Part 1 Kesepakatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

###

Bia mendorong dada Al Biru menjauh. Napasnya terengah dan ia benar-benar kewalahan mengikuti ciuman pria ini. Ya, ini bukan ciuman pertamanya. Tapi jelas dari cara Al Biru melumat bibirnya, pria itu sudah sangat berpengalaman. Jauh berpengalaman dibanding dirinya yang masih begitu muda.

Bia tak pernah membayangkan, di umurnya yang baru menginjak 23 tahun, sengaja menggoda pria dewasa matang yang usianya 15 tahun di atasnya. Tanpa Bia duga, pria itu tertarik pada dirinya. Pada kecantikannya jika boleh menegaskan. Ya, hanya kecantikan ini satu-satunya hal yang tersisa. Kedua orang tua, kekasih, dan seluruh peninggalan kedua orang tuanya. Meninggalkan Bia dalam kubangan sakit hati di dadanya. Hanya kecantikan ini yang masih setia menemani di titik terendah hidupnya.

Dan tanpa Bia duga, umpannya diterima dengan tangan terbuka oleh Al Biru. Mungkin pria itu hanya suka bersenang-senang dengan para wanita cantik. Akan menggunakannya sebagai barang yang layak dipamerkan. Memetik bunga yang baru saja mekar. Atau entah apa pun tujuan Al Biru melemparkan kesepakatan pernikahan ini. Bia tak peduli. Toh dia juga punya tujuan sendiri mendekati pria ini. Hanya inilah satu-satunya keberuntungan yang ia butuhkan untuk bangkit dari keterpurukannya.

Kekehan Al Biru akan ekspresi Bia yang kesulitan bernapas memecah lamunan Bia. Pria itu tampak gemas dengan wajahnya yang merah merona, seperti perawan yang polos. Ya, Bia memang masih perawan. Dan tentu saja, Bia. Al Biru pria dewasa dengan kadar terstoteron yang cukup tinggi, sepertinya. Sangat jelas dengan wajah setampan itu dan tahta yang pria itu miliki, Al Biru tak akan kesulitan untuk menyalurkan kebutuhannya. Bia yakin tak sedikit wanita yang rela membuka kedua kakinya untuk pria ini.

Setelah napas Bia kembali normal, wanita itu melangkah mundur. Lebih mundur lagi ketika Al Biru mencoba mendekat dengan ujung bibir yang berkedut tak suka akan jarak yang berusaha Bia raih.

"Sekarang, hanya ini yang bisa kuberikan sebagai sampel." Suara Bia terdengar tegas meski jantungnya masih berdegup kencang efek dari ciuman. Mereka baru saja bertemu dua kali dan pria itu sudah menginginkan seluruhnya. Bia hanya perlu mengulur waktu dan sedikit membiarkan Al Biru mencicipi apa yang akan ia tawarkan. Kepercayaan dirinya mendadak meningkat melihay ketertarikan Al Biru yang semakin meningkat. Pria ini butuh diinginkan, dan terkadang butuh mengejar. Bia bisa memberinya semuanya.

Salah satu alis Al Biru terangkat, kemudian senyum mengembang di sana. Tangannya terangkat dan ibu jarinya mengelus basah di sepanjang bibir bagian bawahnya. Kemudian menjilat ujung ibu jarinya. "Manis?" komentarnya dengan tatapan yang dipenuhi hasrat tanpa ditutup-tutupi.

Wajah Bia tak bisa lebih merah lagi. Napasnya tercekat dan perutnya bergejolak oleh sesuatu yang begitu asing. Asing karena ia tak menginginkannya. Dulu, ketika Bastian menciumnya, gejolak itu terasa begitu membahagiakannya. Bia segera menepis pemikiran tentang Bastian. Tak pantas untuk detik yang sudah ia lewatkan demi memikirkan pria itu.

Bia berdehem, membasahi tenggorokannya yang kering. "Bisakah kita membicarakan kesepakatan ini sebelum melangkah lebih jauh?"

Al Biru mengedikkan bahunya. Memutar tubuh untuk memilah-milah beberapa tumpukan di meja dan mengambil dua berkas di tengah-tengah. Satu sangat tebal dan satunya tipis. Mengarahkan Bia ke set sofa yang berada tepat di depan mejanya. Ia duduk di sofa kulit hitam dan Bia di samping kirinya. Al Biru meletakkan berkas tersebut di depan Bia.

Al Biru menunjuk dengan dagu sebagai isyarat bagi Bia untuk membukanya. Dan Bia pun langsung memeriksa berkas tersebut.

"Perusahaan itu cukup buruk. Aku membelinya karena rekomendasi seseorang yang tentu saja lebih banyak belas kasihnya dibanding memikirkan keuntungan yang bisa kudapatkan."

"Apa maksudmu?"

Al Biru membungkuk. Menunjuk berkas tebal di meja dan berkata, "Itu masalah dan ..." Al Biru menunjuk berkas yang tipis. "Itu hanya lembaran yang membuktikan bahwa aku pemilik perusahaan papamu secara sah."

Bia terdiam. Ya, papanya memang mengatakan perusahaan berada di ambang kebangkrutan, tapi masih diselamatkan. Itulah sebabnya mama dan papanya pergi menemui teman di luar kota untuk meminta bantuan. "Aku ingin menyelamatkannya."

Mata Al Biru menyipit. Jelas menyangsikan keputusan Bia yang konyol dan setengah bodoh itu. Di umur yang begitu muda dan tak berpengalaman dalam menangani bisnis, wanita itu sungguh sentimental.

"Aku membelinya bukan untuk memperbaikinya."

"Aku akan menikah denganmu. Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan dariku. Kau bisa menggunakan apa yang kumiliki. Kecantikan ataupun menjadi istri. Dan hanya ini yang kuminta darimu. Selamatkan perusahaan ini."

Al Biru menyeringai. Wanita ini memang cantik, lebih dari cantik dan memuaskan pandangannya. Dan sialnya Bia memahami benar kecantikannya dan menggunakannya dengan sangat baik. Wanita seperti ini akan mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Siapa pun akan mengabulkan keinginannya. Dan double sialan. Al Biru tak menginginkan wanita ini menjadi milik siapa pun selain dirinya. Untuk pertemuan pertama mereka dan untuk saat ini. Juga untuk di masa depan.

"Aku akan memberimu anak." Bia bergerak ke samping. Saran paling konyol yang pernah terpikirkan di saat keputus asaan menderanya hingga ia kesulitan bernapas. Hanya inilah alasannya bisa bertahan hingga saat ini. Hanya inilah satu-satunya cara untuk memperbaiki nama kedua orang tuanya.

Mata Al Biru semakin menyipit tajam. Bukan ke kedua mata Bia melainkan pada kemeja berbahan tipis yang dikenakan oleh Bia dengan dua kancing teratas yang sengaja dibuka. Saat wanita itu bergerak ke samping, pakaiannya tersingkap sedikit. Kesengajaan yang tampak tidak disengaja. Wanita ini benar-benar menantang. Dan ... apa tadi yang dikatakan Bia. "Anak?" Pandangan Al Biru naik kembali ke wajah Bia. Yang jelas berpura tak menyadari pengaruh besar wanita itu terhadap gairahnya yang meletup. Satu-satunya hal yang ia pikirkan bukanlah anak, tapi cara yang akan mereka gunakan untuk membuat anaklah yang lebih menarik baginya.

Sungguh, jika pembicaraan mereka saat ini sama sekali tak menarik. Saat ini juga Al Biru akan melompat ke arah wanita itu. Melucuti setiap helai kain yang menempel di tubuh Bia dan bercinta dengan wanita itu di sofa. Tapi tidak ... ia harus bersabar. Bersabar untuk sesuatu yang lebih. Dan Al Biru yakin akan ia dapatkan dari wanita ini.

"Ya, anak. Seperti yang kau bilang. Di usiamu yang tak muda lagi, kau tak punya waktu untuk bermain-main. Pada akhirnya, kau akan membutuhkan darah dagingmu untuk meneruskan segala yang kau miliki saat ini, kan?"

Butuh beberapa detik lebih lama bagi Al Bitu untuk memfokuskan pembicaraan serius mereka daripada memikirkan lebih banyak kemolekan tubuh Bia. Dan Al Biru tak bisa menyangkal setiap kata yang diucapkan oleh wanita itu. Ya, pernikahan pada akhirnya akan membawa mereka pada garis keturunannya. Dan lagi lagi cara yang akan mereka gunakan untuk meneruskan garis keturunannyalah yang memenuhi pemikiran Al Biru. Darahnya berdesir, mengaliri seluruh aliran darahnya dengan cepat.

"Aku masih muda, kupikir aku tidak akan kesulitan untuk memberimu anak."

Sungguh tawaran yang menggiurkan. Amat sangat menggiurkan dan sulit Al biru tolak.

"Apakah perusahaan ini sepadan dengan semua yang akan kau berikan padaku?"

Bia mengangguk dengan mantap. Sakit hati dan keputus asaan memberinya dorongan yang lebih kuat dalam menentukan pilihannya saat inu. Mungkin ia akan menyesal ketika kewarasannya kembali. Tapi, sepertinya kewarasannya pun juga ikut pergi bersama kedua orang tuanya dan Bastian. "Itulah alasanku bisa bertahan hidup hingga saat ini. Aku butuh membersihkan nama kedua orang tuaku.

"Aku mungkin tak akan meragukanmu. Tapi ... bagaimana kau bisa menghadapi seluruh gosip di luar sana dan meyakinkan mereka bahwa semua itu tidak benar. Apa yang membuatmu yakin bahwa tuduhan yang dilemparkan pada kedua orang tuamu tidak benar?"

"Perusahaan itu sudah seperti napasnya. Aku percaya pada kedua orang tuaku."

"Bukti itu terlalu sempurna. Itulah masalahnya."

"Dan ayahku sudah mati dan tak bisa membantah tuduhannya."

"Apakah hanya itu yang kau inginkan?"

Bia mengangguk. Ya, untuk awalnya hanya ini yang Bia butuhkan.

"Maka sekarang biarkan aku yang bicara."

Bia memberi anggukan lagi. Napasnya tertahan untuk mendengarkan kepusan Al Biru dengan seluruh tubuh yang menegang sempurna.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro