7.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Omong kosong tentang persetujuan!

Minji sebal bukan main ketika pulang, kakaknya sudah berada di depan pintu dan tersenyum tanpa dosa. Memberikan kabar bahwa kencan butanya baru saja diatur beberapa saat yang lalu. Namun, semua itu sudah terlanjur dikerjakan dan Minji —pada akhirnya— menerima ide itu dengan terpaksa.
Rasa penasaran Minji kepasa pria yang akan ditemuinya sungguh besar—tentu saja. Dia tidak mau bertemu dengan pemabuk atau orang yang merokok. Dua hal itu paling tidak disukainya seumur hidup.

"Berhenti bertanya siapa orangnya. Kalau ketemu, kau juga bakalan tahu." Herannya, Jonghun bisa berkata santai seperti itu ketika Minji teriak marah-marah. Hampir melempar satu apel lagi kalau Jonghun tidak menahan lengan adik perempuannya itu.

"Serius, kau ini marah karena tidak tahu atau ada hal lain?" Jonghun melirik bingung. "Kalau sudah punya pacar, kau bisa bicara denganku."

Minji berusaha mengubah fokus dan mengalihkan rasa marahnya yang masih memuncak. Dia mengeluarkan es krim dari lemari pembeku dan menikmatinya sendirian di depan televisi.

"Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja, kau perlu persetujuanku dulu baru bisa mengatur segala macam. Terlalu tiba-tiba, kau tahu?" Minji memuntahkan kata-kata itu dengan cepat, tak peduli pria di depannya itu mengerti atau tidak. Jonghun terkekeh, kemudian menjatuhkan dirinya tepat di samping Minji. Gadis itu mendelik tajam dan mengumpat diam-diam.

"Bersenang-senanglah, kau perlu dekat dengan seorang pria. Percaya padaku, hidupmu akan jauh lebih indah." Nasihat Jonghun itu tidak diindahkan oleh Minji, gadis itu malahan pura-pura tidak mendengar dan mengeraskan volume televisi. Jonghun tidak ambil pusing, dia cukup tahu karakter adiknya seperti apa. Dan jika Minji sedang emosi seperti ini, lebih baik dia diam.

"Apa kau sudah menelpon Ibu?" tanya Jonghun ketika mereka sama-sama larut dalam tayangan sebuah acara talk show di televisi.

"Belum. Maaf, aku sedang sibuk sekali. Mungkin aku akan menelponnya nanti."

Jonghun tidak membalas lagi. Alur pikiran adiknya terlalu rumit, tidak bisa ditebak sama sekali. Dia menjadi orang yang tertutup setelah kejadian ayahnya tertangkap selingkuh itu. Tidak tahu lagi dia harus apa, akhirnya Jonghun memutuskan untuk meraih ponselnya dan menelpon ibunya dalam mode video call.

"Astaga, Ibu aku hampir saja mengumpat!" Suara Jonghun heboh, membuat perhatian Minji tersita dan ikut terselip di samping Jonghun.

"Ya ampun, kenapa maskeran malam-malam begini, Bu? Tidak biasanya," tanya Minji, yang juga hampir mengumpat karena wajah ibunya total putih, meskipun ada celah terbuka di bagian mata dan mulut.

Mereka dapat mendengar kekehan tertahan dari Ibu karena efek masker yang hampir mengering di wajah.

"Besok ada acara pertemuan dengan teman-temanku, harus tampil cantik, dong! Aku tidak mau kalah dalam urusan ini," jawab Ibu dengan gelak tawa seadanya.

"Baguslah, Ibu memang perlu perawatan seperti itu. Aku akan—eoh, Ayah?"

Minji langsung menarik tubuhnya agar tidak terlihat di layar kamera, tapi Jonghun menahan bahu gadis itu sehingga—mau tak mau— wajahnya terlihat oleh Ayah yang berbinar bahagia. Ini kali pertama dia melihat wajah putrinya lagi semenjak kejadian itu.

"Anakku, kau sudah—"

Minji menggeliat dan menghempaskan pegangan tangan Jonghun di bahunya. Kedua netra kelam itu sudah merah dan berkaca. Dengan kesal, dia menuju kamar dan mrmbanting pintunya keras-keras.

Hening, Ayah hanya menatap kosong ke layar kamera dengan wajah Jonghun yang mengeras marah. Semenit kemudian ayahnya mencoba terkekeh dan menceritakan perihal Hori—anjing peliharaan mereka— yang sudah terbiasa buang air di tempat yang seharusnya.

"Ayah maaf," ujar Jonghun, tampak menyesal.

"Sudah, tidak apa-apa. Jangan marah padanya, oke? Saatnya belum tepat. Nah, ibumu ingin bicara lagi."

Setelah itu Ayah pergi dengan helaan napas yang jelas terdengar oleh Jonghun. Ibunya juga tidak bicara lama, hanya mengingatkan untuk makan tepat waktu dan menelpon lagi ketika mereka sempat.

Jonghun mendobrak paksa pintu kamar Minji, tak peduli bahwa engselnya akan rusak parah. Dia butuh bicara dengan adiknya, dan cara baik-baik tidak bisa ditempuhnya saat ini.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?"

"Seharusnya aku yang bicara begitu," ujar Minji yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya lebih jauh lagi. Jonghun menghela napas kemudian mengusap wajahnya frustasi.

"Kau, coba pahami Ayah. Semua orang pernah memiliki kesalahan dan—"

"Dan semua itu membuatku membencinya. Dia mengkhianati Ibu." Minji berteriak, mengeluarkan semua isi hatinya yang terlalu lama dipendam. Dia tidak peduli dengan wajah basah atau ekspresi aneh ketika menangis, dia masa bodo akan hal remeh itu.

Jonghun masih diam di tempat, menghela napas dan menatap adiknya dengan mata sayu.

"Ibu sudah memaafkannya, kau tahu kan hal itu? Dan Ibu ingin hubungan kalian baik-baik saja seperti biasa, untuk itu dia sering menyuruhmu pulang." Jonghun mencoba membujuk lagi. Minji diam, bukan berarti dia setuju atas semua itu. Dia hanya tidak ingin masalah hatinya terlalu transparan, sekalipun dengan kakaknya sendiri.

"Kau tidak pernah mengerti, Oppa. Berhenti bicara kalau kau tidak merasakan apa yang kurasakan."

Tanpa sempat membalas, Minji keluar dari apartemen begitu saja, berlari menjauh dengan dada yang super sesak.

Kenapa tidak ada yang mengerti rasanya disakiti? Apalagi itu Ayahnya sendiri—raja dan segalanya bagi Minji. Rasa sakit tidak bisa berubah secepat itu, Minji juga tidak mau membenci orangtuanya sendiri. Namun, hatinya belum bisa menerima fakta itu. Belum—sampai saat ini.

Gadis itu terus berlari entah kemana, yang penting dia harus menenangkan diri karena tidak ingin terlihat rapuh di depan siapapun sekalipun itu adalah....

"Hati-hati kalau jal—loh, Minji?"

Kim Taehyung....

Minji segera berlari menjauh tanpa membalas Taehyung. Pria itu tidak pergi begitu saja, melangkahkan kaki cepat dan seterusnya berlari untuk mengejar bahu sempit yang masih terisak sejak tadi.

"Minji, tunggu dulu!" Taehyung berhasil menggapai lengan gadis itu dan menghentikan langkahnya. Dia menyembunyikan wajah basah dengan menatap ke arah lain. Namun, Taehyung sudah terlanjur mengetahui raut sedih itu. Dua kali, dan Minji tidak suka.

"Ternyata kau berbakat menjadi atlet lari." Taehyung masih mengatur napasnya, dan terbatuk-batuk beberapa kali dengan tangan yang masih mengamit lengan Minji.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau keluar dengan baju seperti ini?"

Minji memandang kilat penampilannya—baju tidur sebatas betis dan terlihat lumayan tipis, tidak memakai kaos kaki apalagi sepatu, hanya sendal rumah yang warnanya mulai pudar.

Dipandang begitu oleh Taehyung, dia jadi salah tingkah sendiri. Sempat bingung harus bagaimana, tapi kemudian sweater sebatas lutut tersampir di bahunya.

"Sudah aman. Nah, mau pulang atau jalan-jalan sebentar?" Taehyung mengamati wajah Minji, menunggu jawaban yang keluar dari bibir mungil itu.

Kedua netranya menelisik bola mata bulat yang tengah memandang intens. Seperti ada mantra yang menusuk dan memanipulasi otaknya, sehingga anggukan lemah itu membuat Taehyung tersenyum senang.

"Kalau begitu aku traktir cokelat panas dan tteokbeeokki. Makan adalah cara ampuh untuk menghilangkan stress, Ayo!"

Minji tersenyum simpul, turut berjalan ketika tangan Taehyung menarik lengannya agar jalan beriringan.

~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro