15 | Milik Ruha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

"Sumpah, lo abis tawuran dimana anjir? Muka jadi ayam geprek begitu." Tawa Riko mengudara.

"Mirip Kaneki Ken," timpal Gamma.

Ruha langsung ditertawakan teman-temannya begitu muncul dengan wajah bengkak lebam ditambah satu mata tertutup kapas dan plester. Memang dasar teman dakjal.

"Kaneki Ken siapa?" bingung Riko.

"Itu ghoul di anime."

"Dih dasar Gamma wibu!" cibir Riko. Ia lantas kembali melihat Ruha. "Serius, ini bukan ulah geng sebelah 'kan, Ru?" tanyanya.

"Bukan. Gue jatuh sendiri," ujar Ruha malas.

Empat orang itu berjalan menjelajah koridor aula yang penuh orang tua siswa yang baru keluar. Ruha paling berbeda dengan pakaian olahraga sendiri. Matanya melongok ke dalam aula mencari sosok Alby yang katanya sibuk membantu menyiapkan acara sekolah hari ini. Maklum saja OSIS itu budaknya sekolah.

"Lo cari siapa? Orang tua lo?" tanya Gamma di samping Ruha, ikut melongok ke dalam.

"Nggak, mereka mana dateng. Undangan yang gue bawa aja ilang ga tau kemana." Ruha masih menelisik setiap orang di dalam.

"Lah terus cari siapa?"

"Siapa lagi kalo bukan si Alby," celetuk Riko di belakang kedua anak itu.

Ruha langsung melirik Riko, "Nadanya biasa aja. Lo cemburu apa gimana, kek ngga suka gitu gue cari Alby. Gue tau semenjak ada Alby gue jadi jarang godain lo, Ko."

PLAK!

Satu pukulan langsung mendarat di kepala belakang Ruha karena kalimat konyol itu. Riko dengan wajah bersungutnya menatap Ruha yang meringis kesakitan.

"Cemburu-cemburu pala lo!" ketus Riko.

"Ko, wajah gue udah sakit gini lo tambahin lagi. Bisa agak lembut dikit ngga sih jadi orang."

"Gue bukan lelembut." Riko mencebik tak peduli lagi dengan Ruha. Pemandangan seperti itu sudah hal biasa bagi Gamma dan Gaffi, jadi mereka hanya memilih diam melihat pertengkaran.

Bruk!

Suara jatuh itu terdengar dari belakang mereka. Sontak keempatnya menoleh pada dua orang di depan pintu aula lainnya. Satu diantaranya terduduk di lantai dengan buku berserakan. Sedangkan satu lainnya hanya berdiri menatap. Mata Ruha membola saat tau siapa yang jatuh itu.

"Albyyy!"

Ruha langsung mendekati Alby yang memunguti buku di lantai. Ia lantas ikut menata buku-buku itu, kemudian memeriksa tubuh Alby takut ada luka dengan wajah khawatir.

"Lo ngga apa-apa? Kenapa bawa buku banyak gini sih, mau kemana?" cemas Ruha.

"Gue mau ke perpustakaan, ngga lihat ada orang di depan jadi nabrak. Gue yang salah juga sih," ujar Alby.

"Nggak ada, lo ngga salah. Yang salah orang yang lo tabrak, lo bawa buku segini banyaknya. Tuh orang bukannya nyingkir," gerutu Ruha. Ia membantu Alby berdiri.

Riko, Gamma dan Gaffi yang ikut segera mengambil alih buku-buku yang sudah ditata rapih itu.

"Minta maaf sama Alby! Bukannya bantuin orang, malah diem aja!" marah Ruha pada orang yang yang masih berdiri diam di depan Alby. Tapi saat melihat siapa orangnya, Ruha malah terkejut sendiri.

"Dia sendiri bilang dia yang salah. Bawa beban berat itu sesuai kemampuan, bukan dipaksain bawa segini banyaknya." Orang di depannya membalas.

"Kak Raga? Kakak ngapain disini?!" seru Ruha.

Sontak hal itu membuat ketiga teman Ruha dan Alby ikut menatap dengan terkejut.

"Kak?" beo Riko. Wajah bingung yang ditampilkan sudah mewakili yang lainnya karena panggilan Ruha terhadap laki-laki dewasa di depan mereka.

Sosok Raga berdiri dengan wajah datar seperti biasa. Menatap kearah lima anak remaja di depannya satu per satu sampai yang terakhir kembali menatap Ruha yang masih memasang wajah terkejut. Ia lantas menunjukkan kertas undangan di tangannya pada Ruha.

"Undangan orang tua..." Ruha langsung melirik kertas di tangan kakaknya itu. Entah kenapa bisa sampai pada kakaknya. "Sama ini tadi dapat rekap hasil ujian bulan. Peringkat apaan 5 dari bawah, bulan lalu malah jadi yang terbawah."

Cibiran dari sang kakak itu membuat Ruha mendengus. "Kan udah dibilang gue ini bodoh, ngga usah berharap banyak sama gue."

"Jadi bodoh atau pintar itu pilihan. Makanya cari lingkungan pertemanan yang bener." Raga berujar sambil menatap Riko, Gamma dan Gaffi yang seragamnya jauh dari kata rapih. Hal tersebut membuat tiga anak itu merasa tersindir.

"Kakak ngga usah nasehatin soal pertemanan, kaya yang udah paling bener jadi kakak aja. Lain kali juga ngga usah sok jadi kakak paling baik pake datang kesini karena undangan itu," kesal Ruha membalas, tak peduli kalau ucapannya itu keterlaluan. Ia beralih pada tiga temannya. "Gue minta tolong sama kalian balikin bukunya ke perpus."

Tanpa perlu diperintah dua kali, tiga anak itu langsung pergi membawa buku-buku tadi ke perpustakaan. Ruha kini mengabaikan sang kakak dan memilih fokus dengan Alby yang kesulitan berdiri tegak.

"By, kaki lo sakit?" tanyanya.

"Ngga apa-apa," jawab Alby meski terlihat sebaliknya.

"Ngga apa-apa gimana, kaki lo sakit 'kan? Ayo naik gue bawa ke UKS," pinta Ruha dan memposisikan punggungnya di depan Alby.

Alby yang merasa tak enak melirik sekilas kearah Raga yang masih memperhatikan. "Tapi Ru kakak lo?"

"Biarin aja, kakak gue udah gede ngga usah dipeduliin," ucap Ruha sambil melirik Raga. Ia lantas menarik kedua lengan Alby ke lehernya, kemudian menggendongnya di belakang. Ia pergi tanpa kata meninggalkan Raga yang menatap keduanya dengan pandangan curiga.

...

Ruha dan Alby berakhir di UKS. Kepekaan Ruha patut diapresiasi karena begitu memeriksa kaki Alby, kedua kaki anak itu membengkak entah apa sebabnya.

"Kalau dilihat dari bengkaknya ini bukan karena jatuh kaya yang kalian bilang. Apalagi ini dua-duanya bengkak," ucap dokter UKS yang memeriksa Alby.

Tentu hal itu membuat Ruha mengerutkan dahinya. Kalau bukan karena jatuh tadi lalu apa sebabnya?

Alby hanya diam sambil terus memperhatikan kedua kakinya yang terbujur diatas brankar. Bengkaknya cukup parah dengan rasa berdenyut yang sedikit menyiksa.

"Biasanya kaki bengkak tiba-tiba gini itu dipengaruhi sama kondisi kesehatan tertentu juga. Misal kaya masalah ginjal atau jantung. Kalau kamu punya riwayat penyakit kaya gitu, jangan terlalu memforsir tubuh buat banyak aktivitas sampai akhirnya kelelahan. Atau malah terlalu sering diam ngga gerak dalam jangka waktu lama."

Dan ucapan si dokter UKS kali ini membuat Ruha tau apa penyebabnya. Ia menatap Alby dengan pandangan lurus yang hanya dibalas kerjapan mata berulang oleh anak itu. Ingin mengomel tapi ia tahan melihat wajah polos yang Alby pasang.

"Terus biar bengkaknya ngga makin parah diapain kakinya?" tanya Ruha pada si dokter UKS.

Si dokter menghela nafas sambil berfikir, "Karena bukan bengkak keseleo harusnya bisa sembuh sendiri nantinya. Kalau mau lebih cepet bisa direndam air garam atau dipijit aja juga bisa."

Ruha langsung duduk di brankar yang sama dengan Alby. Mengangkat kedua kaki Alby dan ia taruh di atas pahanya. Tangannya menyingsing celana Alby sampai lutut dan mulai memijit pelan kedua kaki Alby bergantian. Hal itu membuat Alby terkejut dan si dokter tekekeh.

"Untuk sementara jangan pakai sepatu dulu sampai sembuh. Lalu kalau tidur usahakan kakinya lebih tinggi dari badan," nasehat si dokter sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

Hanya hening yang menemani sekarang. Entah kenapa Alby merasa tak enak dengan keadaan sepi seperti ini.

"Ru, ngga usah dipijit lagi. Kan bisa sembuh sendiri nanti," pinta Alby.

Ruha masih terus memijit kaki Alby tak mengindahkan ucapan tersebut. Wajah Ruha terlihat tak bersahabat.

"Ru udah—"

"Diem dan nurut aja!" seru Ruha.

Alby sedikit tersentak karena nada yang cukup tinggi itu. Apa Ruha marah? Tapi kenapa? Apa sebabnya?

"Gue marah! Lo ngga sayang sama tubuh lo sendiri. Seminggu ini lo ngapain aja sampai kecapekan?" Mata Ruha menajam menatap Alby. Meski hanya satu mata yang terlihat, karena satunya tertutup kapas. "Jawab!"

"Urusan OSIS," cicit Alby. Wajah Ruha terlihat semakin menyeramkan dengan lebam itu.

"Selain OSIS? Pulang sekolah lo ngapain? Masih ambil les privat?" Ruha menginterogasi.

Alby langsung menggelengkan kepalanya. "Sejak mau ujian bulanan udah enggak. Tapi..."

"Tapi?" beo Ruha. Alby menggigit bibir bawahnya ragu. "Tapi apa By?"

Untuk pertama kalinya Alby merasa takut melihat Ruha. "Tapi gue kerja," ujar Alby benar-benar pelan, ia melirik Ruha menunggu reaksi anak itu.

Pijatan Ruha di kaki Alby berhenti tiba-tiba. Ia menatap tak percaya pada Alby begitu mendengar jawaban tersebut. Kerja katanya. Kerja apa yang dilakukan anak SMA seperti Alby, dan untuk apa? Ruha sampai tak habis pikir.

"Oke, lo kerja. Kerja dimana? Sejak kapan? Dari jam berapa sampai jam berapa?"

"Di cafe, ngga jauh dari rumah. Sejak dua minggu lalu. Dari jam tujuh sampai dua belas... malem," jelas Alby.

Ruha langsung mengusap wajahnya sendiri. Semakin tak bisa berkata-kata karena itu. Jadi selama dua minggu ini Alby bekerja tanpa sepengetahuannya? Tak cerita sedikitpun. Dan bodohnya juga ia tak peka.

"By, buat apa lo kerja? Sampai semalam itu juga, jam tidur lo gimana? Lo beneran ngga sayang sama tubuh lo? Pagi sampai sore sekolah, malamnya kerja. Lo mikir apa sih, By?"

"Gue kerja buat kebutuhan hidup gue, Ru. Lo tau gue tinggal sendiri. Kalo ngga kerja, gue dapat uang dari mana buat makan. Belum lagi buku-buku sekolah yang ngga gratis," ucap Alby.

"Bukannya ada tante Renata yang ngurus lo, By?"

"Bunda juga punya keluarga, gue yang bukan siapa-siapanya ngga mungkin ngerepotin terus." Alby menunduk mengingat hidupnya yang menyedihkan. Sendirian, tak punya siapa-siapa. "Udah cukup biaya check up tiap bulan sama obat gue yang di bantu bunda. Gue ngga mau lebih nyusahin lagi."

Melihat Alby yang menunduk membuat Ruha batal ingin marah. Dipegangnya kedua tangan kecil Alby itu dan mengusap telapaknya dengan lembut.

"By, jangan kerja lagi, oke? Kalo lo butuh apa-apa bilang gue saja," ucap Ruha.

Alby itu pribadi yang tak mau merepotkan orang. Prinsipnya, selagi bisa ia kerjakan dirinya tak akan meminta bantuan dari orang lain.

"Selagi gue masih mampu, gue ngga mau ngerepotin orang lain. Lo tenang aja, gue tau batasan gue."

Ruha tak mau memaksa. Alby sendiri yang memintanya menjadi orang yang tepat untuk berbagi. Jadi ia tau Alby akan meminta bantuannya lagi disaat yang tepat.

"Ya, oke gue paham. Sekarang, mau ke kelas? Bel masuk udah bunyi," ajak Ruha. Alby langsung melirik kedua kakinya membuat Ruha ikut melihat. "Oh iya kaki lo..."

Tanpa banyak bicara lagi, Ruha menggendong tubuh Alby di depannya seperti koala. Ia terkekeh begitu melihat bagaimana ekspresi Alby saat digendong. Dengan iseng Ruha mencium pipi Alby saking gemasnya.

"Jangan tiba-tiba cium begitu," ucap Alby sambil menundukkan kepalanya malu ke pundak Ruha.

"Salah lo, kenapa lucu banget jadi manusia. Jadi pengen makan pipi lo yang bulet itu." Ruha semakin iseng menjahili Alby yang telinganya sekarang merah. "By, mau cium bibirnya juga."

"Ih, ngga mau! Nanti dilihat orang lain." Alby langsung menjauhkan wajah Ruha yang berusaha menciumnya lagi. Kalau saja masih di UKS mungkin ia bolehkan. Tapi mereka sudah di koridor sekarang, dan ada banyak pasang mata yang bisa saja melihatnya.

"Biar aja mereka lihat. Biar satu sekolah tau kalo Alby itu milik Ruha."

Alby langsung menoleh, menatap wajah Ruha dari samping. "Ruha mau satu sekolah tau?"

"Bukan hanya satu sekolah, satu dunia juga harus tau kalo Ukasya Albyandra cuma milik Davian Feliz Ruhaka," ucap Ruha.

Cupp!

Tak menyianyiakan kesempatan yang ada Ruha langsung mencium bibir Alby dengan cepat. Bibirnya lantas tertarik lebar dan berbisik pada telinga Alby yang semakin memerah. "Forever mine..."

Makasih banyak yang udah vote dan komen dari sebelumnya.

Raga muncul dikit dulu, tapi nanti selebihnya bakal muncul lagi... cuma di chapter 30 keatas. Bucinnya Raga yang sabar aja wkwk (^∀^●)ノシ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro