halaman rumah Alta dan berdiri tepat di depan pintu. Wiku mengikuti di belakang. Niat Raga menekan bel rumah berhenti saat pintu di depannya tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok Alta yang memakai seragam sekolah.

"Alta!" panggil Wiku. Alta langsung mengangkat wajahnya. Menatap dua orang di depannya secara bergantian. "Eh, pipi lo kenapa?" tanya Wiku khawatir begitu melihat lebam pada pipi Alta.

Alta langsung memundurkan langkahnya saat Wiku berniat menyentuhnya. Ia menghindari tatapan dua orang di depannya dengan kembali menunduk.

"Kenapa masih berdiri di sini? Papa 'kan suruh kamu tunggu di mobil..." Hendery datang dan berdiri di belakang Alta. Mata tajam pria itu kemudian mengarah pada dua anak remaja yang menatapnya dengan dua pandangan berbeda.

"Kalian kenapa di rumah saya?" suara berat Hendery terdengar mengintimidasi.

Wiku balik menatap tajam. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Apa om yang udah pukul Alta?"

"Oh, ya! Memangnya kenapa? Alta saya pukul karena berbuat kesalahan" jawab Hendery dengan gamblang.

"Om udah ga—"

"Kalian kalau tidak ada kepentingan lebih baik pergi dari rumah saya! Alta, kamu cepat ke mobil Papa!" ujar Hendery memotong ucapan Wiku.

Begitu diperintah Alta langsung melangkah pergi. Tapi lengannya lebih dulu ditahan oleh Raga. Hendery menatap itu dengan dingin. Matanya bergulir menatap wajah dengan ekspresi datar yang memegangi anaknya. Raga membalas tatapan itu sama dinginnya. Seolah tak ada rasa takut sama sekali pada pria bertubuh tinggi tersebut.

"Lepaskan tangan anak saya!" perintah Hendery penuh penekanan. Tapi Raga masih mempertahankan tangannya. Sontak Hendery bertindak. Ia mencengkeram tangan Raga dan menariknya hingga terlepas dari Alta. "Ke mobil, tunggu Papa di sana" ujarnya pada Alta.

Alta kembali melanjutkan langkahnya dengan terseok-seok menuju mobil sang Papa yang masih ada di garasi. Tatapan Wiku dan Raga tak luput dari hal tersebut.

"Kalian berdua ikut saya!" ujar Hendery lalu menarik Wiku dan Raga keluar dari halaman rumahnya.

Dari dalam mobil, Alta masih bisa mendengar teriakan Wiku yang memanggil namanya. Anak itu terus berontak ingin kembali masuk ke dalam rumah. Alta hanya terus memperhatikan tanpa melakukan apapun sampai Hendery kembali.

"Siapa anak satunya?" pertanyaan pertama yang Hendery tujukan saat memasuki mobil. Melihat raut bingung Alta membuat Hendery kembali berucap. "Anak yang teriak-teriak tadi, itu Wiku 'kan? Yang wajahnya datar, itu siapa?"

"Raga... teman sekelas" jawab Alta.

"Oh!" respon Hendery. Pria itu kemudian menyalakan mobil dan keluar dari area rumah. Dua anak yang sudah ia usir masih bertahan di depan rumah. Hendery tak peduli dan menginjak gas mobilnya pergi.

...

Pelajaran Matematika sedang berlangsung. Seorang guru laki-laki tengah menjelaskan materi Turunan Fungsi di papan tulis. Kelas lumayan damai kecuali pada barisan belakang.

Wiku, sejak awal pelajaran berlangsung terus saja merecoki Alta dengan pertanyaan-pertanyaannya seputar, apa yang terjadi dengan anak itu. Kenapa ada memar di pipi Alta. Apa yang terjadi pada kaki Alta sampai jalannya sedikit pincang.

"Altaaaa..." panggil Wiku.

Sejak datang ke sekolah tadi, dirinya tak digubris oleh Alta sama sekali. Dan sekarang Alta bahkan lebih memilih tidur mengabaikannya yang sejak tadi gaduh sendiri. Wiku begitu karena khawatir. Garis bawahi itu.

"Ta, kalo lo ga jawab gue bakal terus panggil nama lo!" ucap Wiku. Tangannya menggoyang pundak Alta di atas meja.

"Alta! Alta! Alta! Altaa! Al—"

Ctakk!

Sebuah bolpoint terbang mendarat tepat di dahi Wiku dengan sangat keras. Dahi yang tertutupi rambut tersebut sontak memerah. Tatapan Wiku langsung menyorot pada sang pelaku yang sedang berpangku tangan menatapnya.

"Bisa diem ga lo?" ucap Raga. Sang pelaku.

Wiku berdecih, ia mengambil bolpoint yang tadi mengenai dahinya dan mengambil ancang-ancang untuk melempar kembali benda tersebut. Dengan segenap rasa dendam Wiku melempar benda itu pada Raga. Tapi sayang sekali Raga mampu menghindarinya.

"Sialan, awas lo..." gerutunya.

Alta yang berada di tengah keributan tersebut merasa terganggu. Di tambah kepala pening yang ia rasakan sejak tadi. Ia mengangkat tubuhnya dari meja, membuat perdebatan Wiku dan Raga terhenti. Dua orang itu langsung menatap Alta.

Grekk...

Suara kursi yang di dorong mundur terdengar jelas. Alta langsung menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Ia berdiri sambil menatap guru laki-laki di depan papan tulis.

"Pak! Saya izin ke UKS karena ga enak badan..." ucap Alta meminta izin.

"Oh, silakan Alta!" timpal sang guru dengan ramah dan kembali menulis sesuatu di papan tulis.

Alta melangkah pergi dengan sedikit tertatih. Kaki yang kemarin terkilir masih sakit, itu sebabnya. Tapi langkahnya langsung terhenti saat Raga memengangi tangannya. Kedua mata mereka bertemu. Tatapan datar Raga dan tatapan tidak suka dari Alta. Tak ada kata terucap. Alta menarik tangannya tak peduli dan kembali berjalan keluar kelas.

...

Keadaan UKS sepi, hanya ada seseorang yang biasa menjaga tempat tersebut. Alias dokter UKS.

Pria muda itu langsung meninggalkan buku yang ia baca begitu melihat sosok Alta yang berdiri di ambang pintu. Ia buru-buru mendekat dan membantu Alta yang kesusahan berjalan ke brankar UKS. Anak itu meringis di setiap langkahnya. Begitu Alta sudah duduk di brankar ia berjongkok di depannya. Tangannya dengan cekatan melepas sepatu yang membungkus kedua kaki Alta.

"Oh, astaga..." kejut si dokter UKS saat melihat kaki kiri Alta yang membengkak kebiruan. Tatapannya beralih menatap wajah Alta yang menahan sakit.

"Kenapa ga diobati dan malah dibiarkan sampai membengkak begini?" tanya sang dokter.

Alta menggigit bibirnya saat orang didepannya sedikit mengerakkan kakinya yang sakit. "Ga sempet ngobatin" jawabnya.

Si dokter berdecak dan berdiri. Ia menatap wajah Alta lama dengan fokus mengarah pada pipi yang memar. "Diam disini, biar saya obatin!" pinta pria muda itu.

Ia beranjak mengambil kotak obat di mejanya. Dan kembali mendekati Alta. Dokter muda dengan nametag Emanuel itu lebih dulu mengobati kaki Alta. Memberikan salep pada bagian yang membengkak dengan pelan. Kemudian melilitkan sebuah perban elastis di pergelangan kaki kiri Alta. Alta sedikit meringis saat itu.

"Tenang, sebentar lagi selesai..." ucap Emanuel menenangkan saat mendengar pekikan sakit Alta. Selesai dengan kaki, kini Emanuel beralih pada memar di pipi Alta.

"Waktu itu kamu kesini karena demam tinggi, sekarang juga demam ditambah kaki keseleo" ujar Emanuel membuat kernyitan di dahi Alta.

"Waktu itu?"

"Iya, kamu kesini dibawa anak laki-laki tinggi. Kalau ga salah namanya Raga" ujar Emanuel, tersenyum puas begitu selesai menempel plester luka di pipi Alta. Ia menatap Alta yang terlihat bingung dengannya. "Kamu bisa panggil saya Kak Manu, kita cuma beda 5 tahun"

Tangan Emanuel tanpa ragu menyentuh kening Alta membuat Alta terkejut. Tapi Alta tak menghindarinya.

"Tuh 'kan, panas. Tiduran saja di sini abis minum obat ini" Emanuel menyerahkan satu tablet paracetamol kepada Alta. "Udah makan, 'kan?"

Alta menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Emanuel lantas memberikan segelas air untuk membantu Alta meminum obatnya. Setelah minum tubuh Alta di dorong Emanuel untuk berbaring di brankar.

"Sekarang tidur, kalau butuh apa-apa saya ada di meja saya" ujarnya.

Meski merasa sedikit aneh dengan sikap dokter UKS di depannya, Alta tetap mengucapkan terima kasih. Ia segera menutup mata begitu Emanuel pergi. Tubuhnya memang butuh tidur untuk sekarang.

Emanuel, pria muda itu duduk di kursinya sambil sesekali menatap kearah brankar. Ia melanjutkan membaca bukunya sambil berjaga. Cukup lama hanya ada keheningan, sampai suara bel istirahat kedua berbunyi. Waktunya makan siang. Emanuel berencana membangunkan Alta untuk makan siang, tapi melihat wajah damai itu tidur niatnya urung.

Matanya menatap lama wajah tersebut. Sebuah senyum terkembang dengan tangan mengelus pucuk kepala Alta. Senyumnya sedikit pudar begitu melihat plester luka yang menutupi memar di pipi anak itu. Ekspresinya berubah sedih dan marah dalam satu waktu.

"Joan, kamu bertahan sebentar lagi ya" gumamnya dengan sangat pelan.

Ia lantas melepas jas putihnya dan beranjak keluar UKS untuk makan siang. Saat di depan UKS ia dikejutkan oleh dua anak laki-laki yang tiba-tiba datang. Satu dari mereka adalah yang mengantar Alta waktu itu.

"Kalian ada perlu apa kesini? Ada yang sakit?" tanya Emanuel.

"Cuma mau jenguk temen aja..."

Emanuel menatap anak yang menjawabnya. Ia melirik nametag yang tertera. Zosimo Wiku A. Ah, itu nama yang familiar.

"Jenguk Alta?"

Wiku mengangguk. Satu lagi anak yang lain, Raga. Emanuel yakin anak itu kesini juga mau menjenguk Alta meski tak mengatakan apapun.

"Dia masih tidur abis minum obat penurun panas. Jangan terlalu banyak suara di dalam"

"Oke! Makasih em..." Wiku menggantung kalimatnya.

"Panggil kakak saja. Kak Manu"

"Oke, makasih Kak Manu" ulang Wiku sambil tersenyum. Emanuel membalas dengan senyum juga.

"Kalau gitu saya permisi mau makan siang dulu. Ingat jangan ramai-ramai!" ujarnya sebelum berjalan pergi. Emanuel berhenti di langkah ke sepuluh sambil menatap sekilas kearah UKS lagi. Dua anak tadi sudah masuk. Ia kemudian melanjutkan langkahnya ke kantin. 

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Oho, welcome Emanuel~

Oh ya, cerita ini udah TAMAT di aku, di sini tinggal publis aja. Jadi ku ga bisa ubah jalan ceritanya lagi...

Alta di sini emang bakalan dark banget, tapi aku jamin ending buat Alta itu udah yang terbaik

Kalian yang ga kuat, ga apa-apa angkat tangan ( ꈍᴗꈍ)

Tentang ku kenapa sekejam itu sama Alta, bakal ku jelasin di ending. Kalo ga lupa
ಡ ͜ ʖ ಡ

...

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro