Part 9 Memiliki Seutuhnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti yang sudah Bia bayangkan, acara resepsi berlangsung dengan begitu meriah. Para tamu undangan tak berhenti berdatangan, barisan panjang membentuk di samping panggung. Mengantre untuk mengucapkan selamat. Kedua kaki Bia sudah terasa pegal, ia tak pernah menyangka sebuah pernikahan ternyata bisa membuatnya lelah seperti ini.

"Kau ingin ke kamar lebih dulu?" Al Biru berbisik lembut dengan wajah yang menempel di telinganya.

Kali ini Bia mengangguk.

Al Biru menegakkan punggungnya dan memanggil Jasmin yang duduk di salah satu meja paling depan. Wanita dengan gaun berwarna silver dan rambut yang disanggul indah tersebut melangkah naik ke panggung.

"Ada apa, Al?"

"Bisakah kau mengantar istriku ke atas. Aku harus menunggu hingga acaranya selesai sekitar satu jam lagi."

Jasmin mengangguk dengan senyum manisnya.

"Terima kasih, Jasmin." Al Biru menepuk lembut pundak Jasmin dan beralih pada Bia. "Pergilah bersamanya. Aku akan menyusul."

"Apakah tidak apa-apa?"

"Ya. Tentu saja."

Jasmin membantu mengangkat ekor gaun Bia yang cukup panjang, kemudian keduanya melangkah keluar dari ballroom hotel lewat pintu khusus yang ada di samping panggung. Naik lift yang langsung membawa keduanya ke kamar pengantin.

"Aku mencintai Al Biru." Suara Jasmin mendadak memecah keheningan yang menyelimuti keduanya di dalam lift.

Bia yang tengah menyandarkan kepalanya di dinding lift sambil mengamati angka di atas pintu lift tiba-tiba membeku mendengar pengakuan tersebut. Kemudian kepalanya berputar pelan ke arah Jasmin yang berdiri di sisi kirinya.

Bia tak mengenal wanita ini selain namanya yang disebut Al Biru beberapa saat lalu. Dan pernyataan Jasmin membuat Bia mau tak mau mengamati penampilan Jasmin yang sempurna malam ini. Jasmin jelas wanita yang cantik dan seksi. Juga dari cara wanita itu bersikap serta berucap yang elegan. Yang baru disadari oleh Bia.

"Kami berteman sejak kecil dan entah sejak kapan perasaanku tumbuh untuknya. Bahkan kedua orang tuaku dan kakaknya sudah memiliki rencana untuk menjodohkan kami. Tapi Al Biru menolaknya karena hanya menganggapku sebagai seorang sahabat." Jasmin menampilkan raut terlukanya meski bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. "Kami sangat dekat. Hanya saja, dia belum menyadari ikatan sebenarnya yang ada di antara kami."

Bia masih bergeming.

"Dan aku tahu apa tujuanmu mendekatinya. Juga kesepakatan kalian di balik pernikahan ini."

Sekilas Bia terkejut. Ada sedikit kekecewaannya terhadap Al Biru yang segera ditepisnya. Ia tak seharusnya peduli bagaimana cara orang memandang dan berpikir tentang pernikahan mereka. Hanya saja, jika Al Biru menceritakan semua hal yang ada dalam pernikahan mereka pada Jasmin, itu artinya Jasmin memang sedekat itu dengan Al Biru. Dan ia tak tertarik pada alasan Al Biru yang menolak rencana perjodohan keluarga mereka.

"Kuharap kau tidak mengambil apa pun yang tak berhak kau dapatkan darinya, Bia. Aku tak akan membiarkannya." Ada peringatan yang jelas dalam suara Jasmin, begitu pun dalam tatapan wanita itu.

"Aku tak tahu kenapa kau menceritakan semua ini padaku?" Suara Bia terdengar penuh ketenangan, tanpa beriak emosi sedikit pun.

Senyum Jasmin naik lebih tinggi. "Karena aku tahu kalian berdua tidak ditakdirkan bersama."

Bia terdiam, seulas senyum akhirnya terbit di ujung bibirnya ketika berucap, "Apa kau begitu mengenal Al Biru?"

Jasmin mengangguk dengan penuh keyakinan.

"Kalau begitu kau pasti tahu sejarah cincin peninggalan mendiang ibunya, kan?"

Senyum di wajah Jasmin seketika membeku. Ya, tentu saja ia tahu cincin itu. Al Biru pernah menceritakan tentang cincin itu. Cincin peninggalan mendiang ibu Al Biru. Jika Al Biru memberikan cincin itu pada seorang wanita itu, keyakinan di hati Al Biru pasti sudah mantap untuk menjadikan wanita itu sebagai pendamping hidup pria itu.

Denting lift membelah di antara keheningan keduanya. Bia memutus kontak mata di antara mereka lebih dulu dan melangkah keluar setelah berkata, "Aku akan pergi sendiri. Dan terima kasih untuk bantuannya."

Jasmin masih membeku di dalam lift. Emosi di wajahnya yang berusaha ia tahan sebelum Bia pergi, kini meluap memucatkan wajahnya.

Tidak. Ia tak mungkin menyerah begitu saja. Tak akan pernah. Ia harus menyadarkan dan menolong Al Biru dari rencana licik Bia.

***

Butuh waktu lebih dari setengah jam bagi Bia untuk melepaskan gaun pengantin, tatanan rambut, dan make up di wajahnya. Sebelum kemudian ia masuk ke kamar mandi dan menemukan bath up yang sudah penuh dengan kelopak bunga mawar merah mengambang di permukaan air. Bia pun memutuskan untuk berendam. Merilekskan tubuh dan pikirannya.

Entah berapa lama Bia tertidur dengan tubuh yang terendam, ia terbangun ketika suara langkah kaki samar-samar terdengar dari balik pintu. Menyadari tubuhnya yang telanjang, Bia bergegas menyambar handuk di gantungan di samping bath up. Tetapi karena gerakannya yang sembrono, ia kembali terpeleset ke dalam bath up dan air bertumpahan ke lantai.

"Auuwww..." Kepala Bia terantuk pinggiran bath up . Tidak keras tapi cukup menyakitkan. Lalu kepalanya tenggelam, membungkam kesiap kagetnya.

Pintu terbuka dan Al Biru terkejut. Bergegas melompat ke arah bath up dan menarik lengan Bia.

Bia terbatuk-batuk karena tak sengaja minum air.

"Kau baik-baik saja?"

Bia mengangguk. Keduanya saling pandang, sampai kemudian Bia menyadari tubuhnya yang telanjang dan menyentakkan tubuhnya ke belakang dengan kedua tangan menutup dada. Beruntung kelopak mawar merah di permukaan air membantunya menutupi tubuh bagian bawahnya.

Al Biru tersenyum melihat wajah Bia yang merah padam. "Kau tidak menungguku."

Bia menelan ludahnya, wajahnya tertunduk karena tak tahan tatapan intens Al Biru yang menelanjanginya yang sudah telanjang bulat.

Tanpa melepaskan tatapannya pada Bia, Al Biru melepaskan kancing kemeja putih dan celananya sebelum ikut bergabung ke dalam bath up. Membiarkan tubuh keduanya menjadi rileks setelah terlalu lama berdiri di pelaminan.

***

Keesokan paginya, Bia terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Sesuatu terasa tak nyaman di pangkal pahanya. Mencoba mengingat bagaimana ia mendapatkan ketidak nyamanan tersebut. Ia mengerang pelan dan matanya perlahan terbuka meski rasa kantuk masih tersisa dan melekati kedua matanya.

Saat kesadaran kembali sepenuhnya. Ia menelaah ingatannya yang memutar pernikahannya dan Al Biru. Merasakan cincin pernikahan mereka yang melingkari jari manisnya. Kemudian malam pertamanya dan Al Biru. Dan saat itulah ia menyadari tubuhnya yang telanjang di balik selimut, dengan sebuah lengan melingkari pinggangnya.

Kepalanya berputar ke samping, menemukan wajah Al Biru yang masih terlelap di sampingnya. Wajah pria itu tenggelam di helaian rambutnya yang terurai, bibirnya sedikit terbuka dan napasnya bergerak naik turun dengan teratur. Pria itu masih terlelap dalam tidurnya.

Bia mengangkat lengan Al Biru dengan hati-hati dari tubuhnya. Turun dari tempat tidur tanpa menciptakan suara sekecil apa pun. Meraih jubah kemeja putih Al Biru yang tergeletak di lantai dan mengenakannya sebelum berjalan ke kamar mandi.

Lama Bia hanya berdiri di depan wastafel. Menatap wajahnya yang basah, juga ... pandangannya bergerak lebih ke bawah, menemukan jejak-jejak gairah Al Biru yang menghiasi leher dan dadanya. Bia tak ingat bagaimana pria itu meninggalkan kissmark yang begitu banyak di tubuhnya. Ia hanya ingat, satu-satunya hal yang diinginkannya adalah menyenangkan Al Biru di atas tempat tidur. Membiarkan pria itu mengambil apa pun darinya. Hingga pria itu tidak akan menyesali pernikahan mereka, dan meninggalkannya. Hanya Al Biru yang dimilikinya, dan kali ini ia tak akan membiarkan siapa pun mengambil Al Biru darinya.

Ingatan Bia berputar ketika ia pertama kali bertemu Al Biru. Saat itu Bia pergi ke rumah Bastian untuk meminta penjelasan pada pria itu tentang kiriman undangan pernikahan Bastian dan Chellyn yang ia dapatkan. Dan ia datang hanya untuk dipermalukan.

Wajahnya masih terasa panas oleh tamparan Chellyn, ia berjalan dengan gontai menuju gerbang tinggi kediaman Atmadja setelah Erum mengusirnya dengan kejam. Ketika sebuah mobil sport melaju masuk. Atapnya dibuka dan seorang pria dewasa mengenakan kacamata hitam berada di balik kemudi. Yang mendadak mengingatkannya pada Presdir Atmadja Group. Perusahan besar yang merajai bisnis furniture serta pemilik saham terbesar bank swasta terbesar di negara ini.

"Tuan Al Biru." Jawaban penjaga keamanan Bastian membuat Bia terkejut ketika ia bertanya tentang pria yang baru saja muncul. Jadi, kepada pria itu tantenya menjual perusahaan papanya? Tantenya, sepupu, dan Bastian. Seolah semua sudah bekerja sama untuk menusuknya dari belakang.

Bia membelalak. Jadi benar pria itu adalah ... "Al Biru Atmadja?"

Penjaga keamanan itu mengangguk.

Bia tertegun untuk waktu yang cukup lama. Mengamati Al Biru yang turun dari mobil dan melangkah menaiki anak tangga di teras. Pria itu sempat berhenti dan menatap ke arahnya, -yang terlihat begitu jauh dari pandangan- tetapi kemudian memutuskan mengabaikan entah siapa yang tidak dikenalnya dan masuk ke dalam rumah.

Pandangan Bia kemudian beralih ke arah bangunan empat lantai yang ada di hadapannya. Kediaman utama keluarga Atmadja. Bangunan dengan tanah seluas satu hektar ini.

Mama Bastian, Erum adalah kakak tiri Al Biru. Sekilas ia memang pernah mendengar tentang Al Biru yang adalah pemilih sah bangunan ini dan pewaris tunggal Atmadja Group. Mama Bastian hanyalah anak tiri pasangan Atmadja, yang kehidupan terjamin oleh warisan dari papa Al Biru, yang juga adalah kakek Bastian. Bia tak mungkin tidak mengenali kisah tersebut. Bastian seringkali bercerita meski ia selalu menjadi pendengar yang baik tanpa niat apa pun.

Setelah puas mengamati hamparan kemegahan dan kemewahan yang di hadapannya, Bia memutuskan untuk pergi. Melihat isi dompetnya yang semakin menipis, Bia pun memutuskan untuk naik kendaraan umum dan pulang ke rumahnya yang disudah dipasang peringatan di pagar depannya.

Rumahnya tak pernah terasa begitu sunyi seperti saat ini. Semua pelayan dan tukang kebun telah pergi sejak Faida dan Chellyn datang dan memecat mereka semua. Tanpa pesangon yang memadai dan Bia merasa begitu sedih tak bisa melakukan apa pun untuk membantu mereka.

Bia langsung naik ke kamarnya, berbaring di tengah empuknya tempat tidur dan menangis tersedu dengan hati yang hancur dan remuk redam. Ia benar-benar sendirian. Tak memiliki siapa pun. Kelelahan menangis, Bia pun tertidur. Dan terbangun menjelang malam.

Ia turun dan memakan apa pun yang ada di lemari pendingin. Mengemas beberapa pakaian dan barang yang perlu ia bawa, dan pigura berisi foto kedua orang tuanya. Tak memiliki tujuan, Bia mendatangi salah satu teman Bastian yang ia kenal bernama Jeno.

Suara langkah kaki dari balik pintu menyadarkan Bia dari lamunannya. Tak lama pintu kamar mandi terbuka dan Al Biru melangkah masuk. Sejenak pandangan mereka bertemu di cermin. Dengan rambut berantakan, telanjang dada, dan senyum manis yang entah bagaimana terlihat seksi, pria itu menempatkan diri di belakang tubuh Bia dengan kedua lengan yang melingkari pinggangnya.

Wajah pria itu jatuh di cekungan lehernya, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria itu masih melekat di kulitnya.

"Di kamar mandi?" bisik Al Biru. Sambil menurunkan jubah tidur Bia dan menangkap bibir wanita itu untuk lumatan yang panjang.

Bia tak menolak. Betapa pun dirinya lebih ingin berendam dan sedikit istirahat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro