19 | Sukarelawan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

"By, buat yang sukarelawan udah dapet?"

Kedua alis Alby bertaut bingung menatap sekretaris OSIS di sampingnya. "Sukarelawan? Buat apa?"

Siswi perempuan dengan nametag Khanza itu terdengar mendengus karena jawaban dari Alby, "Lo gimana sih, By! Lo ngga cek grup OSIS? Anggota OSIS yang bisa ikut ke panti asuhan cuma 6 orang, kita kekurangan orang jadi harus cari sukarelawan."

Sontak Alby langsung melihat ponselnya. Ada lebih dari seratus pesan di grup OSIS, dan sialnya tak terbaca olehnya. Beberapa hari ini tubuhnya dipaksa sibuk dengan berbagai macam kegiatan yang hampir membuat otaknya meledak sehingga kurang fokus.

"Sorry, gue ngga lihat di grup. Emang butuh berapa orang lagi? Nanti gue coba cari," sesal Alby.

"Lo itu Ketua macem apa sih, bisa-bisanya cek grup aja ngga sempet. Padahal ini acara penting loh, tanggung jawab lo mana kalo gini."

"Iya gue minta maaf."

"Maaf maaf! Cari 4-6 orang aja yang mau dua hari bantuin kita disana," ujar Khanza dengan ketus kemudian pergi dari sana.

Padahal kalau dilihat dari siapa yang paling banyak kerja tentu itu Alby. Semua bagian tugasnya sudah ia kerjakan dengan baik, bahkan ada tugas yang seharusnya bagian orang lain ia kerjakan. Hanya karena dirinya ketua dan lalai dalam satu hal jadi dianggap tidak bertanggung jawab.

"Ah astaga, capek banget..." keluh Alby. Ia menaruh kepalanya di meja. Menatap anggota OSIS lain yang terlihat sibuk di ruang OSIS ini.

Brak!

"Alby! Waktunya makan siang!"

Ruha datang dengan tampang sangarnya seperti biasa. Bantingan pintu yang keras itu membuat semua anggota OSIS menatap kearahnya. Langkah Ruha langsung tertuju pada Alby.

"Si Alby masih harus ngurusin keperluan bakti sosial!" Aidan ikut mendekat.

Ruha melirik Aidan sekilas tanpa peduli dengan ucapan barusan. "By, ke kantin!" ajaknya dan menarik lengan Alby di atas meja.

"Lo budeg ya?! Gue bilang Alby masih harus ngurusin keperluan bakti sosial!" Aidan menahan tangan Ruha. Membuat tatapan tajam Ruha itu mengarah padanya.

Hawa panas masih belum padam dari keduanya karena kejadian waktu itu. Sedangkan dari anggota OSIS lainnya tak ada yang berani menentang Ruha seperti Aidan. Tak ingin membuat masalah dengan biang onar satu itu.

"Kayanya lo yang budeg. Lo ngga denger bel istirahat bunyi? Apa gara-gara tonjokan gue kemarin lo jadi tuli, hah?" sembur Ruha sedikit menahan tawa saat melihat bekas membiru dipipi Aidan. Jelas itu bekas pukulannya.

Tanpa berlama-lama lagi, Ruha menarik Alby berdiri. Kemudian berjalan keluar dari ruang OSIS tak peduli dengan Aidan yang protes. Alby sendiri menurut saja dengan Ruha.

Ia ingin egois untuk sekali saja. Tak mau jadi budak OSIS dan ingin menikmati makan siangnya dengan tenang.

...

"Alby, makan yang bener! Jangan dilihatin mulu!" tegur Ruha saat Alby hanya terus melihat nampan nasinya hampir sepuluh menit tanpa ada niatan memindah makanan disana ke mulut.

Alby lantas segera memasukkan sesendok nasi tanpa lauk ke dalam mulutnya. Dua sendok. Tiga sendok. Dan kembali berhenti mengundang decakan dari Ruha.

"Ayo makan! Aaa!" Ruha menyendok satu nasi penuh lauk dan menyodorkan ke Alby. Memaksa mulut kecil itu terbuka hingga suapannya masuk semua. Alby mengunyahnya dengan pelan seolah tak bersemangat. "Kenapa By? Lo ngerasa sakit?"

"Enggak, cuma agak capek saja," jawab Alby setelah menelan makanannya.

Ruha tak lantas percaya dan memeriksa tubuh Alby. Ia menempelkan tangannya ke dahi dan leher Alby bergantian mencoba mengecek suhu tubuh. Untung suhunya normal.

"Gue bilang apa, jangan sampai kecapekan. Muka lo sekarang pucet. Lo bilang tau batasan tubuh lo, tapi masih aja gini." Ruha mulai mengomel.

"Bentar lagi OSIS ada bakti sosial ke panti asuhan. Gue jadi Ketos sekaligus ketua pelaksananya tentu ngga bisa cuma diem aja, Ru," jelas Alby. Tangannya masih mengaduk-aduk nasi dengan mulut terus terbuka setiap kali Ruha menyuapinya. Tentu karena dipaksa Ruha.

"Emang kurang apa lagi? Lo bilang kemarin udah siap semua terakhir bikin jadwal." Sesekali Ruha mengusap bibir Alby dimana sisa nasi menempel. Iseng memasukkan sisa nasi itu kemulutnya sendiri.

"Kita kekurangan tenaga buat kegiatan nanti. Mendadak banyak yang ngga bisa datang. Dan gue ngga yakin bakal ada yang mau jadi sukarelawan."

Ruha berhenti menyuapi saat Alby menggeleng. Melihat bagaimana tak bersemangatnya Alby saat ini membuatnya tak tega. Kalau boleh jujur, Alby itu Ketua OSIS tersibuk yang pernah ia tau. Sepulang sekolah ada saja urusan di ruang OSIS.

"Gue bisa bantu kalo lo butuh tenaga."

Alby langsung menatap Ruha cepat. "Caranya?"

"Anak-anak Scorpion banyak. Nanti gue ajak beberapa buat ikut bantuin anak OSIS. Biar ada gunanya dikit itu bocah-bocah ketimbang nongkrong mulu di markas," ujar Ruha diakhiri terkekeh.

"Tapi Ru, emang mereka bakalan mau?"

"Jelas pada mau kalo gue yang nyuruh. Sekarang lanjut makan, gue ngga mau lo sakit." Tangan Ruha kembali menyodorkan sesendok nasi di depan Alby.

Dengan senang hati Alby membuka mulut. Ruha memang selalu bisa membuatnya tersenyum. Ia tak pernah mengira hubungan yang awalnya hanya sebatas teman belajar bisa jadi seperti ini. Dan juga Ruha yang sebelumnya berandal sekolah kini sudah jarang mengusik siswa lain.

Sifat Ruha perlahan banyak berubah. Tak lagi suka membolos, memalak, dan membuat onar karena lebih sering bersama Alby. Bisa dibilang Alby yang membawa pengaruh baik untuk Ruha.

...

Sore harinya, Ruha mengumpulkan beberapa anggota Scorpion yang dirasa tak mungkin sibuk akhir minggu nanti. Riko, Gamma, Gaffi dan dua anak kelas 10 yaitu Vino dan Alfa.

"Tumben ngumpulin anak-anak gini. Ada masalah Ru?" Gamma yang pertama bertanya.

Ruha mensedekapkan tangannya menatap kelima anggotanya yang duduk di sofa dan dua berdiri di belakang. Wajah Ruha yang serius itu membuat rasa penasaran mereka berlima meningkat.

"Jadi gini, akhir minggu nanti kalian ngga sibuk 'kan?"

Kelimanya saling melempar pandang sebelum menjawab.

"Gue sama Alfa ngga sibuk bang," ucap Vino sambil merangkul sahabat dekatnya itu.

Gaffi lantas mengangkat tangan mengikuti. "Gue juga free."

"Oke sip. Lo berdua?" Ruha menunggu jawaban dari Riko dan Gamma yang tersisa.

"Gue jug—"

"Tunggu dulu!" Riko langsung memotong ucapan Gamma yang belum selesai. Sampai membuat Gamma mendesis. Riko mencondongkan tubuhnya yang semula bersandar pada sofa dan menatap Ruha. "Jelasin dulu mau ngapain, jangan tiba-tiba nanya kita sibuk apa enggak akhir minggu nanti. Gue punya firasat yang enggak-enggak sama niat lo ini."

"Kerjaan lo suudzon mulu, Ko. Gue itu mau ajak kalian ikut bakti sosial anak OSIS ke panti asuhan. Mereka lagi kurang orang. Dan berhubung kalian bilang free akhir minggu ini, ayo kita ikut nginep bantu-bantu disana..." jelas Ruha sambil menaik turunkan alisnya.

"Nah 'kan udah gue duga pasti ada niat terselubung. Sejak kapan lo jadi peduli soal bakti sosial kaya gini? Kerjaan biasanya juga malakin orang."

"Sejak gue kenal Alby. Gue mulai kepikiran, Scorpion harus diubah. Jangan jadi biang onar mulu. Harusnya kita jaga ketentraman San Juan, bukan malah malakin anak-anak sana sama jadi biang onar."

Satu pikiran yang sama dari kelima anak didepan Ruha mendengar kata-kata itu. Ruha sakit!

"Kayaknya lo salah makan deh, Ru," celetuk Gamma dan disetujui yang lain.

"Enggak."

Riko berdiri menuju Ruha, memasang wajah sedatar yang ia bisa dan memegang leher si Ketua itu dengan kuat. Harap diingat bahwa hal ini hanya bisa dilakukan oleh Riko seorang.

"Pertama, gue ngga tau lo kesambet malaikat mana sampai jadi protagonis kaya gini. Kalo lo mau ngerubah prinsip Scorpion yang udah tertanam dari awal berdiri gue jujur ngga masalah. Kita berlima disini mungkin bisa ikut berubah, tapi lo ngga akan bisa merubah semua anggota jadi kaya gitu. Mindset semua anggota udah jadi biang onar, karena mereka nyaman kaya gitu... meski pada akhirnya sering ngerugiin orang lain, tapi dengan gitu mereka bisa ngerasa bebas. Tapi gue ngga pernah ngebenerin perilaku kita juga. Lo paham maksud gue 'kan Ru?" jelas Riko panjang lebar.

Scorpion memang terdiri dari anak-anak kurang bahagia. Kenapa bisa disebut seperti itu? Sebagai contoh saja Ketuanya, Ruha. Diikat dengan berbagai aturan dan ekspetasi Papa-nya. Mereka hanya remaja yang menginginkan kebebasan.

Sejujurnya hanya remaja salah jalan karena pengaruh lingkungan dan sikap orang dewasa yang disebut orang tua.

"Emang gue tadi maksa buat kita semua berubah? Gue bilang cuma kepikiran, ngga harus sekarang juga kali." Ruha mulai memasang wajah tengilnya.

Plak!

Satu pukulan belakang kepala langsung diterima Ruha dengan pelakunya Riko.

"Yeh, bangsat! Gue udah serius-serius juga. Sumpah Ru, lo bisa ngga sih ngga bikin gue emosi." Riko bersunggut. Yang lain malah tertawa.

"Ya lo kenapa emosi astaga, yang lain aja ngga emosi. Sekarang gue tegasin lagi, kalian pada mau ikut atau enggak? Yang ikut angkat tangan!" pinta Ruha.

Empat dari lima angkat tangan. Sontak semua menatap Riko satu-satunya yang tak mengangkat tangannya.

"Ko? Ngga mau ikut?"

"Motor gue masih ilang bangsat! Gue kesana naik apa?" kesal Riko.

"Gue bonceng," timpal Ruha.

"Lah lo ngga sama Alby? Nanti dia cemburu gimana gue sama lo."

"Alby berangkat bareng OSIS. Alby mah kalem, ngga bakal cemburuan. Mau lo jadi yang kedua juga dia mungkin santai-santai aja."

Riko kembali menoyor kepala Ruha dengan kuat. "Goblok! Gue bukan kaum pelangi kaya lo! Hiih, jijik anjir," setelah mengucapkan itu Riko pergi.

"Hati-hati loh Ko! Biasanya abis ngatain bisa jadi salah satunya!"

...

Riko terus menggerutu sambil berjalan keluar markas. Menendangi apa yang bisa ia tendang saking kesalnya dengan Ruha. Sampai tak sadar menabrak salah satu anggotanya yang akan masuk.

"Eh, Ko. Baru aja gue mau panggil lo..." ucap anak yang tak sengaja ia tabrak.

"Kenapa?" tanyanya dengan ketus.

"Itu diluar ada yang tiba-tiba datang bawa motor, katanya punya lo."

Sontak Riko langsung melesat ke tempat yang dimaksud. Tepat di depan markas ada seorang pria tak dikenal mungkin sekitar umur 30-an berdiri di samping motor trailnya yang dua hari ini menghilang.

"Jericho Jehan Ghifari alias Riko?" tanya pria itu begitu Riko sampai.

"Hah? Iya..." Saking terkejutnya Riko sampai bingung harus menjawab apa.

Si pria itu memberikan kunci motor dan helm yang sempat ia tinggal bersama motornya waktu itu.

"Saya dari pihak bengkel disuruh antar motornya kesini setelah selesai diperbaiki. Katanya harus diterima langsung sama yang punya motor."

Riko mencoba mencernanya. Jadi, motornya itu tidak menghilang? Tapi diperbaiki di bengkel?

"Bapak tau yang bawa motor saya ke bengkel?"

"Kalo namanya saya kurang tau, tapi anaknya masih muda. Mungkin seumuran masnya. Ada perlu lagi mas?"

"Ah enggak, Pak. Eh, tapi biaya bengkelnya gimana?" Riko was-was takut ditagih, masalahnya ia tak bawa uang banyak sekarang.

"Untuk biaya perbaikan semua udah ditanggung sama yang bawa motornya ke bengkel. Jadi ngga perlu dibayar lagi. Semua mesin-mesin yang rusak juga udah diganti sama yang baru," jelas si petugas bengkel itu lagi. "Kalo gitu saya pamit."

Riko hanya memberi anggukan kepada pihak bengkel tersebut. Ia masih bingung. Siapa orang baik hati memungut motornya dipinggir jalan dan membawanya ke bengkel?

"Gila, motor gue jadi kaya baru gini," gumamnya sambil mengitari motornya yang kinclong tanpa lecet. Riko mencoba menyalakan motornya dan membawa satu putaran berkeliling. "Anjir, beneran kek motor baru."

Tiba-tiba saja ponsel Riko berbunyi, buru-buru ia memeriksa. Satu nomor tak dikenal meneleponnya.

—Klik

'Motornya udah sampai?'

Mata Riko refleks melotot. Ia melirik layar ponselnya lagi, kemudian menaruhnya ditelinga. "T-tunggu... lo.. lo—"

'Julian,' ucap dari seberang.

Shit, gila!

Riko benar-benar syok mendengar suara dan nama itu.

"Lo dari mana tau nomor gue anjir?! Gila lo ya?" Riko melirik kearah markas dan sedikit menjauh. "Sumpah lo kalo cari masalah jangan ajak gue ya. Niat lo mau apa sih sebenarnya? Lo sampai benerin motor gue, terus kemarin juga nganterin gue pasti ada maksud 'kan? Ngaku lo!"

'Ngga maksud apa-apa. Cuma bantu aja.'

"Halah gue tau lo punya niat jelek. Lo pasti ada rencana mau ajak Scorpion baku hantam lagi. Udah ngga usah pake hubungin gue lagi! Gue blokir nomor lo, bye..."

Riko baru akan menekan tombol merah, tapi urung dan kembali bicara.

"Untuk sekali lagi, gue ngga akan pernah bilang 'makasih' walaupun lo udah benerin motor gue!" Panggilan itu berakhir detik itu juga.

Makasih yang masih baca dan udah vote, komen cerita ini meskipun updatenya gak nentu

I lav yu all (づ ̄3 ̄)づ╭❤️~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro