59 | Menyerah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🔞 WARNING 🔞

Part ini mengandung unsur seksualitas, LGBT, kekerasan, paksaan, pemerkosaan, kata-kata vulgar, dan lain sejenisnya. Tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun.

[pythagoras]

.

.

.

.

"PERGI! JANGAN SENTUH GUE?!"

"Ta, lo masih demam"

"PERGI GUE BILANG! GUE BENCI SAMA LO!"

Untuk kedua kalinya Raga melihat Alta seperti itu. Berteriak histeris dan menatap ketakutan kearahnya. Pertama, di rumah sakit waktu itu dan sekarang di sini. Di rumahnya.

Alta meringkuk di pojok ruangan begitu bangun tidur. Dengan menyilangkan kedua lengan gemetarnya diatas kepala.

"Alta, gue beneran ga akan nyakitin lo lagi. Ayo, lo harus makan biar bisa minum obat!" Raga dengan perlahan berjalan mendekat. Mengikis jarak dengan Alta.

"Lo bohong... lo, lo pasti akan mukulin gue lagi. Maksa gue buat... buat lakuin itu sama lo" suara Alta bergetar. Ia takut setiap kali mengingat semua perlakuan yang pernah Raga lakukan padanya.

Semua hanya kenangan buruk.

Grepp...

"Gue bener-bener ga akan nyakitin lo lagi"

Tubuh Alta seketika membeku saat Raga tiba-tiba memeluknya. Tatapan mata ketakutan itu mendadak kosong. Nafasnya tercekat. Jantung Alta merespon brutal karena tindakan Raga. Ia lantas berontak, memukuli tubuh Raga. Mendorong tubuh besar itu pergi darinya. Tapi sia-sia.

"P-pergi... hiks... jangan se-sentuh gue..." Alta menangis.

Raga melepas tubuh Alta dari pelukannya. Ditatapnya wajah berurai air mata tersebut lekat-lekat. Beralih pada bibir pucat yang bergetar. Raga lantas menyatukan bibirnya dengan milik Alta.

Melumat bibir itu dengan lembut. Rasanya benar-benar berbeda dengan terakhir kali ia mencium Alta.

"Hmphh— empphh" pekikan tertahan dari Alta saat lidah Raga menerobos ke dalam mulutnya. Refleks matanya menutup dengan dahi mengernyit.

Raga terus melumat bibir Alta, bergulat dengan mulut yang ia dominasi dengan sempurna. Tangan kanannya terus menekan kepala belakang Alta agar ciuman mereka tak lepas.

Perlahan ia mengangkat tubuh Alta yang sudah tak berontak menuju ranjang. Merebahkan tubuh itu dengan posisi terlentang dengan dirinya berada di atas Alta. Ia melepas tautannya. Membiarkan Alta meraup oksigen.

"Engh... hahhh... hhahh..."

Wajah Alta memerah dengan mulut terbuka. Dengan mata sayu yang kembali kosong. Bibir pucat yang sedikit merah karena ciuman tadi. Melihat itu membuat Raga bisa merasakan bagian selatannya mulai mengeras.

"Ah, sialan..." umpatnya. Matanya menatap selangkangannya yang tertutup celana pendek, tepat di atas milik Alta. Miliknya mengembung di sana.

"Ta..." panggil Raga. Ia mengusap pipi Alta yang sedikit tirus. Anak itu tak merespon apapun. "Bantu gue kali ini. Gue janji, gue bakal pelan..."

"Enggak... jangan... lagi..."

Tangan besar Raga langsung menarik celana training yang dipakai Alta. Melepasnya hingga setengah tubuh Alta terpampang jelas. Kulit putih yang benar-benar sangat halus saat disentuh. Raga mengeluarkan penisnya dan menempelkannya dengan milik Alta. Perlahan tangannya bergerak mengurut dua benda tersebut.

"Nnghh..."

Alta melenguh.

Mendapat respon dari Alta, Raga melanjutkan aktivitas lainnya. Kepalanya menelusup pada sweater yang dikenakan Alta. Mulut dan tangan kirinya bermain di dada Alta. Memainkan dua puting merah muda di sana.

"Ahh... hngnh..."

"Together!"

"Enghhh!"

Raga mempercepat tangannya. Dua benda di sana sudah mengeras. Dan...

Splurshh!

Sperma yang keluar mengotori tangannya dan perut Alta. Ia keluar dari sweater Alta. Menatap wajah Alta yang terlihat lelah. Padahal ia baru menggunakan tangan. Belum kegiatan selanjutnya.

"Alta... lo masih sanggup 'kan?" tanyanya. Dan tetap sama, Alta tak menjawab. Hanya mata sayu yang mengerjap pelan.

...

Menyesal.

Ya, Raga sedikit menyesali tindakannya tadi. Bukannya membuat Alta makan untuk meminum obat, ia malah menyerang anak itu hingga sekarang kelelahan dan tertidur.

Keringat basah membuat beberapa rambut Alta menempel. Tubuh yang masih telanjang bulat itu kembali penuh dengan bekas merah miliknya. Sungguh, melihat wajah merah Alta dan mata sayu seperti tadi membuatnya kehilangan kontrol dirinya.

Kalau saja ia tak memaksa dirinya untuk berhenti, lubang Alta mungkin akan bengkak karena terus ia hajar habis-habisan. Ah, terlalu banyak hormon juga tidak baik ternyata...

"Gue harus pindahin lo dari sini. Ga mungkin lo di sini terus..." monolog Raga.

Raga lantas membalut tubuh telanjang Alta dengan selimut. Kemudian mengangkatnya menuju luar ruang bawah tanah tersebut. Raga membawa Alta ke kamarnya. Tempat yang lebih layak.

Ia menurunkan Alta di ranjangnya. Membersihkan tubuh penuh peluh tersebut dengan air hangat. Setelah bersih, Raga memakaikan Alta pakaian. Sweater cream beserta celananya. Ia lantas menyelimuti Alta sebatas dada.

"Gue mau keluar sebentar beli bahan makanan. Gue harap lo tetep tidur selama gue ga di sini" ucap Raga mengusap kepala Alta. Ia mencium kening Alta sebelum keluar.

...

"Kak Manu, masih belum ada informasi apapun dimana Alta?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Wiku dengan nada frustasi. Yang ditanya masih memberikan jawaban yang sama.

"Belum"

Keduanya langsung menghela nafas lelah. Alta seolah hilang dari muka bumi. Tak menemukannya dimanapun. Meski begitu mereka tak menyerah terus mencari. Mereka berdua yakin kalau Alta masih hidup.

Emanuel menatap Wiku sejenak. Wajah anak tinggi itu terlihat kuyuh dengan lingkar hitam yang sedikit terlihat di bawah mata. Tangannya spontan merangkul pundak Wiku dan menepuknya untuk memberi semangat.

"Alta pasti akan ditemukan. Jangan putus asa"

"Ya, Alta pasti akan ketemu..." timpal Wiku.

Emanuel tersenyum mendengar Wiku yang terlihat tak putus asa.

"Oh, omong-omong... Raga kemana? Beberapa hari ini ga kelihatan"

Wiku langsung mendengus mendengar nama Raga. Wajahnya berubah masam karena itu. Emanuel yang sadar hanya menatap bingung.

"Ga tau, ga jelas. Kak Manu ga usah ngurusin si setan itu. Dia ikutan ngilang sejak Alta ilang"

Tringgg...

Bel berbunyi, tanda istirahat kedua telah usai. Wiku yang mendengarnya langsung berdiri dari brankar UKS yang ia duduki. Merapikan seragamnya yang kusut sebelum berpamitan kepada Emanuel.

"Kak Manu, gue balik dulu ya kak. Kalo ada kabar tentang Alta, langsung kabari"

"Oke"

Sepeninggalan Wiku, kini Emanuel sendirian di UKS. Ia menatap ponselnya yang berkedip-kedip sejak tadi. Dan baru sadar kalau ada panggilan masuk. Panggilan telepon itu, dari kakaknya. Apa lagi sekarang.

—Klik

"Ya, halo kak!"

'Anak bernama Raga. Joan... di rumah anak itu. Kamu periksa kesana sekarang juga!'

"Apa?! Kakak yakin?"

Terkejut, tentu saja. Kakaknya tiba-tiba berkata seperti itu. Raga. Oh, apa mungkin itu alasan Raga menghilang selama beberapa hari ini seperti kata Wiku.

Karena dia bersama Alta.

'Ya, cepat kesana! Hari ini... kita bawa Joan pulang ke rumah'

...

Raga kembali ke rumah dengan tergesah. Baru saja ia melihat mobil salah satu anak buah Papa-nya berkeliling di sekitar kompleks rumahnya. Itu buruk. Ia harus membawa Alta pergi dari sini secepatnya.

Ia melempar plastik berisi sayur buah dan bahan makanan lainnya ke sembarang tempat. Langkahnya langsung menuju ke kamarnya untuk melihat Alta. Semoga saja anak-anak buah Papa-nya belum kesini.

Cklak...

"Alta..." panggil Raga setelah membuka pintu.

Srek!

Langkah Raga terpaksa berhenti. Tubuhnya membeku seketika saat sebuah benda tajam terarah di depan lehernya. Sebuah gunting besar. Hanya berjarak satu senti untuk langsung menembus tenggorokannya.

Perlahan, ia menoleh ke samping. Dimana orang yang mengarahkan gunting itu berada.

"Alta..." Raga cukup bernafas lega melihat Alta masih baik-baik saja. Meski sekarang tengah menatapnya tajam dengan sebuah gunting di tangan yang diarahkan ke lehernya. "Lo udah baikan?"

Bukannya merasa takut dengan gunting yang bisa saja menusuk lehernya, Raga malah mendekat dan menanyakan keadaan Alta. Alta sampai tak habis pikir dengan itu.

"L-lo, lo ga takut gue nusuk leher lo, hah?!" pekik Alta.

Raga menghela nafas. "Lo ga akan berani lakuin itu! Sekarang turutin kata-kata gue. Kita pergi dari sini sebelum anak buah Papa gue sampai!"

"Apa?"

"Kita berdua harus pergi, Alta! Lo ga aman di sini!" Raga menggenggam tangan Alta yang memegang gunting. Dijauhkannya benda itu dari lehernya saat Alta lengah.

"Gue lebih ga aman kalo sama lo?! Biarin gue pergi dari sini?! Buat apa lo peduli soal gue, hah!"

"Lo nurut sama gue kali ini aja! Kalo lo sampai ketangkep Papa gue, lo ga akan bisa selamat!"

Mata Alta berkaca. Tangannya yang digenggam Raga bergetar. Ia berontak menarik tangannya.

"Gue ga mau..."

"Alta"

"LEPASIN?! GUE BILANG GUE MAU SAMA LO?! GUE UDAH GA ADA URUSAN LAGI SAMA LO!!"

"ALTA!!"

Bugh!

Alta jatuh terduduk. Gunting yang ia pegang terlempar tak jauh dari kakinya. Ia terlalu syok saat Raga kembali memukulnya. Hal itu membuatnya benar-benar tak bisa mempercayai Raga sedikitpun. Ia membenci orang di depannya itu.

"Ta! Gue ga bermaksud mukul lo..." Raga dengan nafas tercekat berjongkok dihadapan Alta. Pukulannya tadi diluar kehendaknya. Ia tak sengaja memukul Alta karena sedikit emosi.

Dengan air mata yang kembali hadir, Alta mengambil guntingnya lagi. Meraih tangan Raga untuk sama-sama menggenggam gunting tersebut. Ujung lancip gunting itu ia arahkan ke tubuhnya sendiri.

"Bunuh gue sekarang! Dengan begitu balas dendam lo sama keluarga gue terbalas. Biar kalian semua senang!"

Tatapan Alta menajam menatap mata Raga. Tangannya semakin tertarik untuk mendekatkan gunting itu pada perutnya. Tapi Raga berusaha kuat untuk menahannya.

"Ta, gue ga bisa bunuh lo!"

"Kenapa? Itu tujuan lo selama ini 'kan?"

"Gue ga bisa!"

"Kenapa ga bisa? Lo tinggal tusukin gunting ini ke gue!"

"Karena lo berharga buat gue! Gue ga mau kehilangan lo!"

Alta membeku di tempatnya. Ia tertawa hambar.

"Haha... apa? Lo bilang apa?" tanyanya. Telinganya sepertinya salah dengar kalimat barusan.

Raga menatap Alta dengan raut serius. Membuat Alta tak yakin kalau dirinya salah dengar. Pikirannya mendadak keruh karena ucapan Raga. Perlahan, Raga mencoba menjauhkan gunting yang Alta pegang.

"Ta, lo percaya sama gue... gue bakal lindungin lo. Ayo kita pergi dari sini. Bersama!"

Seketika pikiran Alta kembali lurus. Rahangnya mengeras dengan nafas tercekat ditenggorokan.

"Gue ga akan pernah percaya kata-kata lo. Lo itu iblis! Bajingan brengsek yang udah hancurin hidup gue..." ujar Alta. Tangannya kembali mengerat pada gunting besar yang sempat dijauhkan Raga. "...kalo emang lo ga bisa bunuh gue. Biar gue sendiri yang lakuin!"

_______________________

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen di chapter sebelumnya

Raga tetaplah Raga

And, Alta mau dibawa pulang
Kira" lebih cepet keluarga atau ajalnya?
ಡ ͜ ʖ ಡ

...

Kedepannya masih dalam 1 hari yang sama

_______

Note:
Typo sudah diminimalisir sedikit mungkin. Bila masih bertebaran harap dimaklumi. Jika ada salah kata dalam cerita, kalian bisa menegur dengan kata yang baik dan sopan.

Makasih (~ ̄³ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro