Part 10 Menyelinap Masuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan pulang yang panjang membuat Bia dan Al Biru sampai di rumah ketika hari menjelang malam. Keduanya disambut seluruh keluarga dengan senyum lebar, yang Bia yakin hanya ditampakkan untuk Al Biru. Bia pun tak ambil pusing. Satu-satunya orang yang tidak terlihat hanyalah Bastian.

Dering ringan terdengar dari ponsel Al Biru. Sejenak pria itu melirik siapa yang memanggilnya lalu berbisik pelan pada Bia, "Naiklah lebih dulu. Aku harus mengurus sesuatu."

Bia mengangguk. Mengingat jalan yang akan membawanya ke lantai dua. Menyeberangi ruang tamu dan berbelok ke samping. Memilih tangga yang berada di sebelah kiri, tangga yang terdekat dan langsung mengarahkannya ke pintu ganda berwarna hitam.

Salah satu kakinya baru saja menginjak lantai dua ketika tiba-tiba sosok yang muncul dari samping membuat Bia terkejut. Pijakannya meleset dan ia terkesiap kaget saat tubuhnya terhuyung ke belakang. Napasnya tertahan, bersiap terjatuh tapi pinggangnya ditangkap oleh sebuah lengan kekar. Ditarik berdiri dan kakinya kembali menginjak lantai. Saat itulah ia menyadari yang menolongnya adalah Bastian.

Wajah Bia terdongak dan kepala Bastian tertunduk. Dengan jarak yang cukup dekat hingga Bastian pun bisa mendengar suara napas Bia yang terengah karena terkejut.

Menyadari jarak wajah mereka yang terlalu dekat, Bia segera menjauhkan diri. Kali ini ke samping.

"Apa yang kalian lakukan?" Suara kesal Chellyn terdengar dari belakang Bia. "Baru saja kau menginjakkan kaki di rumah ini dan sudah menggoda suamiku." Tangan Chellyn sudah terangkat hendak mendorong tubuh Bia, tetapi Bia sudah bisa menduga reaksi tersebut dan menangkapnya dengan kuat.

"Jangan ceroboh, Chellyn." Suara Bia datar, kemudian ujung mata wanita itu melirik ke samping. Ke arah tangga yang tepat berada di samping Chellyn. "Kau sedang hamil, kan?"

Wajah Chellyn seketika memucat, begitu pun dengan Bastian yang langsung menatap Bia.

Bia hanya tersenyum. "Aku tak sepemurah itu untuk membiarkan kau menginjak-injakku setelah apa yang kalian berdua lakukan padaku."

Chellyn menarik tangannya dengan keras kemudian merangkul lengan Bastian dan tangannya yang lain memegang perut. "Kau lihat sendiri, Bastian. Dia berniat membunuh anak kita."

Bia mendengus tipis, kemudian berjalan ke samping dan menghilang di balik pintu kamar Al Biru. Kamar yang akan menjadi kamarnya.

"Kenapa kau membiarkannya pergi begitu saja, Bastian?" protes Chellyn pada sikap Bastian yang malah hanya menatap kepergian Bia dalam kebisuannya. "Itu ancaman yang serius. Apa kau benar-benar tak punya hati dan hanya diam saja jika sesuatu terjadi pada anak kita?"

Bastian menarik lengannya dari Chellyn dan menuruni anak tangga tanpa sepatah kata pun. Yang membuat Chellyn semakin dongkol.

"Benar-benar kau, Bastian," geramnya.

***

Bia melepaskan semua pakaiannya dan berjalan ke balik shower, tubuhnya terasa penat dan lengket. Juga sangat lelah. Dan Al Biru datang di saat yang tepat. Selalu datang di saat tepat. Melepaskan semua pakaiannya ketika menyebarangi kamar mandi dan bergabung bersamanya.

Pria itu tak pernah puas. Seolah gairahnya tak pernah habis dan tak melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk tidak menikmati tubuhnya. Menyentuhnya dengan sangat lembut dan penuh pemujaan. Yang terkadang hampir membuat Bia meleleh.

Kepasrahannya sudah menjadi milik Al Biru sepenuhnya. Yang ai serahkan dengan sepenuh hati demi kesenangan pria itu.

Satu jam kemudian, keduanya turun ke lantai satu dan bergabung di meja makan paling akhir. Erum sudah meninggalkan ruang makan dan Faida baru selesai makan.

"Habiskan, Chellyn." Faida mendekatkan gelas susu yang masih tersisa setengah. Juga sisa nasi di piring.

Chellyn menggeleng. "Chellyn sudah kenyang, Ma."

"Kau hanya makan beberapa sendok."

"Chellyn sudah bilang tidak boleh makan di atas jam tujuh, kan."

"Untuk apa kau diet?" Suara Faida mulai tak sabaran. "Kau sedang hamil dan anakmu butuh makan lebih banyak."

Chellyn merengek. "Berat badan Chellyn sudah naik 4 kilo. Bahkan bayinya hanya sebesar buah berry. Mana ada buah berry seberat 4 kilo."

Faida mengerang rendah. "Lalu, apa kau ingin membuat bayimu kelaparan untuk keegoisanmu?"

Mulut Chellyn mencebik kesal, terpaksa mengambil sendoknya dan menyuapkan nasi ke mulut dengan bibir yang memberengut.

Al Biru melangkah masuk dengan senyum lembutnya. "Apa yang mamamu benar, Chellyn. Kau sedang hamil dan butuh gizi dua kali lebih banyak dari biasanya. Sekarang kau makan tidak untuk dirimu sendiri," ucapnya sambil menarik kursi untuk Bia. Kemudian duduk di kursinya sendiri. "Apakah ada menu makan malam yang tidak kau suka? Kau bisa minta apa pun yang kau inginkan pada koki kita."

"Terima kasih atas perhatiannya, Nak Al. Chellyn memang sedikit rewel dan ditambah kehamilannya yang sensitif."

"Tidak-tidak apa-apa, Nyonya Bailey. Saya akan bicara dengan koki kita untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan Chellyn. Tentang keluhan-keluhannya sehingga nafsu makannya meningkat."

Wajah Chellyn seketika memucat mendengar penuturan tersebut. Berbeda dengan kegembiraan di wajah Faida yang tak tertahankan. Nyaris menjerit saking bahagianya akan perhatian Al Biru. Namun senyum itu hanya sesaat, ketika kalimat Al Biru selanjutnya membuat kebahagiaan itu raib dalam sekejap.

"Chellyn." Al Biru beralih pada Chellyn. "Siapa doktermu? Apakah sama dengan Bia?"

"Eh? B-bia?" Chellyn segera menguasai kepucatan di wajahnya. Menatap Bia dengan mulut yang terbuka, begitu pun Faida. "Bia hamil?"

Al Biru menggeleng. "Bukan. Atau ... belum. Kami sedang menjalani program kehamilam. Dan yang menangani dokter Eros. Di rumah sakit Allen Medical Center."

Chellyn mengerjap beberapa kali. Memastikan telinganya tak salah dengar. Program kehamilan? Wanita itu menatap Bia dan Al Biru bergantian, dan telinganya memang tidak sedang rusak.

"Apa kau melakukan pemeriksaan di sana."

Chellyn segera tersadar dan menatap Al Biru, lalu menggeleng dengan cepat. "Bukan. Ehn, aku bisa periksa di tempat praktek dokter Mia."

"Tidak di rumah sakit?"

Chellyn menggeleng. "Aku nyaman di sana."

Al Biru pun mengangguk-angguk pelan. "Baiklah. Kau bisa mengatakan keluhanmu pada doktermu. Dan berikan nomornya pada koki kita agar ..."

"Tidak perlu," tolak Chellyn. Ujung bibirnya berkedut dengan gugup. "Aku baik-baik saja. Ini bukan masalah tentang makanan. Hanya ... terkadang memang nafsu makanku turun. Tapi aku sudah minum vitamin ibu hamil. Jadi semuanya baik-baik saja."

"Hmm, baiklah. Kalau butuh apa-apa, kau bisa bicara dengan Bastian atau denganku."

"Ya." Chellyn mengangguk. Menatap Bia yang tengah menyendokkan nasi ke piring Al Biru. Dan yang membuat Chellyn semakin panas, wanita itu bersikap seolah menjadi istri yang baik. Untuk mencari muka di depan Al Biru.

Ia benar-benar tak tahan harus melihat bagaimana perhatiannya Al Biru pada Bia. Perhatian yang tak pernah ia dapatkan dari Bastian. Yang membuat Chellyn semakin muak dengan sepupunya itu.

"Ah, ya. Bia dan aku memiliki beberapa oleh-oleh untuk kalian. Pelayan sudah membawakannya ke kamar masing-masing. Kuharap kalian suka, Bia yang memilihkannya."

Faida dan Chellyn memaksa sebuah senyuman di wajah mereka saat mengucapkan terima kasih pada Bia.

***

Selesai makan, lagi-lagi Al Biru mendapatkan panggilan mendadak dan harus ke ruang kerjanya. Sehingga Bia pun harus kembali ke kamar seorang diri. Keduanya berpisah di ujung tangga, Al Biru berbelok ke samping kanan dan ia baru saja melintasi ruang santai ketika Chellyn muncul dan menghadangnya.

"Jadi ini rencanamu? Mencoba hamil anak Al Biru?" dengus Chellyn dengan rasa iri yang serasa mendidih di ubun-ubunnya. "Jangan bermimpi, Bia. Kau tak akan menjadi bagian dari keluarga ini."

Bia tertawa geli. Mengangkat tangannya dan menunjukkan cincin pernikahannya di jari manis tepat di depan kedua mata Chellyn. "Well, aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini, Chellyn."

Chellyn menyingkirkan tangan Bia dari wajahnya, seolah dengan itu ia bisa menolak fakta bahwa sepupunya sekarang sudah menjadi istri dari paman suaminya.

"Tidak akan lama. Kami akan membuatmu didepak dari rumah ini seperti yang sudah pernah kami lakukan padamu."

Bia hanya mendengus tipis dengan ancaman tersebut. Tetapi setidaknya ia sudah belajar dari pengalaman pertama agar hal semacam itu tidak terulang kembali, kan.

"Kau tak akan hamil. Apalagi mengandung anak Al Biru. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi."

Kali ini Bia tertawa kecil. "Kami bahkan merencanakan program kehamilan ini sebelum pernikahan dilaksanakan. Dan malam pertama dan bulan madu kami sangat panas. Mungkin saja ..." Tangan Bia mengelus perutnya yang rata. "... saat ini aku sedang hamil anak Al Biru."

Wajah Chellyn semakin merah padam dan hatinya semakin meradang bukan main.

Bia menghitung dengan menggunakan jemari tangannya. "Paling tua usianya seharusnya sudah menginjak lima hari. Dan paling muda usianya sekitar satu jam yang lalu. Aku tak yakin bentuknya seperti apa. Sepertinya benihnya masih sibuk membuahi sel telurku."

Mata Chellyn yang merah membulat sempurna, nyaris keluar dari rangkanya. "Kau pikir kau bisa masuk ke dalam keluarga ini dengan cara yang licik ini? Al Biru bukan orang yang bisa dibodohi. Hal itu tidak akan pernah terjadi, Bia. Aku peringatkan kau!"

Ekspresi di wajah Bia tak kalah dinginnya. Ia menatap kedua mata Chellyn dengan dagu yang sedikit terangkat. "Kenapa? Karena aku tak pantas? Jika orang selicikmu bisa menjadi bagian keluarga ini dengan menggunakan kehamilan, kenapa aku tidak bisa?"

Raut Chellyn benar-benar tak bisa lebih pucat lagi. Wajahnya mengeras dan bibirnya menggaris tipis. "Apa maksudmu, Bia?"

Bia hanya mengedikkan bahu. "Tanya saja pada dirimu. Agar kepalamu tidak terlalu lama menganggur."

Chellyn menggeram. Ketika Bia hampir melewatinya, ia menangkap pundak wanita itu dengan kasar. Yang langsung disentakkan Bia dengan lebih keras.

"Jika sekali lagi kau menggangguku dengan hal tidak penting ini, jangan kau pikir aku tak tahu apa yang sedang kau sembunyikan di belakang Bastian, Chellyn."

Sekali lagi kalimat Bia menohok Chellyn hingga bibir wanita itu kelu dan tak sanggup berkata-kata.

Bia menyeringai dengan puas melihat Chellyn yang tak berkutik. Kemudian berbalik dan masuk ke dalam kamar.

Dan seolah belum cukup Chellyn membuatnya kesal, sungguh ia ingin beristirahat dengan tenang karena kurang tidur. Pintu kamarnya kembali diketuk beberapa saat kemudian dengan ketukan yang keras dan nyaris menyerupai gedoran.Jelas pelakunya bukan Al Biru, melainkan suami dari sepupunya sekaligus mantan kekasih yang pernah sangat ia cinta butai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro