14 | Dua Anak Malang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Ragasya Feliz Abqary. Pernah dengar nama itu?

Ya, dia adalah kakak Ruha. Tepatnya kakak ketiga Ruha. Wajah hampir serupa Ruha yang terlihat lebih dewasa. Langkah lebarnya baru saja memasuki rumah mewah keluarganya. Dengan sorot tajam yang langsung mengedar menjelajah seisi rumah.

Pukul tiga pagi ia mendapat telepon dari rumah, memintanya untuk cepat datang menolong adik bungsunya yang dikurung sang Papa.

"Dimana Papa ngurung Ruha?" Suara dengan nada rendah itu menggema.

Seorang wanita paruh baya yang merupakan pelayan langsung mendekatinya dengan wajah cemas dan gusar. "Tuan Muda Ruha ada di gudang belakang."

Raga langsung melesat menuju gudang satu-satunya di rumah ini. Di susul si wanita. Beberapa kali Raga mencoba membuka pintu gudang terkunci itu, tapi tak membuahkan hasil.

"Mana kuncinya! Dan kenapa Ruha dikurung?"

"Kunci asli dan cadangan dibawa Tuan Feliz. Saya sudah mencoba membukanya dengan beberapa alat tapi tidak bisa. Semalam Tuan Feliz marah dan memukuli Tuan Muda Ruha sebelum mengurungnya di gudang. Saya takut terjadi apa-apa jadi baru bisa meminta tolong anda setelah Tuan Feliz pergi," jelas si wanita paruh baya.

Desisan rendah terdengar dari bibir Raga. Pandangannya menatap sekeliling mencari benda untuk merusak knop pintu. Sebuah alat pemadam kebakaran di samping gudang menjadi pilihannya.

Raga mengambil ancang-ancang untuk memukul knop pintu. Mengayunkan benda keras tersebut dengan sekuat tenaga sekali sentak.

Brak!!

Pintu terbuka. Raga melempar asal tabung pemadamnya dan segera masuk. Pemandangan gelap menjadi yang pertama sebelum ia bisa melihat sosok yang tengah duduk meringkuk di sudut ruangan. Ruha dengan seragam yang sudah kotor dan berantakan.

"Ruha..."

Panggilan itu lantas membuat Ruha mengangkat kepala. Tepat menatap pada sang kakak yang berdiri di depannya. Wajah penuh luka lebam yang membiru. Beberapa peluh dan darah membasahi kulit Ruha.

"Ngapain kakak kesini?" ketus Ruha. Ia mencoba berdiri susah payah. Bahkan sempat menepis tangan sang kakak saat ingin membantunya. Seluruh tubuhnya sakit setelah dipukuli habis-habisan oleh Papa-nya dengan kayu.

"Kita keluar, obati lukanya," titah Raga.

"Ngga mau!"

Raga menarik paksa Ruha keluar. Tak peduli dengan berontakan adiknya itu saat ia menyeretnya. Di ruang tengah dimana cahaya lampu lebih terang, Raga bisa melihat jelas bagaimana parahnya luka sang adik sekarang.

Mata sebelah kiri yang membengkak, pipi membiru, bibir sobek dan dahi berdarah. Itu baru yang terlihat oleh mata. Belum bagian yang tertutupi seragam kotor itu. Raga yakin akan ada lebih banyak luka disana.

"Bisa ngga sih nariknya pelan dikit? Kasar amat," desis Ruha yang kini duduk di sofa. Sesekali mengernyit memegangi lengannya yang terasa sakit saat digerakkan.

"Siapa suruh ga nurut!" timpal Raga.

"Dih..." decih Ruha. Matanya tak lepas dari sang kakak yang sekarang duduk di sampingnya, membawa sebuah kotak obat yang baru saja diberikan oleh bibi pelayan. "Mau ngapain? Ngga usah sok mau ngobatin, biasanya juga ngga peduli."

Mengabaikan ucapan Ruha, Raga mulai membuka kotak obat. Ia mengambil alkohol dan kapas dari sana. Meskipun hubungan keduanya jauh dari kata baik, Raga masih cukup memperhatikan adik bungsunya itu selama ini. Dengan caranya sendiri.

Raga menuangkan sedikit alkohol ke kapas, kemudian mengarahkannya kearah bibir Ruha. Tapi belum sempat kapas itu menyentuh Ruha, anak itu sudah menjauh.

"Gue bisa sendiri, udah bukan anak kecil." Nada suara Ruha masih saja ketus.

"Jangan bandel! Nurut aja!"

Raga yang memang sumbu kesabarannya pendek lantas menahan kepala Ruha untuk diam. Ia mengusap luka dibibir Ruha dengan kapas yang langsung membuat sang adik memekik dan mengumpatinya.

"AKH! BISA PELAN GA SIH?! KASAR AMAT, SIALAN?!"

"Mulut dijaga!" Raga semakin menekan luka Ruha yang lain. Membersihkan darah yang ada dari seluruh wajah Ruha dengan kapas.

Begitu selesai dibersihkan Ruha memegangi kedua sisi wajahnya dengan tangan. Rasa berdenyut bercampur perih menjadi satu dan semakin terasa akibat perlakuan kasar kakaknya.

"Punya kakak gini banget. Udah muka datar kek tembok, kasarnya minta ampun," gerutu Ruha.

Bagi Raga yang mendengarnya itu sudah hal biasa. Tak ada yang namanya akur dengan sang adik. "Kenakalan apa lagi sekarang sampai abis babak belur dipukulin Papa segitunya?" tanya Raga.

"Nakal apanya? Cuma gara-gara nilai rata-rata gue masih dibawah 50, sama ngatain istrinya itu wanita murahan gue dipukulin sama kayu. Berasa anak pungut disini. Harusnya gue ikut Mama mati aja dulu." Ruha menghela nafasnya dan merebahkan tubuhnya pada sofa.

Mendengar ucapan Ruha itu membuat Raga melirik tajam. "Ngga usah ngomong gitu!"

"Kenapa? Gue disini juga ngga ada gunanya dikekang mulu, harus dituntut jadi anak pintar dan sempurna. Semua gara-gara kakak juga, harusnya kakak yang dapat posisi penerus Papa. Bukan anak bodoh kaya gue."

Raga langsung diam dengan ucapan Ruha kali ini. Semua memang salahnya hingga membuat adiknya dalam posisi sulit. Menentang Papa-nya, mengejar obsesinya, memutus hubungan dengan keluarganya. Tapi Papa-nya juga salah karena terlalu mengekang sang adik. Jadilah Ruha yang pembangkang seperti ini.

"Kakak minta maaf, oke? Sekarang buka seragamnya!" pinta Raga mencoba lembut.

"Ngga perlu, gue bisa obatin sendiri. Mending kakak pulang aja. Kasihan Kak Joan ditinggal sendiri di rumah"

Ruha lantas berdiri, menahan sakit disekujur tubuhnya. Niatnya ingin keluar dari rumah berhubung sudah tak terkurung lagi di gudang.

"Duduk lagi!" perintah Raga.

"Dibilang ngga perlu. Ngga usah nyoba jadi kakak yang perhatian. Gue udah biasa ngga dipeduliin," tolak Ruha lagi sambil memeriksa ponsel dalam tasnya.

Raga mengalah, percuma berdebat dengan yang lebih keras kepala. "Terus sekarang mau pergi kemana? Ini jam tiga pagi."

"Mau ke rumah pacar. Gue juga punya orang yang bikin gue bahagia, bukan cuma kakak doang."

"Jam segini?" tanya Raga.

"Iya, emang kenapa? Udahlah kakak cepetan pulang aja, gue pergi..." ucap Ruha melangkah pergi. Tapi baru dua langkah ia kembali berbalik menatap sang kakak. "Ngomong-ngomong makasih udah dibantu keluar."

"Hm. Jangan bikin masalah lagi," peringat Raga. Tangannya mengambil sesuatu dari celana dan menyodorkan pada Ruha. "Ambil uang ini, siapa tau perlu."

Ruha melirik sekilas sebelum mengambilnya dan pergi. Diluar rumah ia lantas menggerutu. "Gue itu bukan miskin uang, cuma miskin kasih sayang aja."

...

Pukul setengah empat pagi Alby terbangun oleh suara bel pintu. Dengan muka bantalnya dan guling dipelukan ia berjalan gontai kearah pintu untuk melihat tamu pagi-pagi buta di depan sana.

"Bahkan ayam belum bangun udah ada yang bertamu aja," decak Alby mencoba melebarkan matanya yang berat.

Ia membuka pintu, menemukan tubuh tinggi menjulang dengan pakaian lusuh yang terlihat familiar.

"Ruha? Lo ngapain pagi-pagi buta kesini?" tanya Alby begitu tau siapa yang berdiri di depannya. Alby masih belum menyadari luka di wajah Ruha karena efek nyawa masih belum terkumpul.

"Gue mau numpang."

Ruha yang di depan Alby lantas terkikik gemas melihat penampilan Alby. Piyama biru dan rambut berantakan, belum lagi sambil memeluk guling seperti itu.

'Gemes banget calon pacar,' batin Ruha semakin melebarkan senyum. Dan langsung memekik saat sadar bibirnya yang luka. "Ah, sialan. Sakit!"

Mendengar pekikan Ruha itu langsung membuat Alby sadar seutuhnya. Alisnya menyatu menatap wajah babak belur Ruha yang cukup mengerikkan.

"Lo abis berantem dimana? Itu mukanya—aih, pasti sakit." Alby sampai ikut meringis melihat wajah Ruha.

Alby langsung menyuruh Ruha masuk. Ia lantas meninggalkan Ruha di ruang tengah untuk ke kamar mandi membasuh muka dan kembali membawa kotak P3K.

"Ini luka abis berantem, Ru?" tanya Alby dengan wajah khawatir sambil mulai mengobati luka Ruha. Tak banyak yang harus diobati sebenarnya, melihat luka-luka tersebut seperti telah dibersihkan.

"Kalo gue bilang abis dipukuli Papa, lo percaya?" timpal Ruha.

"Dipukul Papa lo? Kenapa?" kejut Alby.

"Gue dipukulin karena nilai gue jelek lagi. Untungnya badan gue cukup tahan banting." Ruha terkekeh setelahnya. Seolah itu hal biasa.

Lain halnya dengan raut Alby yang berubah sendu. Dengan terampil jemari Alby menempel plester di pipi, dahi dan sudut bibir Ruha. Ia juga mengoleskan salep pada mata Ruha yang memar.

"Sshh, pelan-pelan By. Sakit!" ringis Ruha.

"Ini udah pelan, tahan dikit lagi. Apa perlu gue ambilin kompresan juga?"

Ruha menggeleng, "Ngga perlu, cukup gini saja."

Selesai dengan wajah Ruha, Alby memeriksa bagian tubuh yang lain dengan penuh perhatian. Lagi-lagi hal itu membuat Ruha tersenyum.

"Ada lagi yang sakit, Ru?" tanya Alby cemas.

"By, lo khawatir ya sama gue? Gue jadi terharu diperhatiin kaya gini." Ruha bukannya menjawab malah sibuk terharu.

Alby langsung melempar tatapan tajam. Dirinya tak sedang bercanda. "Cepetan bilang!"

"Iya iya, galak amat."

Ruha lantas melepas seragamnya, hampir membuat Alby melotot karena tiba-tiba telanjang dada. Ia kemudian berbalik membelakangi Alby dengan sesekali meringis sakit. "Punggung gue kayanya luka. Dari tadi rasanya perih. Sama lengan juga," ucapnya.

Beberapa luka menghiasi punggung Ruha terpampang jelas di depan Alby. Salah satunya adalah beberapa bekas merah yang sedikit berdarah melintang. Dan ada satu yang membuat Alby mengerutkan dahi. Sebuah luka bakar di punggung bagian atas yang terlihat sudah lama.

"Ngga usah kaget kalo ada bekas luka bakar," celetuk Ruha yang langsung menyadarkan Alby.

Kembali Alby dengan telaten mengobati luka memar di punggung dan lengan Ruha. Mengoleskan salep dengan lembut agar tak membuat Ruha memekik sakit lagi.

Ruha lantas berbalik menatap Alby begitu semua lukanya selesai diobati. Anak di depannya menunduk seperti memikirkan sesuatu.

"Ada yang mau lo tanyain, By? Soal luka bakar di punggung gue... mungkin?"

Kalimat itu langsung direspon Alby dengan mendongakkan kepala. Ruha tau Alby penasaran tentang itu, tapi anak itu tak berani bertanya. Mungkin Alby berpikir dirinya akan membuat Ruha tak nyaman bila bertanya.

"Gue tau lo penasaran. Luka bakar itu gue dapat waktu kebakaran rumah gue beberapa tahun lalu. Insiden yang juga bikin Mama gue meninggal." Ruha bercerita. "Kalau dipikir, nasib kita hampir mirip ya. Cuma gue lebih beruntung masih ada saudara dan orang tua lengkap meski agak brengsek"

Ruha yang melihat Alby hanya diam langsung merengkuhnya dalam pelukan.

"By, lo udah jadi sumber kebahagiaan gue sekarang. Dan gue juga berharap sebaliknya. Jadi gue mohon lo jangan pergi, biar ada alasan buat gue hidup disini."

Mungkin terdengar egois, tapi Ruha memang tak mau kehilangan Alby. Kebahagiaannya hanya ada saat bersama Alby.

Kedua tangan Ruha menyingkap rambut Alby, membingkai wajah itu dalam tangkupan. Wajah yang benar-benar indah yang sudah berhasil mencuri hatinya.

"Boleh cium?"

Tanpa menjawab, Alby dengan inisiatif menempelkan bibirnya lebih dulu pada bibir Ruha. Sekali lagi hanya sebuah kecupan singkat karena Alby tak seahli Ruha untuk memimpin ciuman.

"Bibir lo masih sakit, By?" jemari Ruha menyentuh bibir bawah Alby yang masih terlihat bekas gigitannya.

"Enggak," jawab Alby sambil menggeleng.

Ruha kembali menyenderkan kepala Alby di dadanya. Menutup mata Alby dengan tangannya. "Tidur lagi. Gue tau lo masih ngantuk."

Danke, buat yang vote sama komen di chapter sebelumnya 

Maaf mengecewakan, Raga muncul dikit aja (^///^)

Ada nemu sesuatu yang janggal? Gak? Ok no problem, bubayyyy (^∀^●)ノシ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro