Part 5 Tak Akan Berhenti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti?" Suara memohon Bastian sempat menghentikan niatnya untuk membuka gagang pintu.

Bia bergeming, wajahnya menoleh ke samping dan menatap Bastian dari balik bahu. "Tidak ada."

Bastian mengepalkan kedua tangannya. Sudah jelas tujuan Bia masuk ke dalam keluarganya bukan hal yang sepeleh. Sudah tercermin di kedua mata wanita itu yang serius. Meski ia mengenal Bia sebagai wanita yang manis, ceria, dan menyenangkan. Apa yang dilakukan wanita itu saat ini seolah telah mengubah cara pandangnya terhadap Bia. Dan perasaannya pada wanita itu begitu tulus, tentu saja akan sangat mengusik dirinya jika harus menatap Bia sebagai seorang tante.

Langkah Bastian yang hendak menyusul Bia terhenti ketika ia mendengar suara Al Biru yang memanggil nama sang mantan kekashih.

"Bia?" Suara memanggil Al Biru sempat mengejutkan Bia yang hendak menutup pintu di belakangnya. Napasnya tertahan menyadari Bastian yang masih berada di balik pintu. Al Biru hanya mengetahui Bastian adalah temannya, tetapi tentu akan mengundang curiga jika ia dan keponakan pria itu keluar dari kamar yang sama.

"Hai," senyum Bia sembari melangkah menghampiri pria itu. "Kau sudah selesai bicara?"

Al Biru mengangguk, sambil menangkap pinggang Bia dan mendorong tubuh wanita itu ke dinding. Sejak tadi ia hanya bisa menikmati pemandangan kecantikan Bia dari jauh. Bahkan ketika di mobil, ia harus menahan diri karena tak ingin merusak make up wanita itu yang tampak gugup karena akan bertemu dengan keluarga besarnya. Sekarang, acara makan malam sudah selesai, dan wanita itu menjadi miliknya.

"B-biru?" Napas Bia kembali tertahan karena tubuh Al Biru yang menghimpitnya, dengan kedua mata yang menatapnya begitu intens.

"Kau terlihat cantik," bisik Al Biru, perlahan menutup jarak di antara wajah mereka.

"Apa ini menyenangkanku?"

Senyum Al Biru semakin mengembang, "Aku tak sabar menunggu hari pernikahan kita dan memilikimu seutuhnya."

Bia sendiri tak bisa menahan senyumnya akan kesenangan yang bisa diberikannya pada Al Biru. Pria itu sudah memberinya kesempatan dan segala hal yang dibutuhkannya untuk bangkit. Rasanya ia menjadi tak tahu diri jika tidak mampu menjadi menyenangkan untuk pria itu, bukan. Al Biru menyukai kecantikannya, menyukai keputus asaannya. Juga tubuhnya. Hanya ini yang bisa diberikannya pada pria itu.

Ditambah dengan keberadaan Bastian yang ada di balik pintu, sakit hati yang masih tersisa di dadanya mendorong Bia untuk bersikap lebih berani. "Begitu pun denganku," bisik Bia dengan suara menggoda yang terselip.

Al Biru pun menangkap bibir Bia, melumat kelembutan dan rasa manis di bibr Bia yang begitu memabukkan. Membuatnya menginginkan lebih dan lebih.

Di antara celah pintu, Bastian berdiri dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Seluruh tubuhnya menegang melihat Bia dan Al Biru yang saling bercumbu. Bahkan lengan Bia seolah membalas pelukan sang paman. Dan sungguh, belum pernah ia mencumbu Bia seintim itu. Melumat bibir Bia dengan penuh gairah. Yang membuat gemuruh kecemburuan membakar dada Bastian. Tak rela jika Bia akan menjadi milik pria lain, terutama pamannya sendiri.

***

Setelah sejenak mengobrol tentang rencana pernikahan, Al Biru mengantar Bia kembali ke hotel. Semua anggota mengantar keduanya hingga di teras, menyaksikan mobil mereka yang menghilang di balik gerbang.

"Apakah ini benar-benar terjadi?" Faida yang tampak tak percaya dengan semua yang baru saja terjadi, mencoba mempertanyakan kembali pada Erum, besannya. "Bagaimana mungkin anak sialan itu datang kembali ke hidupku lagi?"

Erum hanya mendesah pelan. Ia pun tak setuju dengan rencana pernikahan tersebut, tetapi apa yang dikatakan sang adik membuatnya tak berkutik.

"Dia pasti memiliki tujuan dengan pernikahan ini. Menggunakan Al Biru untuk merebut semuanya. Mempengaruhi dan memanfaatkan Al Biru."

Erum tentu memahami semua tujuan itu. Tetapi tak ada satu patah kata pun yang bisa ia gunakan untuk membalas.

"Apakah kita akan membiarkan Al Biru dan perusahaan hancur begitu saja. Tanpa melakukan apa pun?"

Erum mendesah pelan. "Aku tak tahu."

Kedua mata Faida membulat semupurna akan jawaban Erum yang meski jujur, membuatnya kesal bukan main. Jika seorang Erum Atmadja tidak mampu mengatakan apa pun, itu artinya adalah jalan buntu. Dan ia tak mungkin membiarkan Bia menjadi bagian dari keluarga terpandang ini, yang posisinya akan berada di atasnya. Tidak akan mungkin.

"Kita akan memikirkan caranya."

"Bukankah kau bilang sedang menjodohkannya dengan Jasmin. Mereka berteman sejak kecil, kan?"

Erum mengangguk. "Al Biru hanya menganggapnya sebagai seorang teman."

"Bukankah itu bagus, artinya mereka tak butuh waktu untuk kenal lebih dalam. Jasmin adalah pilihan yang paling tepat. Mungkin ... kita bisa menggunakan keluarga Jasmin dan Jasmin untuk membujuk Al Biru tentang rencana pernikahan yang sembrono ini?"

Erum terdiam. Tampak mempertimbangkan ide tersebut sejenak sebelum berkata, "Kita akan memikirkannya."

Faida mengangguk dengan penuh antisias. Melangkah masuk ke dalam rumah masih dengan bujukan-bujukannya. "Kita harus melakukan sesuatu, Erum. Jika kau hanya diam dan membiarkan semua ini terjadi. Tak akan menunggu lama sebelum perusahaan jatuh di tangannya. Dan setelah apa yang dilakukan Bastian, kau pikir dia tidak akan membalas sakit hatinya pada putramu?"

Faida tak berhenti. "Dia akan merebut semua yang sudah kau perjuangkan untuk putramu. Bagaimana jika kita mengatakan semuanya pada Al Biru tentang siapa Bia yang sebenarnya."

Erum menggeleng. "Maka semua yang kau lakukan pada Bia akan terbongkar. Sudah cukup dia tahu kalau kau yang menjual aset peninggalan kedua orang tuanya, setidaknya ia berpikir semua karena hutang papanya dan hanya ini cara yang tersisa. Kau ingin dia mencurigai hal lainnya? Terutama hubungannya dengan Bastian?"

Wajah Faida segera memucat hingga langkahnya terhenti di tengah ruangan.

Erum pun ikut berhenti dan menoleh ke belakang. "Kenapa? Kau memang hanya mengusirnya dari rumah itu, kan?"

Faida mengangguk dengan cepat sebelum ekspresinya tertangkap lebih.

"Apakah ada sesuatu yang tidak kuketahui?"

Lagi-lagi Faida menggeleng dengan cepat. "Tentu saja tidak."

***

Setelah mobil Al Biru menghilang dari balik gerbang tinggi, Bastian menuruni udakan dan berjalan ke arah carport.

Chellyn mengekor di belakang dan berhasil menyamai langkah pria itu lalu menangkap lengan Bastian. "Mau ke mana kau?"

Langkah Bastian terhenti, menatap wajah Chellyn dengan kegusaran yang begitu jelas. "Bukan urusanmu," jawabnya dingin dan menyentakkan tangannya dari genggaman Chelly.

Chellyn terkejut dengan jawaban kasar tersebut. "Apa?"

Bastian tak menggubris, menghampiri salah satu mobilnya yang terdekat. Ia sudah membuka pintu mobil, tapi kembali ditutup oleh Chellyn.

"Ada apa denganmu?" tanya Chellyn penuh keheranan. "Apa ini karena Bia?"

"Kau pikir kemunculannya di rumah ini tidak akan mempengaruhiku, hah?"

Mata Chellyn mengerjap, lalu berubah kesal dalam sedetik. "Kenapa dia masih mempengaruhimu? Kalian sudah putus. Dan kita sudah menikah. Aku bahkan tengah hamil anakmu, Bastian. Kenapa kau menjadi kesal karena dia akan menikah dengan pria lain? Hubungan kalian sudah selesai."

Wajah Bastian mengeras. Bukannya tersadar, kalimat Chellyn semakin membuat amarahnya bergemuruh. Ia tak rela jika Bia akan menjadi milik pria lain. Apalagi pamannya.

"Kau sudah mencampakkannya, Bastian. Untuk apa lagi kau menoleh ke belakang. Semua itu ..."

"Cukup, Chelly," geram Bastian. Kata-kata Chellyn membuat kepalanya semakin berdenyut dan gemuruh di dadanya sulit untuk dikendalikan. "Sebaiknya kau diam. Perasaanku hanya akan menjadi urusanku. Jangan ikut campur!"

Bastian menyingkirkan Chellyn dari hadapannya dan masuk ke dalam mobil. Sementara Chellyn hanya mematung, menatap mobil yang melesat pergi.

Menjerit keras melampiaskan amarahnya. Semua mimpi yang sudah berhasil berada dalam genggamannya, kini terancam hancur. Dan lagi-lagi semua itu karena Bia.

***

"Sudah sampai," gumam Al Biru, menyentuhkan telapak tangannya di pundak Bia yang sejak tadi pandangannya terarah pada jendela mobil. Sepanjang perjalanan, wanita itu tak banyak bicara selain menjawab singkat pertanyaannya. Ia pikir wanita itu tertidur, tetapi dari bayangan kaca bisa terlihat kalau Bia tengah termenung. Entah apa yang tengah wanita itu pikirkan, tampaknya wanita itu terlalu tenggelam hingga tak menyadari keberadaannya.

Bia mengerjap, kedua matanya seketika teralih pada sekeliling mobil yang sudah sampai di sekitar hotel. Ia pun menoleh dan ke samping dan melihat Al Biru yang menggenggam salah satu tangannya.

"Kenapa? Kau merasa tidak enak badan?"

Bia menggeleng. "A-aku hanya gugup."

"Karena hari pernikahan?"

Bia tak mengangguk. Dalam hati meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan yang tepat. Satu-satunya jalan yang paling tepat yang ia miliki.

Al Biru memutar tubuhnya, salah satu tangannya merogoh saku di balik jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hijau tua. Saat pria itu membuka, sebuah cincin dengan hiasan batu rubi berwarna hijau zamrud tampak berkilau. Mengejutkan Bia.

Untuk sejenak, Bia masih terpaku. Menatap wajah Al Biru dan cincin tersebut bergantian. Apakah ini semacam acara lamaran? Untuk? Bukankah Al Biru sudah melakukannya di ruang kerja pria itu beberapa hari yang lalu?

Bia pernah mengharapkan hal semacam ini, pada seorang Bastian. Tetapi semaua harapan itu sudah lama sirna. Jadi ... ia pun tak mengharapkan Al Biru melakukan lamaran pada umumnya. Toh keduanya tahu pernikahan mereka adalah kesepakatan yang sudah disepakati bersama dengan tujuan yang sama-sama gamblang. "Apa ini?"

"Pengikat?" Al Biru mengangkat tangan Bia dan menyelipkan cincin dengan hiasan batu rubi tersebut di jari manis Bia.

Kening Bia berkerut. Alih-alih lamaran, Al Biru malah mengatakan sebagai pengikat.

"Sekarang, kau sudah menjadi bagian dari keluarga Atmadja."

Bia tak mengerti dengan kalimat Al Biru. "Bukankah pernikahan masih dua minggu lagi? Kita tak pernah tahu apa yang mungkin akan terjadi dalam dua minggi ke depan."

"Aku tahu." Al Biru mengusap batu rubi di tengah cincin tersebut. "Ini adalah milik mendiang ibuku. Aku memberikannya padamu karena aku yakin kau pilihan terbaik yang kumiliki dan kau tak akan berubah pikiran karena ini milik ibuku." Al Biru terdiam sejenak, menatap kedua mata Bia lebih dalam. "Aku tahu kau menghargai kedua orang tuamu dengan sangat baik. Kau bahkan melakukan semua ini demi membersihkan nama mereka. Sama seperti aku tak akan mengecewakan ibuku, kau juga akan melakukan hal itu, kan?"

Bia terdiam. Memahami arti seorang ibu di mata Al Biru. Seketika ia menyadari, tak banyak hal baik yang telah ia berikan untuk kedua orang tuanya. Air mata menggenang di kedua mata Bia, tetapi sebelum meleleh, wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengangguk. "Aku mengerti."

"Sekarang kau merasa yakin?"

Bia mengangguk. Dan kali ini tak ada keraguan apa pun yang menggayuti hatinya. Pilihannya sudah benar. Keputusannya sudah tepat. Ia akan menggunakan nama Atmadja untuk mengembalikan semua pada tempatnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro