Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bia mendaratkan pantatnya di kursi yang ditarik Al Biru untuknya. Tepat di samping kanan kursi Al Biru yang duduk di kepala meja. "Terima kasih." Bia memberikan senyum terbaiknya. Yang tentu saja menjadi pusat perhatian setiap anggota yang duduk mengelilingi meja makan. Segala macam hidangan memenuhi meja.

Al Biru membungkuk dan mendaratkan kecupan di ujung kepala Bia. Interaksi tersebut tentu saja tak lepas dari pengamatan Erum dan Bastian yang duduk di seberang meja, tepat di depan Bia.

Bastian membeku, pandangannya beradu dengan Bia dengan emosi yang memekati kedua matanya. Kecemburuan, pengkhianatan, dan kemarahan bercampur jadi satu. Berbanding terbalik dengan Erum, Amanda, Chellyn, dan Faida yang lebih dominan kecemburuan. Ya, mereka semua memiliki alasan yang cukup banyak untuk terkejut dan tidak mengharapkan keberadaan Bia Sienna di rumah ini. Apalagi di ruangan ini. Berbagi meja dengan seorang Bia Sienna.

Semua orang menampakkan sikap yang baik kepada Bia ketika Al Biru memperkenalkan dirinya sebagai tunangan.

Ya, Al Biru tahu Bastian temannya. Begitu pun dengan Chellyn sebagai seorang sepupu dan Faida sebagai seorang tante. Ketiganya menyapanya dengan sewajarnya, seolah hanya seseorang yang pernah saling mengenal. Al Biru sendiri memahami hubungannya dengan sang tante dan sepupu yang tidak cukup baik.

"Karena kita akan segera menjadi keluarga, kalian bisa mencoba saling mengenal dan lebih dekat." Al Biru menatap semua orang bergantian, lebih lama pada Faida dan Chellyn.

Sejak Chellyn dan Bastian menikah, Chellyn yang merupakan anak kesayangan Faida tentu saja tak ingin dipisahkan dengan sang mama. Terutama dengan Chellyn yang tengah mengandung anak Bastian. Buah hati keduanya yang dimiliki saat Bastian menjalin hubungan dengan Bia.

Kecelakaan kedua orang tuanya, pengkhianatan Bastian, dan perusahaan. Semuanya meninggalkan Bia di saat yang bersamaan.

Acara makan malam berlangsung dengan penuh keheningan. Keberadaan Al Biru jelas mendominasi seluruh anggota keluarga ini. Padangan Bia beralih pada Chellyn yang duduk di samping Bastian. Kebencian di mata sepupunya seolah bertumpuk semakin tinggi dan ia pun tak merasa perlu peduli. Sejak dulu Chellyn memang tak bisa mengendalikan rasa iri dengki wanita itu terhadapnya.

Chellyn tak berhenti menatap ke arah cincin berlian yang terselip di jari manis Bia. Ia yakin itu adalah cincin tunangan Bia dengan Al Biru. Rasa iri dan dengki memenuhi dadanya mengetahui cincin itu lebih mahal dan mewah dari yang dimilikinya. Bahkan berlian di cincin pernikahannya dan Bastian saja tidak sebesar dengan yang dimiliki oleh Bia saat ini.

Kedatangan sepupunya itu di rumah ini pasti dengan niat merebut Bastian darinya. Tidak, Chellyn tak akan membiarkan hal itu terjadi. Bastian hanya miliknya. Ia tak akan pernah mengembalikan Bastian pada Bia.

Setelah acara makan malam selesai, Al Biru membawanya ke ruang tengah untuk berbincang dan mengenalkan Bia lebih dekat dengan anggota keluarganya.

"Al Biru, bisakah kakak bicara denganmu sejenak?" Erum beranjak berdiri, bertatapan dengan sang adik tiri. Ya, Erum Atmadja adalah kakak tiri Al Biru. Keduanya dilahirkan dari ibu yang berbeda, meski seluruh aset perusahaan adalah hak sepenuhnya ibu Al Biru. Yang merupakan putri tunggal konglomerat terpandang di kota ini. Bia tentu saja sudah menyelidiki semuanya. Semua detail tentang Al Biru Atmadja.

Bia sama sekali tak tertarik mengetahui semua itu, setidaknya itu sebelum semua orang membuang ke jalanan dan melemparkan kotoran atas nama kedua orang tuanya. Sekarang, setiap detail tentang Al Biru harus ia ketahui.

Al Biru menoleh ke arah Bia meminta ijin, Bia sendiri yang merasa tak nyaman pun berkata, "Aku ingin ke kamar mandi."

Al Biru mengangguk sekali, menunjukkan arah kamar mandi yang ada di kamar tamu sebelum berpamit akan bicara dengan sang kakak. "Aku tak akan lama."

Bia mengangguk, masuk ke dalam kamar tamu yang pintunya dibukakan oleh Al Biru lalu ditutup kembali. Bia sengaja berlama-lama di kamar mandi untuk sekedar merapikan polesan lipstiknya yang masih rapi. Mencuci tangannya yang sudah bersih dan merapikan helaian rambutnya yang tetap rapi. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Sekarang tidak ada lagi yang akan menghinanya. Tidak akan ada yang berani menginjaknya. Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan menguasai semuanya. Mengembalikan semuanya ke tempat semula.

***

"Apa kau yakin akan menikahinya?" Erum mencoba menggoyahkan keputusan Al Biru. Tak menyangka gadis yang ia hina dan usir dari rumah ini karena keluarganya jatuh bangkrut dengan reputasi yang sudah hancur itu akan kembali muncul di hidupnya. Berani menginjakkan kaki di rumah ini. Sudah jelas niat Bia mendekati Al Biru. Hanya karena kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Al Biru Atmadja. Benar-benar keluarga yang licik. Anak sama saja dengan orang tuanya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. "Kau tahu siapa dia, kan? Dia anak dari pasangan Sienna. Mereka terlibat penipuan. Kau yakin anaknya tidak memiliki niat tertentu untuk mendekatimu?"

"Itu hanya gosip, Kak. Lagipula perusahaan mereka sudah berada di tanganku, memang berada di ambang kebangkrutan, tapi aku tak menemukan kejanggalan dalam pembukuannya. Hanya ... memang sedikit tidak beruntung saja."

"Dia pasti memiliki niat buruk terhadapmu. Cobalah kau pertimbangkan lagi keputusanmu. Dia tak sungguh-sungguh tulus mencintaimu."

Al Biru menatap wajah sang kakak yang berdiri di depan mejanya. Tak menyangkal, mereka berdua memang menikah bukan karena saling mencintai. Tapi bukan berarti pernikahan ini tidak sungguh-sungguh. Dan keduanya tidak ada yang membutuhkna cinta.

"Kakak memiliki beberapa kenalan. Salah satu putri mereka pasti ..." Erum berhenti ketika tangan Al Biru terangkat sebagai isyarat bahwa ia tak perlu melanjutkan kalimatnya.

"Aku berterima kasih untuk niat baik Kakak. Tapi ini hidupku, ini pernikahanku. Biarkan aku yang mengambil keputusan."

Erum terdiam, menutup mulutnya dan tahu sang adik tak ingin ia bicara lebih banyak lagi.

"Aku tahu kakak tak menyukainya, atau mungkin belum. Tapi kalian akan segera menjadi akrab. Bukankah kita keluarga? Maksudku akan segera menjadi keluarga. Keluarga di atas segalanya." Al Biru bangkit berdiri. Melihat sang kakak yang tak berkata apa pun lagi, sepertinya tidak ada hal akan dibicarakan dengannya lagi. "Ah, aku ingin minta tolong pada kakak."

"Ya. Apa?" Erum menampilkan senyumnya setulus mungkin.

"Aku ingin kakak bertanggung jawab untuk resepsi pernikahanku. Sebaiknya berlangsung sangat meriah. Karena ini akan menjadi pengalaman satu-satunya bagiku. Aku harus memberikan yang terbaik untuk istriku."

Erum menelan ludahnya, memaksa senyum tetap menghiasi bibirnya meski mulai sedikit sulit. Tak tahan dengan empat kata terakhir, yang terbaik untuk istriku. "K-kapan?"

"Dua minggu lagi."

Erum berusaha sangat keras untuk tetap tersenyum meski terkejut setengah mati di dalam hatinya akan waktu yang begitu singkat dalam rencana pernikahan tersebut.

"Pernikahan akan dilakukan dengan sederhana, seperti yang diinginkan Bia. Hanya keluarga dekat. Tapi resepsinya aku ingin menjadi pesta yang meriah."

Erum memberikan satu anggukan yang dipaksakan. "B-baiklah. Aku akan melakukan yang terbaik dan tidak akan mengecewakanmu."

"Terima kasih." Al Biru mengangguk dan berpamit sebelum keluar dari ruang kerjanya.

Senyum Erum seketika raib dari wajahnya, digantikan amarah yang membekukan seluruh permukaan wajahnya. Dua minggu, ia masih punya waktu dua minggu untuk mengagalkan pernikahan ini. Ia tak sudi gadis miskin itu menjadi istri Al Biru.

***

Bia baru saja akan membuka pintu kamar tamu ketika tiba-tiba pintu didorong terbuka dan Bastian mendorongnya kembali masuk. Wanita itu terkesiap dan tubuhnya terdorong ke belakang ketika Bastian menutup pintu di belakang pria itu. Bastian menyambar lengan Bia dan menariknya wanita ke dinding kamar.

"Apa yang kau lakukan, Bia?" desis Bastian tajam, tubuhnya menghimpit tubuh Bia di dinding. "Kenapa kau di sini?"

"Apa yang kau lakukan sekarang, Bastian?" Bia sama sekali tak terpengaruh dengan emosi yang memekati permukaan wajah pria itu. Suaranya lebih kuat dari Bastian dan mendorong tubuh pria itu menjauh darinya.

"Apa sekarang kau menggunakan pamanku untuk membalas dendam padaku?"

Bia mendengus. "Karena kau menghamili Chellyn. Kau hanya berengsek, Bastian. Aku hanya menyayangkan waktu yang terbuang selama kita berkencan, tapi rasanya terlalu rendah jika aku membalas dendam untuk ketidak setiaanmu."

Wajah Bastian mengeras.

"Karena sibuk jatuh cinta denganmu, aku mengabaikan hal paling berharga yang sekarang sudah terenggut dariku." Bia terdiam, bayangan kematian kedua orang tuanya begitu jelas di ingatannya. "Sekarang aku sudah tersadar, ternyata hidup tak pernah menjadi seindah yang ada di pikiranku. Semua menamparku dengan keras, secara bersamaan."

Bastian terdiam. Kesedihan di wajah Bia menyentuh hatinya. Ia tak pernah menyesal bertemu dengan Bia. Ia jatuh cinta pada wanita itu dengan tulus. Semua yang dilakukan dan diberikannya pada Bia adalah ketulusan. Dan ia merasa bersalah telah mengkhianati Bia. Berselingkuh dengan Chellyn, yang adalah sepupu Bia. Ia sungguh minta maaf. Bahkan di saat terburuk yang dialami Bia ketika kedua orang tua gadis itu meninggal, ia malah meninggalkan Bia dengan menikah Chellyn.

Sungguh, ia sudah berusaha mencari Bia untuk meminta maaf dan membantu gadis itu. Tapi Bia tiba-tiba menghilang, gadis itu sudah meninggalkan rumah yang sudah dijual oleh mertuanya. Begitu pun dengan perusahaan.

"Aku sudah meminta maaf."

Bia tertawa, nyaring dan dingin. "Apakah kau pikir permintaan maafmu cukup untuk mengembalikan semua yang sudah hilang dariku? Mengembalikan sakit hatiku? Menghidupkan kedua orang tuaku?" Ada ketajaman yang begitu dalam ketika Bia mengucapkan kalimat terakhir. Satu-satunya hal yang tak termaafkan adalah kematian kedua orang tuanya. Ia tak akan memaafkan semua orang yang terlibat dalam kematian kedua orang tuanya. Termasuk dirinya sendiri.

"Aku tak bertanggung jawab untuk kematian kedua orang tuamu. Aku juga sedih ketika mendengar kabar itu."

"Sedih?" Sekali lagi Bia tertawa dengan nyaring, tepat di depan wajah Bastian yang membeku. Terkejut dengan tawa Bia yang membuat bulu kuduknya meremang. Ya, tentu saja. Bia yang dikenal Bastian adalah Bia yang manis dan tulus. Juga polos dan bodoh. Sekarang, tidak ada lagi Bianya Bastian. Sekarang dia akan menjadi Bia Atmadja. "Apakah seperti itu caramu bersedih untukku? Tersenyum lebar di pesta pernikahanmu dan Chellyn."

Bastian terkejut. "K-kau datang?"

"Ya, aku tak boleh menolak niat baik seorang teman yang ingin mengundangku untuk menyaksikan kebahagiaan kalian, kan?"

"Kau mendapatkan undangan?"

Bia menangkap keterkejutan yang tercipta di wajah Bastian. Pria itu seolah tak mengetahui tentang undangan yang dikirim padanya. Ah, ya. Sudah tentu ini adalah perbuatan Chellyn. Tapi bukan itu yang terpenting. Semua itu sudah tidak penting. Bia mendorong tubuh Bastian menjauh dan berjalan ke arah pintu.

"Kau tahu aku menikahinya karena harus bertanggung jawab padanya."

Langkah Bia terhenti. "Ya, kau memang harus bertanggung jawab. Bagaimana pun, aku tak ingin memaksakan keadaan dan memisahkanmu dengan darah dagingmu, kan?"

"Kau tahu dia menjebakku?"

Bia mendengus. Ya, Chellyn memang menjebak Bastian. Itu pertama kalinya Bastian tidur dengan Chellyn. Akan tetapi, kedua, ketiga, dan selanjutnya, jelas itu bukan sebuah jebakan. Faktanya, Bastian berselingkuh di belakangnya.

"Kuharap kita bisa saling bersikap baik, Bastian. Kita akan segera menjadi keluarga. Tidak sulit, kan? Kita pernah saling berhubungan sangat baik."

Juga sangat indah, batin Bia melanjutkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro