Part 3 Pertemuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyum Al Biru tak henti-hentinya tersungging penuh kepuasan di wajah pria itu ketika keduanya keluar dari ruangan dokter. Pria itu tampak begitu bahagia, seolah telah mendapatkan jackpot yang begitu besar. Dan bisa dibilang tak ternilai harganya.

"Tak hanya rahimmu yang sehat dan siap untuk mengandung, ternyata kau juga masih perawan?"

Wajah Bia tak bisa lebih merah padam lagi. "Apakah itu begitu mengejutkanmu?"

"Ya, aku tak terbiasa memerawani wanita. Sepertinya kau akan menjadi pengalaman pertamaku."

Tak sanggup membalas tatapan intens Al Biru, Bia memalingkan wajahnya ke depan. Terus melangkah mendahului Al Biru yang masih sibuk dengan keperawanannya. Ya, memangnya kenapa kalau dia masih perawan di umur yang sudah menginjak 23 tahun? Bahkan setelah memiliki hubungan dengan seorang pria dan ia menjaga dirinya untuk tak ternoda. Apakah ini sebuah lelucon di mata pria itu?

Kesucian yang ia jaga demi calon suami yang akan menjadi pusat hidupnya, semua itu tak ada artinya lagi bagi Bia. Keperawanannya juga salah satu alasan yang membuatnya patah hati dan hancur seperti ini.

Sekarang semua itu tak lebih dari salah satu bagian tubuhnya yang indah. Ia akan memberikannya pada siapa pun, yang bisa menariknya dari kubangan lumpur yang saat ini menenggelamkannya. Al Biru Atmadja. Jika itu sangat menyenangkan bagi Al Biru, Bia rasanya itu akan setimpal dengan apa yang akan diberikan oleh Al Biru darinya.

"Apa kau pernah berkencan dengan seorang pria?"

Mata Bia mengerjap sekali, tak tahan dengan pertanyaan yang rasanya seperti meremas hatinya hingga kering tersebut. Bukan salah Al Biru kisah cintanya yang memang harus berakhir dengan menyedihkan. Tapi luka dan pengkhianatan sang kekasihlah yang masih begitu membekas di dadanya. Begitu dalam hingga Bia kesulitan untuk menguburnya seorang diri.

"Ah. Jadi sudah pernah. Berapa lama?"

Bia membuang pandangannya, menatap ke depan. Tak ingin Al Biru mengupas lebih banyak lagi tentang dirinya.

Al Biru pun tak mendesak lebih jauh lagi. Luka dan kepedihan yang sempat tertangkap di kedua matanya cukup sebagai batasan bagi Biru untuk melangkah lebih jauh lagi ke dalam masa lalu Bia. Sudah tentu kisah wanita itu tak berakhir baik. Tetapi masa depan wanita itu jelas akan menjadi miliknya. Dan ia akan memberikan kisah yang lebih baik. Meski pernikahan mereka tidak akan penuh cinta, karena ia tak percaya omong kosong tersebut dan sepertinya Bia pun setuju. Mereka jelas akan menjadi pasangan yang sempurna. Cantik dan memesona. Al Biru hanya ingin pernikahan yang baik dan normal. Tak akan mengeluhkan apa pun lagi. Hanya ini satu-satunya hal yang belum didapatkannya di antara semua keberhasilan yang sudah ia genggam saat ini.

"Kau lapar?" tanya Al Biru setelah keduanya duduk di dalam mobil dan melaju meninggalkan halaman rumah sakit.

Bia menggeleng, tapi Al Biru tetap membawanya ke salah satu restoran terdekat dan memesankan makanan juga minuman untuknya. "Aku sudah bilang tidak lapar."

"Kita membutuhkannya." Al Biru tersenyum, memberikan menu pada pelayan dan kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Bia. "Jadi, kau ingin pernikahan seperti apa? Sederhana atau mewah?"

"Sederhana."

"Kalau begitu mewah."

Bia menatap wajah Al Biru dan terdiam. Tak peduli tujuan pria itu bertanya jika sudah memutuskannya.

Al Biru menatap reaksi Bia yang datar. "Hmm, kalau begitu pernikahan yang sederhana tapi ... aku akan membuat acara resepsinya menjadi sebuah pernikahan yang mewah. Kau tahu aku pemimpin Atmadja. Tak mungkin harus diam-diam atau menyembunyikan istri yang kunikahi, kan?"

Bia diam sejenak dan memberikan anggukan singkat pada Al Biru. "Apa yang kau pikirkan jika orang tahu akulah orang yang kau nikahi? Putri dari seorang penipu."

Al Biru tersenyum. "Kau bilang mereka bukan penipu, kan? Aku hanya perlu menunggumu membersihkan nama kedua orang tuamu."

Bia tak tahu apa tujuan Al Biru mengatakan kalimat penuh empati tersebut. Dan Bia tak ingin mencari tahu lebih jauh. Semua yang membawanya ke hadapan pria itu saat ini adalah alasan tersebut. Empati atau apa pun perasaan Al Biru kepadanya sama sekali tidak penting. Ia membutuhkan dukungan dan kekuasan yang pria itu miliki. Hanya itu.

"Malam ini ada acara makan malam untuk keluarga besarku. Aku akan membawamu untuj kuperkenalkan sebagai tunanganku."

Bia terpaku, bibirnya membeku ketika mengulang kalimat yang baru saja diucapkan oleh Al Biru dengan penuh ketenangan. Seolah keputusan itu sudah dibuat dengan begitu matang tanpa membutuhkan kesepakatan darinya.

"Kenapa? Kau tak suka?"

Kedua mata Bia berkedip dua kali dengan cepat. Antara adrenalin yang berpaci sekaligus kegugupan yang mengalir di nadinya. "M-malam ini? Tunanganmu?"

"Ya, malam ini dan ya sebagai tunanganku. Aku sudah melamarmu, kan?"

Bia mengangguk, teringat setangkai bunga mawar hijau yang ia buang ke tempat sampah. "Aku akan bersiap," jawabnya kemudian. Secepat ini? Ya, semakn cepat semakin baik, kan. Bia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan tanpa suara.

"Keluargaku sudah terlalu sering mendesakku untuk segera menemukan pasangan. Kau tahu usiaku yang sudah hampir menginjak 40 tahun dan belum memiliki pasangan yang tepat. Beberapa wanita yang dibawa kakakku tak cukup menarik perhatianku atau membuatku melangkah sejauh aku melangkah kepadamu."

Bia hanya mendengarkan dengan seksama. Usia Al Biru 38 tahun, tentu saja di usia itu Al Biru membutuhkan keturunan meski tidak terlalu mendesak bagi pria itu sendiri. "Bolehkah aku bertanya?"

Al Biru mengangguk. "Ya, tentu saja."

"Kenapa aku?"

Kerutan membentuk di antara alis Al Biru yang bertaut. Menatap kedua mata Bia dan perlahan kerutan tersebut memudar, digantikan senyuman yang melengkung. "Aku juga beberapa kali menanyakan pada diriku sendiri, Bia. Kenapa kau, kenapa kau menarik perhatianku lebih besar dari yang kuinginkan. Jika kau mengetahui alasannya, bisakah kau memberitahuku?"

Bia hanya tercenung. Memutuskan tak akan mencari tahunya dan menggeleng satu kali. "Kalau begitu lupakan. Kita tak perlu membuang waktu untuk mencari tahunya. Selama kau tertarik padaku, aku akan mempertahankan prestasiku dan menyenangkanmu. Sebesar keluasan hatimu kepadaku."

Senyum Al Biru melengkung semakin tinggi dengan penuh kebanggaan akan jawaban Bia yang diselimuti kepercayaan diri yang begitu besar. Ia menyukainya. Sangat. Al Biru pun mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Bia, kemudian membawanya ke bibir dan mendaratan satu kecupan di punggung tangan tersebut. "Aku punya sesuatu untukmu," ucapnya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jas.

"A-apa ini?" Bia membelalak menatap kotak beludru berwarna hitam yang dibuka dan menampakkan isinya berupa cincin berlian berwarna hijau yang begitu menyilaukan mata wanita itu.

Al Biru mengambil cincin tersebut dan menyematkannya di jari manis Bia. "Cincin tunangan."

Bia masih terpana pada cincin tersebut. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya menatap cincin lamaran tersebut. Lamaran dan cincin, yang selama ini ia tunggu-tunggu dari sang kekasih. Yang pada akhirnya mengkhianatinya. Sekarang ia mendapatkan kedua hal tersebut dari sesosok asing yang bahkan tak pernah Bia bayangkan akan memberikan padanya. Dengan cara yang romantis. Ya, semua ini terasa begitu romantis. Sikap dan semua perbuatan yang dilakukan Al Biru padanya adalah sebuah keromantisan, meski keromantisan tersebut tak sampai menyentuh hatinya.

"Ah, seharusnya aku juga membawa sebuket bunga untukmu. Cempaka putih mungkin." Al Biru mengerlingkah matanya sebelum melanjutkan. "Sebagai bentuk untuk menghormati keperawananmu."

Bia menelan ludahnya, merasa tak nyaman dengan tatapan intens serta kalimat Al Biru yang sengaja menjurus. Lagi-lagi membicarakan tentang keperawanannya. Apakah pria itu tidak punya topik lain selain membahas hal itu.

Al Biru terkekeh dengan sikap Bia yang tersipu malu. Sekali lagi mengambil tangan Bia dan mendaratkan kecupan di cincin yang tersemat di jari manis wanita itu. Kali ini dengan kecupan yang lebih lama dan dengan tatapan yang tak lepas dari kedua mata Bia. Hingga kemudian keromantisan tersebut terpaksa harus diganggu oleh pelayan yang membawakan pesanan mereka di meja. Al Biru pun melepaskan tangan Bia dan mulai melahap makanan.

Dan jantung Bia tak berhenti dibuat jumpalitan hanya karena sikap intim yang diberikan oleh Al Biru. Bia menepis ketidak nyamanan tersebut. Tidak, ia harus terbiasa dengan semua ini. Sejak ia mendatangi ruang kerja Al Biru Atmadja, seluruh hidupnya sudah ia serahkan pada pria itu. Tubuh dan semua dendam yang merasuk ke dalam tulang sumsumnya, juga milik pria itu.

***

Bia mematut dirinya di depan cermin, gaun malamnya terlihat sempurna memukai. Berwarna silver dengan permata yang menyebar di lengannya yang sepanjang siku. Kerahnya melengkung dan sedikit rendah, ujung belahan dadanya terlihat sedikit. Dengan beberapa detail di pinggang dan mengembang sepanjang lutut. Rambutnya yang ditata bergelombang dengan jepit berbentuk bunga mawar diikat miring ke kanan sehingga lehernya yang jenjang tereskpos dengan bebas. Penampilannya terlihat begitu menawan dan elegan. Ya, ia harus tampil sesempurna mungkin malam ini.

Getaran ringan dari ponsel di ujung tempat tidur yang dipenuhi kantung-kantung pakaian dan sepatu yang diberikan Al Biru berserakan di sana. Bia tak punya waktu membereskan semua kekacauan ini, ia tak tak punya waktu.

"Ya?" jawabnya setelah menggeser tombol hijau dan suara Al Biru langsung menjawab dari seberang. "Aku sudah selesai."

"Aku akan menunggumu di depan hotel."

"Aku turun sekarang." Bia mengangguk sembari mengenakan heelsnya dan menyambar tas tangannya di meja. Melangkah keluar dari kamar suite tersebut dan langsung menuju lift khusus yang membawanya ke lantai satu.

Al Biru terlihat lebih rapi dari biasanya. Rambut pria itu yang disisir rapi ke belakang menyentuh kerah bagian belakang jas, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana dan bersandar pada bagian depan mobil.

Pria itu sempat tercengang dengan penampilan Bia, buruh beberapa saat yang lebih lama untuk berpaling. Tapi ia jelas tak bersungguh-sungguh untuk mengabaikan dorongan dirinya meraih pinggang Bia begitu wanita itu sampai di depannya. Kemudian mendaratkan lumatan yang dalam dan singkat di bibir wanita itu. "Kau begitu memesona. Aku benar-benar tak tahan jika harus menunggu pernikahan kita untuk menginginkanmu," bisiknya dengan lirih tanpa melepaskan pertautan bibir mereka.

Wajah Bia merah padam dan tertunduk malu. Kedua tangannya di depan dada Al Biru berusaha membuat jarak sebisa mungkin dari pria itu. Takut jika degupan jantungnya yang keras terdengar oleh pria itu. Bia mengurai dirinya lebih dulu dari lilitan lengan Al Biru dan berkata, "Kita harus pergi atau bisa terlambat ke acara makan malam keluargamu, Al Biru."

Al Biru mengangguk dan menjauhkan tubuhnya dari Bia. "Kau benar. Dan panggil saja Biru. Jangan terlihat begitu kaku dengan tunanganmu, Bia."

Bia menelan ludahnya, tak sungguh-sungguh mendengarkan kalimat Al Biru karena sibuk dengan rasa tak nyaman di dalam dadanya.

Al Biru membukakan pintu mobil untuk Bia. Memastikan wanita itu duduk dengan nyaman dan aman sebelum kembali ke balik kemudi.

Perjalanan ke rumah utama Atmadja memerlukan waktu lebih dari satu jam. Rumah mewah dengan empat lantai dan dengan gerbang tinggi berwarna putih itu, pandangan Bia mengamati keluar mobil. Ini adalah kedua kalinya ia datang ke rumah ini. Pertama kalinya ia datang dengan kepala tertunduk, kali ini Bia harus memastikan wajahnya terangkat. Tak ada lagi penghinaan yang pantas ia terima.

Mobil berhenti di halaman depan rumah dan sebelum mobil itu benar-benar berhenti, Bia bisa melihat beberapa orang yang menunggu di teras rumah besar tersebut. Di antara pilar tinggi hingga lantai teratas rumah. Pandangan Bia mengamati satu persatu wajah yang berjajar menunggu kedatangannya dan Al Biru dengan penuh senyum semringah tersebut. Memasang senyum terbaik mereka demi menyambut kedatangan keduanya. Dan Bia tentu saja mengenali semua wajah familiar tersebut. Semuanya, tanpa terkecuali.

"Mereka benar-benar tak sabar ingin bertemu denganmu hingga menunggu diteras," gumam Al Biru dengan senyum yang tak kalah lebarnya dengan semua orang-orang itu. Hingga mobil berhenti tepat di depan mereka, Al Biru turun lebih dulu dan membukakan pintu untuknya.

Bia menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, kemudian menangkap ulurang tangan Al Biru dan melangkah turun. Ketika Bia menampilkan wajahnya dengan senyum sesempurna yang bisa, ia berhasil melenyapkan senyum semua orang yang tengah menunggu kedatangan mereka.

Bia pun tersenyum dengan puas di dalam hati melihat keterkejutan yang begitu besar di setiap pasang mata semuanya. Mulai dari Bastian Atmadja sang mantan kekasih, Chellyn Rosalind Atmadja sang sepupu yang sudah menjadi istri Bastian, Erum Atmadja ibu dari Bastian, dan terakhir Faida Sienna Bailey sang tante yang sudah merenggut segala hal di hidupnya dan membuangnya ke jalanan seperti sampah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro