Suara Pertama dan Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awas kepleset, typo dimana-mana!

***

Perkemahan di luar kubah memang selalu di laksanakan ketika awal musim hujan. Sehingga penduduk Daratan Frisland menyebutnya sebagai perayaan atas turunnya hujan. Sejujurnya sebutan itu tak salah, namun tak juga sepenuhnya benar. Perkemahan dilaksankan saat hujan awal-awal muncul, karena dirasa saat itu adalah waktu yang cocok untuk berkemah. Jika dilaksanakan saat musim panas, hal itu sangat tak memungkinkan, mengingat suhu bumi meningkat drastis dan terasa tak manusiawi. Dan jika perkemahan dilakukan musim dingin, hal itu juga terdengar tak mungkin.

Saat musim dingin, salju berjatuhan dan suhu di Daratan Frisland menurun tajam. Memang pada dasarnya saat musim panas atau pun musim dingin, lebih baik penduduk daratan Frisland tetap di dalam Kubah Frihom. Mengingat Kubah Frihom dilengkapi dengan pengatur suhu--walau tak dapat bekerja sepenuhnya, setidaknya itu cukup membantu.

Jadi dari semua penjelasan, waktu yang tempat untuk berkemah ialah saat awal musim penghujan. Saat itu curah hujan belum terlalu tinggi. Meski di waktu itu angin bertiup cukup kencang, tapi setidaknya tak cukup besar hingga mampu melahirkan badai. Selain itu, udara di awal musim penghujan tak terlalu panas dan tak terlalu dingin, jadi cocok untuk melakukan perkemahan.

Tapi semua perkiraan bisa saja meleset. Entah meleset sedikit atau bahkan meleset jauh. Seperti halnya perkemahan kali ini. Entah mulai kapan, tapi udara di tempat perkemahan semaki dingin, hingga tubuh yang telah terbalut jaket pun terasa akan membeku. Bahkan pinggiran sungai tampak mengkristal.

Perkemahan yang dijadwalkan berkegiatan selama seminggu, terpaksa harus diberhentikan di hari ke tiga. Meski bayak yang kecewa, tapi tak ada satu pun yang protes. Lebih baik memberhentikan perkemahan dari pada mati kedinginan. Namun, hingga matahari terbenam, kendaraan yang diminta menjemput rombongan perkemahan tak juga datang. Entah ada masalah dalam perjalanan atau malah para sopir tak ingin kedinginan hanya untuk menjemput peserta perkemahan. Ya, walau sejujurnya itu bukan 'hanya'.

"Aku tak menyangka jika perkemahan ini  berhasil membuatku kedinginan. Hingga rasanya aku ingin masuk ke panggangan roti Ibuku." Eirlys menatap gadis berambut pirang di sampingnya yang tiba-tiba membuka suara.

Eirlys tampak berdeham kecil, tenggorokannya terasa kering, mungkin karena air liur di mulutnya mulai membeku karena suhu yang makin dingin. Oke, untuk air liur yang membeku terdengar terlalu berlebihan. "Ya, dan setelahnya kau akan mati menjadi daging panggang."

Gadis berambut pirang, yang beberapa hari lalu Eirlys tahu bernama Sha itu tampak berdecak singkat. "Tetapi setidaknya aku mati di rumahku, bukan mati kedinginan di tempat antah berantah ini."

Eirlys menggelengkan kepalanya sembari mengulurkan tanganya mendekat ke api unggun portable. Kemudian ia bergumam, "Menurutku tak ada yang lebih baik di antara dua hal tersebut."

Hening. Tak ada yang membuka percakapan. Cahaya matahari semakin menghilang dan suhu di tempat itu semakin menurun. Api unggun portable bahkan tak lagi berpengaruh apa pun. Radiasi panasnya seolah hilang di telan udara dingin.

Eirlys tampak mengerjapkan matanya ketika seorang panitia meminta seluruh peserta perkemahan untuk segera masuk tenda, sebab suhu di tempat itu semakin menusuk tulang.

Dengan telapak tangan yang terasa membeku, Eirlys segera beranjak menuju tenda. Sepertinya bergelung di sleeping bag terdengar lebih baik. Eirlys berharap  ketika ia bangun esok hari, cuaca akan kembali normal, hingga ia tak perlu kedinginan dan tentunya perkemahan ini dapat dilanjutkan. Jika memang perkemahan ini tak dapat dilanjutkan, setidaknya biarkan dirinya kembali ke rumah, berkumpul kembali dengan orang tuanya serta saudaranya.

Kaki Eirlys melangkah pendek menuju tendanya, matanya menatap setiap langkah kakinya yang tampak tak sesemangat seperti awal ia menginjakkan kaki di tempat ini. Ia tampak menghembuskan napas panjang, kemudian kepalanya terangkat hingga matanya tertuju pada satu titik. Titik di mana ia melihat figur gadis aneh yang sialnya satu tenda dengannya.

Entah gadis itu tuli atau bisu, yang jelas Eirlys belum pernah mendengar suara gadis aneh itu, bahkan ketika Erilys mengajaknya berbincang. Gadis aneh itu  seperti tak pernah menganggap keberadaan Eirlys, dia terus saja diam, jangankan berbicara melirik Erilys saja ia tak pernah. Gadis aneh itu malah lebih tertarik dengan daun maple yang selalu ia bawa kemana-mana. Dan ya, daun maple di tangannya menambah satu poin aneh untuk gadis itu.

Pundak Eirlys tampak melemah ketika melihat gadis aneh yang tak diketahui namanya itu. Ia berjalan semakin menuju tenda, yang artinya posisinya semakin dekat dengan gadis aneh yang kini duduk di mulut tenda.

"Bisakah kau menyingkir?" Eirlys berujar saat dirinya telah sampai di depan tenda, "Aku ingin tidur dan sebaiknya kau juga tidur."

Gadis aneh itu bergeming sesaat, sebelum akhirnya gadis itu masuk kedalam tenda tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Eirlys tampak menipiskan bibirnya melihat tingkah aneh gadis itu. Tak ingin terlalu memikirkan tingkah gadis aneh itu, Eirlys segera mengikuti jejak gadis itu, memasuki tenda.

Tak ada yang membuka suara di antara kedua gadis itu. Keduanya tampak fokus dengan pemikirannya masing-masing. Eirlys diam, sembari menatap langit-langit tenda, sedangkan si gadis aneh diam sembari menatap daun maple ditangannya. Hingga malam semakin larut pun tak ada suara yang keluar dari tenda itu, kecuali suara hembusan napas dan detak jantung.

Malam semakin larut, suasana semakin sepi begitu pun dengan suhu udara yang semakin dingin. Di tengah tidurnya, Eirlys merasa udara dingin menembus sleeping bag-nya. Beberapa kali ia terbangun karena angin yang berhembus cukup kencang  menerpa tendanya.

Namun kali ini berbeda, Eirlys terbangun bukan karena angin namun karena suara rintihan dari sampingnya. Dahi Eirlys tampak mengerut, matanya mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya menoleh ke arah samping, asal suara rintihan itu.

Di tengah kegelapan, dapat Eirlys lihat--meski samar-samar--tubuh teman tendannya yang tergulung sleeping bag menghadap ke arahnya. Tubuh gadis itu bahkan terlihat seperti bergetar. Mungkin kah gadis aneh itu sedang menangis? Pikir Eirlys spontan. Hingga tak lama kemudian Eirlys tampak tersentak ketika pemikiran baru muncul di kepalanya. Dia menggigil kedinginan?

"Hei," panggil Eirlys --dengan berbisik, takut mengganggu penghuni tenda lain- pada gadis yang ia sebut aneh itu, "k-kau tak apa?"

Tak ada jawaban dari gadis bersurai coklat itu. Eirlys menghela napasnya sejenak. Kemudian kembali membuka suara. "Kamu baik-baik saja?"

Masih tak ada jawaban. Mungkinkah dia pingsan? Tak ingin menyerah begitu saja, Erlys kembali bersuara. "Kalau kau dengar suaraku tolong jawab. Apa kau baik-baik saja? Mungkin aku bisa membantu."

Tampaknya kali ini pertanyaan Eirlys membuahkan hasil Gadis bersurai coklat itu mengangkat wajahnya, menatap Eirlys.

"Kamu baik-baik saja?" Eirlys kembali bertanya untuk memperjelas pertanyaan sebelumnya.

Gadis bersurai coklat itu masih diam sembari menatap Eirlys, hingga ia membuka suara. "Ya."

"Syukurlah." Eirlys menganggukan kepalanya paham, walau sejujurnya ia tak yakin jika gadis itu baik-baik saja.

"Derena," bisik gadis bersurai coklat itu.

"Ya?" sahut Eirlys tak paham dengan bisikan gadis aneh berambut coklat itu.

"Namaku Derena."

Eirlys diam sejenak, masih mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini. Ia tak percaya gadis yang sering ia sebut aneh itu akhirnya mengeluarkan suaranya. Padahal ia sempat berpikir jika gadis itu bisu. Tapi pemikiran itu akhirnya terpatahkan malam ini. Gadis itu membuka suara. Meski hanya sebuah bisikan, tapi Eirlys yakin jika itu memang suara gadis aneh itu.

"Ah, ya, Derena," sahut Eirlys setelah keluar dari pemikirannya.  Ia berdeham singkat kemudian kembali berujar dengan suara lirih, "Aku Eirlys."

Gadis bersurai coklat yang baru saja memperkenalkan diri itu menganggukan kepalanya sembari tersenyum tipis.

Eirlys tampak berdeham, entah mengapa ia suasana di dalam tenda menjadi canggung. Padahal sebelumnya Erlys merasa biasa saja. Malah sebelumnya ia sempat merasa sial satu tenda dengan mahkluk aneh. Tapi mengapa suasana menjadi amat canggung.

"K-kalau boleh jujur. Aku m-merasa kalau kau sedikit terlihat ... emmm .... Mungkin bisa disebut tak biasa? Ehem. Bukan, maksudku .... itu ...." Eirlys menggigit bibirnya, karena merasa canggung dia malah mengatakan hal seperti itu. Sungguh, dia meruntuki mulutnya yang suka berujar kurang mengenakkan. Dan lagi, dari ribuan topik pembicaraan mengapa otaknya tiba-tiba terpikirkan hal itu?

Derena terkikik pelan. "Maksudmu ... aneh?"

Eirlys dengan sepontan menahan napas. Dia memang sering menyebut Derena sebagai gadis aneh, tapi ia tak pernah menyebutnya dengan terang-terangan. Aish, sekarang dirinya merasa menjadi maling yang tertangkap basah oleh warga. Dan lagi-lagi dirinya hanya dapat berdeham untuk menetralisir perasaanya yan tak enak.

"Emm ... k-kau kedinginan bukan?" ujar Eirlys sembari keluar dari sleeping bag-nya. Dengan gerakan terburu-buru Eirlys membuka tas carrier-nya. Ia menarik keluar satu jaket miliknya.

"I-ini, kamu gunakan ini saja. Agar kamu tak kedinginan." Erlys menyodorkan jaketnya pada Derena. Sedangkan Derena tampak menatap jaket itu dan Eirlys secara bergantian.

"Seingatku aku tak mengatakan kedinginan," ujar Derana masih dengan suara berbisik.

Mata Eirlys tampak mengerjap beberapa kali. Seketika otaknya terasa kosong. "Benarkah?"

"Ya," balas Derena lirih sembari mengeratkan sleeping bag-nya.

"I-itu ... kamu memang tidak bilang. Tapi aku tahu kamu kedinginan. Lihat bahkan tubuhmu terlihat menggigil," ujar Eirlys sembari meletakkan jaket itu di samping  Derena. Setelah itu Eirlys kembali masuk ke sleeping bag-nya. Tak ingin merasa konyol lebih lama, Eirlys segera memejamkan matanya.

"Kau mengingatkanku pada saudaraku," bisik Derena, "Saudaraku yang telah meninggal," lanjut Derena masih dengan berbisik.

Eirlys yang awalnya memejamkan mata, secara spontan membuka matanya. Ia menatap Derena yang  tengah menatap langit-langit tenda dengan sendu. Bingung. Eirlys tak tahu harus merespon apa. Ia juga tak tahu cara menghibur orang.

"Meski kami tak begitu dekat, namun terkadang kami melakukan kegiatan bersama, ya meski terasa canggung. Dia itu pendiam, bahkan meski kami tinggal satu rumah dia jarang sekali mengawali pembicaraan. Selalu harus aku yang memulai pembicaraan agar tak ada keheningan di antara kami. Tetapi sayangnya aku juga tak seaktif itu hingga berkenan terus memulai pembicaraan." Mata Derena tampak memandang jauh, seperti tengah mengorek ingatannya tentang saudaranya itu.

Derena menghela napasnya pelan. "Sebelum hari meninggalnya. Kami sempat jalan-jalan di sekitar rumah, tak ada pembicaraan di antara kami. Dia hanya diam begitu pun aku. Namun hari itu, tiba-tiba ia melempariku dengan setumpuk daun mample. Kemudian ia berteriak, mengatakan jika ia ingin bersaudara denganku layaknya saudara pada umumnya yang kerap bercanda bahkan bertengkar. Hari itu aku tak merespon perkataannya, aku malah kembali kerumah, karena kesal dilempari setumpuk daun kering." ujar Derena lirih, "Harusnya saat itu aku menyetujui ucapannya. Mungkin ia marah karena aku malah kembali ke rumah  alih-alih merespon permintaannya. Maka itu esoknya ia meninggalkanku ... selamanya."

Entah berapa kali Eirlys menahan napasnya mendengar cerita Derena. Dadanya ikut terasa sesak, seolah dirinya salah satu tokoh di cerita itu.

"D-dia meninggal karena apa?" Seketika Eirlys meruntuki mulutnya yang sepontan mengeluarkan pertanyaan.

"Penggumpalan darah di otak. Beberapa hari sebelumnya dia jatuh dari tangga. Saat itu ia baik-baik saja, tapi memang setelah jatuh itu ia sering mengeluh sakit kepala. Tak ada yang tahu jika sakit kepalanya dipicu kerena penggumpalan darah. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit distrik 5, ia juga sempat mendapat penanganan namun tak lama setelah itu, di hari yang sama ia menghembuskan napas terakhirnya," bisik Derena sebelum akhirnya menatap Eirlys.

"Ini." Derena mengelurkan tangan pucatnya dari sleeping bag, ia menyodorkan selembar duan Maple pada Eirlys.

"Hah?"

"Untukmu," kata Derena, "Setiap melihat daun Maple aku selau teringat dengan saudariku, makanya aku selalu membawa daun maple kemana-mana, tetapi sekarang saat melihatmu aku jadi teringat saudariku, jadi daun maple ini untukmu," lanjut Derena lirih.

Masih mencoba mencerna semuanya. Eirlys tampak mengerutkan dahinya. Namun tak ayal ia menerima daun maple pemberian Derana tersebut. "Terima kasih."

Derena tersenyum. "Aku yang harusnya berterima kasih, karena kau mau meminjami aku jaket."

Derena mengeluarkan setengah tubuhnya dari sleeping bag kemudian mengenakan jaket Eirlys.

Eirlys terdiam setelah meletakkan daun maple pemberian Derena ke dalam kantong jaketnya. Lalu dengan segera ia merespon perkataan Derena. "Bukan masalah."

Hening. Keduanya diam setelah saling mengucapkan selamat tidur. Udara dingin diluar sana menggoyangkan tenda mereka. Eirlys tampak memejamkan matanya begitupun dengan Derena.

"Eirlys, menurutmu apakah kita bisa kembali ke tempat tinggal kita, Kubah Frihom?" Entah apa yang dipikirkan oleh Derena selama dia diam tadi, hingga tiba-tiba ia bertanya demikian.

Eirlys diam, kemudian dwngan sepontan menatap figur Derena dari samping. "Mengapa kau mempertanyakan hal semacam itu. Lebih baik kita tidur."

Eirlys kembali menutup matanya, kali ini kantuk menghampirinya. Di ujung titik sadarnya, ia masih mendegar suara angin yang berhembus kencang dan juga suara Derana yang seperti menggigil. Tapi karena kantuknya begitu besar, ia sama sekali tak terganggu dengan semua itu. Hingga akhirnya Eirlys mampu menggapai mimpi.

* * *

"Ti-tidak. Tidak mungkin."

Pagi ini Eirlys dikejutkan dengan tumpukan salju di lahan perkemahan. Namun dari pada salju ada yang lebih mengejutkan. Derena, teman satu tendanya, pagi ini ditemukan dalam keadaan terbujur kaku di dalam tenda. Eirlys sungguh tak sadar jika teman satu tendanya itu sudah tak bernyawa. Jika Panitia tak masuk ke tenda untuk membangunkannya, mungkin sampai sore pun Eirlys tak sadar akan hal itu.  Eirlys benar-benar tak percaya jika gadis bersurai coklat itu meninggal di sampingnya.

Eirlys masih ingat, semalam mereka sempat mengobrol dengan suara berbisik-takut mengganggu tenda lain. Namun, mengapa tiba-tiba gadis itu meninggal?

Kemungkinan besar Derena meninggal karena hiportemia. Tapi Eirlys terus menyangkal hal itu. Ia sungguh tak menyangka jika Derena telah meninggal. Padahal semalam adalah kali pertama ia mendengar suara Derena--meski hanya sekedar bisikan. Jika benar Derena meninggal karena hiportemia, itu pasti salahnya. Kalau saja semalam ia melapor pada panitia jika Derena menggigil kedinginan, atau paling tidak ia memberi pelukan pada Derena. Pasti hari ini Derena masih bernapas.

Mengapa semalam ia hanya meminjamkan jaket pada Derena? Mengapa ia tak memiliki inisiatif lain? Dan mengapa ia juga tak menyadari jika Derena mengalami Hipotermia? Mengapa?

"De-derena ...." Eirlys pikir semalam Derena hanya kedinginan biasa, mengingat gadis itu masih bisa bercerita panjang lebar.

Eirlys tak percaya bahwa semalam adalah pertama dan terakhir kalinya ia mendengar suara Derena. Mungkin suara bisikan Derena akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.

****

Dahlah pusing sama cerita ini 😭😭😭

Love,
Rengga



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro