13 | Don't Judge by Cover

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

"Jantung Alby rusak karena insiden waktu dia kecil. Tepat malam saat ayah Alby membunuh ibu tirinya, Alby ada di sana. Mungkin merasa terancam karena ada saksi hidup yang melihat kejadian itu, ayahnya melukai Alby. Hampir membunuh Alby dengan menusuknya tepat di dada... beruntung ada kakak sepupu Alby yang datang kesana dan melaporkan semuanya."

Cerita dari tante Renata itu terus Ruha ingat dan ia pikirkan setiap melihat Alby. Bagaimana ada ayah yang setega itu mau membunuh anaknya sendiri. Tak bisa ia bayangkan takutnya Alby saat kejadian itu.

Kalau dirinya diposisi Alby belum tentu ia sekuat itu. Hidup di bawah tekanan Papa-nya saja sudah cukup membuatnya ingin mati.

"Emang semua manusia ngga bisa dilihat cuma dari luarnya," gumam Ruha. Kepalanya di atas meja dengan pandangan menatap punggung kecil Alby di depan sana.

"Selamat pagi anak-anak!"

Ruha langsung menegakkan tubuhnya begitu seorang guru masuk. Guru itu adalah wali kelasnya.

"Hari ini nilai ujian bulanan kalian sudah keluar. Ibu juga bawa undangan buat orang tua kalian agar besok bisa datang di acara sosialisasi parenting yang diadakan sekolah," jelas si wali kelas.

Ini adalah yang Ruha tunggu-tunggu. Nilainya, semoga meningkat dari terakhir kali menjadi peringkat terendah di kelasnya sekaligus satu angkatan. Di depan sana Alby menoleh kearahnya mencoba meyakinkan. Ruha sudah berusaha tiga hari kemarin, semoga tidak mengecewakan.

"Peringkat pertama satu angkatan masih dipegang kelas kita, dengan rata-rata sempurna..." guru itu tersenyum dengan tangan memegang kertas nilai milik salah satu muridnya. "Ukasya Albyandra, rata-rata 100. Semua mata pelajaran mendapat nilai 100 sempurna. Selamat Alby!"

Alby yang namanya disebut langsung mengambil kertas nilainya. Beberapa anak bertepuk tangan sebagai apresiasi untuk Alby. Senyum Alby tak luntur saat melihat kertas nilainya tercetak angka 100.

"Ibu bangga sama kamu Alby, sejak pertama kali masuk sini peringkat kamu ngga pernah geser sekalipun." Si guru menepuk pundak Alby dengan bangga.

"Terima kasih Bu."

Guru wanita itu mengangguk mendengar ucapan terima kasih dari Alby. "Ah iya, ini undangan untuk orang tua kamu," ujarnya sambil menyodorkan kertas lain.

Seketika raut Alby berubah. Ia mengambil kertas itu dengan sedikit enggan dan segera kembali ke bangkunya lagi. Undangan orang tua, kemana kertas itu akan ia berikan? Tentu tak ada tujuan.

Satu per satu siswa mulai maju saat nama mereka disebut sesuai urutan peringkat di kelas. Sang guru juga membacakan peringkat yang didapat di angkatan. Di ujung bangku paling belakang Ruha sudah menggigit jarinya saat namanya tak kunjung dipanggil sampai urutan ke 25. Padahal jumlah anak di kelasnya tak sampai 30 siswa.

"Dan untuk peringkat terakhir..." Guru itu menjeda sesaat menghela nafas. "Davian Feliz Ruhaka, dengan rata-rata 40."

Berat hati Ruha berdiri melangkah ke depan. Tak perlu ditanya bagaimana ekspresinya sekarang.

"Ruha, kamu peringkat terakhir lagi. Tapi setidaknya bukan peringkat terakhir angkatan."

Ruha menatap kertas nilainya cukup lama. Peringkat umumnya naik menjadi nomor 5 dari belakang. Tapi tetap saja itu jauh dari kata baik. Rasanya percuma usahanya belajar beberapa minggu ini.

...

"Udah ngga apa-apa jadi peringkat terakhir kelas. Seenggaknya bukan peringkat terakhir angkatan. Nilainya juga naik dari bulan lalu yang rata-ratanya 30." ucap Alby mencoba menyemangati Ruha yang terlihat lesu.

"Ngga apa-apa gimana, nilai gue hancur lagi," keluh Ruha.

Kepala Ruha menunduk ke pundak Alby di depannya. Dengan kedua tangan mengurung Alby semakin erat hingga pergerakannya terbatas. Mereka berdua sudah diposisi itu selama hampir setengah jam.

"Berarti jam belajarnya harus ditambah lagi. Kalo bisa kemanapun pergi lo harus bawa buku."

Ruha langsung memiringkan kepalanya, tepat menghadap sisi kiri wajah Alby. "Ngga mau. Passion gue kayanya emang bukan belajar. Oh ngomong-ngomong gue mau nagih hadiah gue berhubung nilai gue naik," ucap Ruha dengan ekspresi berubah.

"Emang mau apa?" tanya Alby.

"Cium!"

Alis Alby langsung menyatu saat Ruha memajukan bibir kearahnya. Dengan ragu-ragu ia mulai mendekatkan bibirnya, membuat bibir keduanya menempel hanya untuk sesaat.

Ruha yang hanya bisa merasakan bibir Alby sesaat lantas berdecak. "Itu namanya bukan ciuman, Alby!" protesnya.

"Bukan? Emang ciuman itu yang gimana?" bingung Alby. Ia menganggap dengan menempelnya dua benda kenyal itu sudah bisa disebut sebagai ciuman.

Memang dasarnya anak polos.

"Buka mulut lo," perintah Ruha. Alby langsung membuka mulutnya sedikit.

Begitu diberi kesempatan, Ruha langsung mencium Alby. Menunjukkan bagaimana cara ciuman yang sesungguhnya. Dengan begitu lihai Ruha melumat bibir merah Alby dan memasukkan lidahnya ke dalam. Ia mengabsen satu per satu gigi di dalam sana dan bermain dengan lidah Alby.

Tindakan Ruha itu membuat Alby kualahan. Semua dalam kendali Ruha.

"Engh... R-Ruh—akh!" pekik Alby. Ruha menggigit bibirnya.

Sadar apa yang ia lakukan, Ruha lantas melepas ciumannya. Sekarang bibir Alby berdarah karenanya. Bukannya menyudahi, Ruha kini menjilat darah yang keluar itu. Menyesap bibir bawah Alby hingga terdengar erangan dari sang empunya.

"Ru, sakit..." rintih Alby merasakan bibirnya perih.

"Sorry, gue kelepasan. Semua bagian dari tubuh lo itu terlalu candu, terutama bibir." Ruha menjauhkan wajahnya lalu membenamkan kepalanya pada leher Alby.

Ruha hampir hilang kendali karena ciuman itu. Alby benar-benar telah menjadi candunya. Ia ingin menyentuh lebih jika menuruti nafsu. Tapi pikirannya masih cukup waras untuk tak melakukan itu demi Alby. Ruha tak mau membuat Alby takut.

Alby bukan pemuas nafsunya.

"Kalo gue kelepasan lagi, pukul saja," ujar Ruha semakin mengeratkan pelukannya pada Alby.

Kembali Alby dibuat bingung oleh tingkah dan ucapan Ruha. "Kenapa harus dipukul?"

"Biar gue selalu ingat, kalo gue mau milikin lo itu karena rasa sayang. Bukan karena hawa nafsu."

Ruha memang terkenal biang onar dan mendapat gelar berandalan. Tapi jauh dalam dirinya ada sifat lembut yang tak banyak orang tau. Dan sifat itu telah berkali-kali Ruha tunjukkan saat bersama Alby. Hanya dengan Alby.

...

Pukul enam sore Ruha baru tiba di rumah setelah bermain ke rumah Alby. Kalau saja tak mendapat telepon langsung dari sang Papa mungkin Ruha akan memilih menginap di rumah Alby.

"Kemana saja? Sekolah selesai jam tiga sore. Kenapa jam enam baru pulang?" suara dengan nada tajam langsung menyambut Ruha yang baru masuk rumah.

"Abis belajar di rumah teman," jawab Ruha.

Feliz yang semula duduk di sofa lantas berjalan mendekati Ruha. Ayah dan anak itu berdiri sejajar. Tinggi mereka sama.

"Belajar? Tumben. Biasanya juga buat masalah," heran Feliz. Cukup tak percaya dengan apa yang diucapkan anak bungsunya.

"Papa selalu bilang malu kalo punya anak bodoh kaya Ruha. Apa salahnya belajar?" tanya Ruha.

"Ngga ada yang salah," timpal Feliz sambil menyingkap lengan bajunya. "Papa panggil kamu pulang untuk melihat hasil ujian bulanan. Papa tau itu keluar hari ini, jangan kecewakan Papa lagi!"

Tangan Feliz menengadah kearah Ruha. Ruha yang hanya menatap diam tangan sang Papa itu dengan kedua kepalan di samping tubuh. Nilainya adalah hal terburuk yang ia tak ingin Papa-nya tau.

"Kasih Papa hasilnya!" pinta Feliz.

Dengan ragu Ruha mengambil kertas lusuh yang sudah ia remat sebelumya dari saku celana. Ia ingin membuang itu sebelumnya agar tidak bisa dilihat sang Papa, tapi percuma mengingat Papa-nya kenal dekat dengan wali kelasnya.

Feliz dengan tak sabaran menarik kertas di tangan Ruha. Membuka bola kertas tersebut dan menelisik setiap nilai yang tertulis. Pria itu menghela nafasnya kasar saat melihat nilai sang anak.

"Benar-benar mengecewakan. Sampah macam apalagi ini?" Kertas ditangannya ia lempar kasar ke lantai. Matanya menajam pada Ruha. "Kenapa kamu sangat berbeda dengan kakak kamu? Mereka jenius, jauh lebih pintar dari anak bodoh seperti kamu. Kalau seperti ini bagaimana Papa mau mempercayai kamu sebagai penerus Papa?"

"Ruha ngga pernah minta jadi penerus Papa. Papa sendiri yang maksa!" celetuk Ruha.

Alis Feliz mengerut tak percaya. "Apa?"

Dengan berani Ruha membalas tatapan tajam sang Papa. Ia lelah dibanding-bandingkan. Menjadi yang paling buruk di antara saudaranya bukan keinginannya.

"Kenapa ngga minta Kak Samuel aja yang jadi penerus Papa? Atau Kak Raga? Kenapa harus Ruha? Papa bilang sendiri mereka lebih jenius daripada anak bodoh kaya Ruha," ucap Ruha dengan suara tercekat.

"Kakak pertama kamu, Samuel sudah Papa kasih kepercayaan sendiri. Untuk yang lainnya kamu yang harus teruskan!" tegas Feliz.

"Masih ada Kak Raga. Dia yang paling jenius dari semua anak Papa. Dulu waktu masih sekolah juga sering jadi peringat teratas, nilai Kak Raga ngga pernah ngecewain Papa. KENAPA BUKAN KAK RAGA AJA? KENAPA HARUS RUHA, PAH?" pekik Ruha.

Jujur saja Ruha sudah lelah dengan semua tekanan sang Papa. Ia sekolah di San Juan juga karena sang Papa. Dituntut untuk menjadi sempurna dengan segala aturan yang pada akhirnya banyak yang Ruha langgar.

"RAGA NGGA PANTAS BUAT JADI PENERUS PAPA?! Kamu ngga ingat, kakak kamu sendiri yang sudah memutuskan hubungan dengan Papa. Memilih mengejar obsesi gilanya itu!" balas Feliz sama-sama berteriak.

"Itu karena Papa sendiri! Kenapa Papa ngga terima aja sama jalan yang Kak Raga ambil?"

"Terima kamu bilang? Papa ngga akan bisa menerima kalau anak Papa menjadi gay menjijikkan seperti itu?!"

Gay? Menjijikkan? Apa jadinya jika kepala keluarga Feliz ini tau kalau anak bungsunya juga menjadi bagian dari hal yang dikata menjijikkan itu?

Feliz menarik nafas mencoba meredam emosinya yang sempat tersulut. Tangannya memegang kedua pundak lebar Ruha dengan erat.

"Ruha, cuma kamu harapan Papa satu-satunya. Jangan sampai kamu ikuti jalan kakak ketiga kamu untuk menentang Papa. Perbaiki nilai kamu, lulus dengan nilai yang cukup kemudian lanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Papa bebaskan kamu mau pilih kemana, mau universitas dalam negeri atau luar terserah kamu," ujar Feliz memasang senyum andalannya.

Ruha tertawa miring. "Bebas pilih universitas, tapi ngga sama jurusannya. Ya 'kan? Ngga jauh-jauh dari bisnis. Percuma aja kalo gitu, bukan yang Ruha mau. Papa ngga pernah mau tau apa yang Ruha mau, apa yang Ruha alami. Hidup Papa itu cuma tentang kerjaan, sama wanita itu..." Ruha menjeda kalimatnya menatap sang Papa yang kembali memasang wajah kaku.

"Semua yang Papa lakukan untuk kebaikan kamu, Ruha!" sentak Feliz.

"Kebaikan? KEBAIKAN APA? PAPA BAHKAN NGGA PEDULI WAKTU RUHA BILANG WANITA ITU MUKUL RUHA! PAPA BILANG RUHA YANG FITNAH. PAPA JUGA MUKUL RUHA, NGEKANG RUHA DAN LEBIH BELA WANITA MURAHAN ITU!"

PLAK!

Sudut bibir Ruha kembali berdarah karena sang Papa. Sudah cukup jelas membuktikan siapa yang paling diutamakan disini. Bukan Ruha.

"SIAPA YANG MENGAJARI KAMU BICARA DENGAN NADA TINGGI SEPERTI ITU?! JANGAN TIDAK SOPAN RUHA!" bentak Feliz.

Grep!

Tangan Ruha tiba-tiba ditarik kasar menuju gudang. Feliz dengan wajah marah langsung menghempaskan tubuh yang masih berbalut seragam itu ke tumpukan kardus penuh debu. Mata nyalangnya menatap Ruha.

"Diam disini semalaman! Renungkan kembali ucapan dan tindakan kamu! Papa ingin mendengar permintaan maaf dan ucapan penyesalan besok!"

"Ruha ngga salah dan ngga akan nyesel!" Ruha masih kukuh.

Feliz yang semula akan menutup pintu gudang berhenti. Matanya menyorot tajam kearah Ruha diantara remang-remang lampu gudang. "Katakan lagi!"

"Ruha ngga akan nyesel sama semua ucapan dan tindakan Ruha!?"

Brak!

Kembali pintu gudang menutup. Feliz mengunci pintu tersebut dari dalam. Langkah tegapnya menuju Ruha setelah mengambil sebuah tongkat kayu dari sudut ruangan.

"Papa pastikan akan ada kata menyesal keluar dari mulut kamu setelah ini."

Thank you yang udah kasih vote sama komen.

Ada yang masih ingat Papa Feliz? Selamat kalian ketemu lagi sama papa (*/ω\*)

Tenang aja, cerita ini gak bakal banyak angst-nya kok... hehe...

Jumpa lagi chapter depan ketemu sama Raga. Dan ada secuil spoiler sama kehidupan Raga sekarang.


Any question?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro