58 | Rasa Takut Kehilangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Ruangan yang cukup luas, terdapat satu ranjang lama yang masih bisa dipakai. Sebuah meja tak jauh dari ranjang. Barang-barang bekas yang tak terpakai banyak tertumpuk di sana.

Langkah Raga menuju pada ranjang lama miliknya. Ia menatap sosok yang memeluk lutut di atas ranjang.

"Lo ga laper dari kemarin ga makan?" tanya Raga.

Ia bertanya bukan tanpa alasan. Piring nasi yang seharusnya menjadi sarapan pagi masih utuh di depan sosok tersebut. Tak terlihat berkurang dari porsi yang ia ambilkan tadi pagi. Bahkan air minum yang ada di meja tak bergeser sedikitpun.

"Gue ga mau! Gue mau mati!? Kenapa lo nolongin gue, hah?!"

Sosok itu mengangkat kepalanya. Wajah tanpa rona dengan bibir pucat, mata sayu yang masih bisa menatap tajam kearah Raga.

"Buka mulut lo! Lo harus makan!" Raga mengangkat satu sendok nasi dan mengarahkannya ke depan.

"GUE GA MAU! GUE BILANG GUE GA MAU!"

Prangg!

Sendok dan piring yang Raga pegang terhempas begitu saja. Membentur lantai kemudian pecah berantakan. Emosi Raga tersulut karena itu.

"ALTA!?" bentak Raga.

Secara tak sadar ia menarik kaos miliknya yang dikenakan Alta. Mata keduanya bertemu. Bola mata kelam milik Alta menatap penuh benci kearahnya. Itu membuat Raga melunak. Tatapan itu menyakitinya, sungguh.

"KENAPA? Lo harusnya seneng kalo gue mati! Lo puas 'kan, gue dipermaluin satu sekolah. Mereka anggap gue gay, pelacur, jalang homo!"

"Ta, stop!"

Alta tak mendengarkan Raga dan terus bicara. "Kenapa ga lo sebar sekalian rekaman waktu itu, hah? Biar mereka semua tau kalo seorang Alta juga ditiduri Papa-nya sendiri!"

"Alta, jangan bicara lagi. Lo harus makan, biar lo ga sakit" ucap Raga pelan sambil melepas genggamannya pada kaos yang dipakai Alta.

"Buat apa lo peduli kalo gue sakit? Biarin gue sakit. Biar gue cepet mati!"

"Lo ga boleh mati! Lo harus tetap hidup, Alta!"

Kedua alis Alta menyatu mendengar itu. Ucapan yang bahkan tak pernah ia sangka bisa keluar dari mulut seorang Raga.

"Kenapa gue harus hidup? Gue ga punya alasan buat hidup di dunia ini lagi!" genangan air mata mengembun di mata Alta. Ia menatap Raga yang juga menatapnya. Tatapan yang jauh berbeda dari pertama kali dirinya terlibat dengan sosok gila tersebut.

"Lo punya alasan sekarang. Gue mau lo hidup. Itu udah cukup jadi alasan lo buat hidup"

Alta tertawa, tawa hambar. "Buat apa lo mau gue hidup? Biar lo bisa nyiksa gue kaya yang lo lakuin selama ini? Jadiin gue budak seks lo dengan alasan mau balas dendam karena kematian kakak lo? Gue bahkan ga pernah kenal sama kakak lo..." Alta berucap dengan nafas yang memburu. Wajahnya sudah memerah menahan tangis.

"...kalo lo mau balas dendam, lo cukup bunuh gue aja! Jangan bikin gue menderita kaya gini?! Gue udah muak sama orang-orang kaya kalian semua..."

Grepp...

Raga merengkuh tubuh itu pada pelukannya. Memeluknya dengan sangat erat. "Jangan terusin. Gue ga akan nyakitin lo lagi, gue janji..."

Tubuh Alta bergetar dalam pelukan Raga. Air matanya sudah mengalir deras. Kedua tangannya ia gunakan untuk memukuli tubuh Raga agar melepaskan pelukannya.

"Lepasin gue! Gue ga akan percaya sama omongan orang kaya lo! Pergi! Jangan sentuh gue! Gue benci sama lo!"

Bukan Raga namanya kalau penurut. Dekapannya semakin erat pada tubuh Alta. Mengusap punggung bergetar tersebut dengan lembut. Membiarkan Alta memukul tubuhnya dengan tenaga yang tak seberapa. Ia benar-benar tak ingin kehilangan Alta.

"Lepasin gue... gue benci sama lo..." lirih Alta.

"Lo harus makan"

Merasa Alta sudah tak seberontak tadi, Raga mulai melonggarkan pelukannya. Alta yang tiba-tiba diam membuatnya merasa aneh. Tangannya memegang pundak Alta dan menjauhkan dari tubuhnya untuk melihat keadaan anak itu.

Dan seketika mata Raga membola saat melihat darah mengalir dari hidung Alta. Diangkatnya tubuh Alta untuk bersandar pada kepala ranjang.

"Tunggu, gue cari tisu" Raga pergi keluar setelah mengucapkan itu.

Alta hanya diam menatap tetesan darah yang mulai mengotori kaosnya. Tubuhnya benar-benar lemas ditambah rasa berdenyut kepalanya yang kembali muncul.

Raga kembali dengan cepat membawa satu box tisu. Mengambil beberapa lembar dan menutup hidung Alta dengan itu. Ia merengkuh kembali tubuh Alta untuk bersandar padanya. Tangannya yang memegang tisu memencet hidung Alta untuk menghentikan mimisan yang terjadi.

"Nafas lewat mulut..."

Alta menurut, dan beberapa kali mengernyit saat kepalanya berdenyut. Raga yang dengan telaten mengusap darah mimisan Alta dan menahan tubuh Alta agar tak limbung.

"Bilang sama gue apa yang sakit?" tanya Raga. Alta yang menggeleng membuatnya mendesis.

Ia biarkan saja Alta dengan keras kepalanya. Setelah darah mimisan yang berhenti mengalir, Raga membuang tisu dengan bekas darah tersebut. Mimisan Alta menghabiskan hampir setengah tisu box yang ia bawa. Tentu itu bukan hal yang baik.

"Gue ambilin makan lagi, kali ini lo harus bener-bener makan!"

Raga kembali keluar setelah membaringkan tubuh Alta pada ranjang. Meninggalkan Alta dengan pikiran yang berkecamuk. Bola mata hitam itu menatap kosong langit-langit di atas.

Kenapa Raga tiba-tiba peduli padanya?

Apa lagi yang sedang direncanakan Raga?

Kenapa Raga ingin dirinya hidup?

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya memenuhi benak Alta.

...

Alta tertidur pulas setelah makan makanan yang ia ambilkan untuk kesekian kalinya.

Ya, akhirnya Alta mau makan meskipun dengan banyak paksaan darinya yang harus banyak-banyak menahan emosi. Tidak sampai setengah dari makanan yang ia ambilkan dimakan oleh Alta. Tapi setidaknya perut Alta tidak kosong. Dan sekarang anak itu bisa tidur tenang karena obat tidur yang juga ia campurkan pada makanan.

Tatapan Raga tak pernah lepas pada wajah tidur Alta. Ia ikut berbaring di samping setelah mengganti seragam sekolahnya dan juga kaos Alta yang terkena mimisan.

"Lo harus hidup, Ta. Lo ga boleh mati..."

Raga menempelkan keningnya dengan kening Alta. Membuat jarak wajah mereka berdua menjadi sangat dekat. Ia memeluk tubuh Alta di bawah selimut tebal dengan posesif. Seolah tak membiarkan Alta jauh darinya.

"Gue ga akan nyakitin lo lagi. Gue mau sembunyiin lo dari mereka yang bakal nyakitin lo lebih parah..." tangan Raga terangkat menyentuh sisi wajah Alta. Mengelus pipi pucat itu dengan lembut. "...mereka, keluarga gue, Papa angkat lo. Dan juga, dari keluarga kandung lo. Gue ga mau kalo lo diambil balik sama mereka"

"Gue mau... lo sama gue, selamanya..."

Raga memejamkan matanya. Merasakan hembusan nafas lembut dari Alta. Ia mengusap kepala Alta, dan berhenti saat merasakan sesuatu di sana.

Di kepala belakang Alta ada bekas luka jahitan. Ia baru sadar akan hal itu. Bekas itu terlihat lama. Dan tentu itu berbeda dengan luka yang sempat Alta dapat waktu diculik Papa dan kakaknya.

"Lo akan aman sama gue sekarang" ucap Raga dengan yakin. Ia mengecup kening Alta sebentar dan ikut tidur dengan memeluk tubuh Alta.

...

Raga terbangun tengah malam karena mendengar suara rintihan. Kedua matanya langsung terbuka lebar saat menyadari kalau suara yang ia dengar benar-benar nyata.

"Alta..."

Spontan ia bangun dari posisi tidur dan menatap Alta yang meringkuk disampingnya. Tubuh Alta bergetar dengan wajah yang tak tenang dalam tidurnya. Kernyitan yang terlihat jelas dan nafas yang memburu. Refleks tangannya menyingkap rambut Alta yang basah dan menyentuh keningnya.

Panas.

"Kenapa lo bisa tiba-tiba demam?" Raga bergumam.

Tangannya membuka selimut yang menutupi tubuh Alta dan mulai memeriksa. Sweater birunya basah karena keringat. Melihat tubuh Alta yang semakin gemetar, Raga langsung membawa Alta pada dekapannya.

"Lo kedinginan, Ta?"

Alta tetap menutup matanya dengan gumaman-gumaman tak jelas terus keluar dari bibir pucat tersebut. Tubuh yang lebih kecil itu mencari kehangatan dalam dekapan Raga.

"Mama..."

Satu gumaman yang cukup jelas bisa Raga dengar. Ia menautkan alisnya mendengar kata 'Mama' dari bibir Alta.

"Lo kangen Mama lo, Ta? Mama angkat lo? Yang bahkan ga pernah peduli sama lo?"

Raga kembali diam. Percuma ia bicara, Alta tak bisa mendengarnya. Demamnya terlalu tinggi bahkan untuk bisa membuka mata. Ia menarik selimut kembali dan menyelimuti tubuh Alta yang bersandar padanya. Mendekap erat tubuh tersebut agar tak kedinginan.

"Mama... jangan tinggalin Joan"

Kalimat yang Alta gumamkan kali ini membuat Raga tersentak sekaligus tak mengerti. Joan? Alta menyebut dirinya sebagai Joan. Tentu itu nama yang asing.

Ia menatap wajah Alta di bawahnya. Dan berganti pada tangan kanannya yang dipeluk erat oleh Alta. Tatapan Raga berubah sedikit gusar. Tiba-tiba, banyak pikiran buruk yang memenuhi otaknya. Ia jelas tau Alta pernah mengalami amnesia. Dan nama 'Alta' itu sendiri tentu bukan nama asli, melainkan pemberian keluarga angkat Alta.

"Joan? Itu nama asli lo, Ta?" Raga mengusap rambut Alta dengan tangan kirinya. Apa mungkin Alta mengingat masa lalunya? Tiba-tiba?

"Enggak... gue harap lo tetap lupa sama masa lalu lo. Gue ga mau lo pergi dari sisi gue!"

Raga menciumi pucuk kepala Alta. Mendekap tubuh itu seolah takut kehilangan. Ia benar-benar sudah sangat bergantung pada Alta. Tak ingin sosok itu pergi darinya. Hal yang berkebalikan dengan tujuan awalnya menemukan sosok Alta.

Balas dendamnya sudah tak lagi penting. Alta bukan pembunuh kakaknya. Ia ingin memiliki sosok Alta sepenuhnya. Untuk dirinya sendiri. Selamanya.

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Gimana cara Raga nemuin Alta?

Ponsel Alta, jangan lupa Raga pernah pasang aplikasi pelacak. Selagi ponsel itu sama Alta, Raga bakal tau dimanapun Alta berada

Kenapa Raga ngga kasih tau Wiku?

Terjawab di tiga kalimat terakhir chapter ini

...

Jujur mau punya yang kaya Raga satu aja, kalo mode posesif. Mode posesif aja tapi, jangan mode setan/reog
( ꈍᴗꈍ)

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro