6. Saka: Kebimbangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah menduga jika tidak bisa membohongi Ratna, tapi aku tidak menduga akan ketahuan secepat ini.

Apa boleh buat. Inilah akibatnya coba-coba dengan sesuatu yang tidak aku ketahui, terlebih pada sesuatu yang tidak membuatku tertarik selama beerabad-abad. Ikatan pertalian pasti lebih merepotkan dalam praktiknya dibanding yang aku duga.

Bukan berarti aku mendadak tertarik pada ikatan ini karena seorang wanita problematik di luar sana.

Tapi satu hal yang bisa aku simpulkan, sepertinya rumor soal ikatan pertalian akan saling memanggil lebih cepat dari angin itu benar adanya. Tidak sampai satu minggu setelah aku membangkitkan Arka, masalah sudah muncul di sini. Dari orang yang tidak terduga dan tidak bisa terbaca ekspresinya.

"Kalau aku bilang, ya...." Aku mencondongkan tubuh, sengaja menghampiri Ratna dengan cara memandangnya dari atas. Selayaknya aruna yang memandang rendah mangsanya. Walau pada kenyataannya, jika kengah, leherkulah yang akan tercerabut. "Kamu mau apa?"

Ratna memandangku dengan sepasang mata kelamnya. Dari jauh mata itu hitam pekat dan tampak tidak berdasar, seperti jiwa yang tidak tertebak di dalam wujud gadis muda nan cantik ini. Tapi dari dekat, siapa pun bisa meliaht gurat coklat gelap di iris matanya. Warna yang hampir tidak terlihat, baik karena Ratna yang senantiasa berdiri di balik bayangan dan sorot matanya yang kelam.

Aku terpekur memandangi wajahnya.

Gadis ini ... apa ia tahu betapa miripnya dia dengan inang Klaus yang dulu?

Mata hitam, bibirnya yang tipis, garis wajahnya yang lembut, dan bentuk wajahnya, dia seperti pria Manusia malang itu, tapi dalam wujud yang lebih sederhana dan feminin.

Sayang sekali semua harus berakhir dengan tragis.

Ah, tidak, bahkan baginya, semua ini mungkin belum berakhir. Gadis yang malang.

"Saya ingin tahu alasannya," Ratna menjawab tiba-tiba, menginterupsi pikiranku. "Bukankah akan lebih bagus dan tidak merepotkan jika Aruna seperti Arka dibiarkan tetap tertidur saja?"

Jika kami berada dua ratus tahun lebih awal, aku mungkin akan mengira ucapan itu datang dari monster yang dibesarkan oleh Edric dengan semua pikiran kotornya. Tapi kami bertemu, saling menyaksikan perjuangan dan keputusan masing-masing dan melihat pengorbanan dari orang-orang yang kami kenal di tengah semua ini. Aku tidak bisa memandangnya sama seperti Ratna yang aku kenal dulu.

Tidak peduli seberapa bebal otak binatang abadi di dalam cangkang keras ini.

"Mungkin." Aku mengakui. "Menemukannya juga bukan perkara mudah. Dia diamankan bersama banyak aruna lain yang berada dalam status tidak boleh dihidupkan kembali."

Aku melirik tubuh Eka yang masih terbaring di atas kasur. "Tapi kamu membutuhkannya."

Saat aku melirik lagi, kedua mata Ratna membeliak kaget. Aku tidak terkejut melihatnya bereaksi demikian. Dan aku harap ia tahu, aku tidak hanya sedang membahas Arka.

"Kamu sekarat." Aku memberitahukan kenyataan, berharap Ratna mungkin sudah mengetahuinya.

Ratna meremas selimut yang melapisi dipan tempatnya tidur. Kepalanya sedikit menunduk, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas sorot sedih dan gundah di matanya, diperburuk dengan kekosongan yang mulai menyeruak kembali.

Aku menunggu dalam diam.

Sorot kosong dari mata itu bukan kali ini aku lihat.

Sorot itu ada di sana, ratusan tahun lalu, di hari terakhir pertempuran kami melawan Edric. Tepat setelah Edric mati. Tepat setelah Klaus memalingkan muka dari nasib gadis ini dan semua perasaannya yang ikut luruh dalam tragedi. Dan akibatnya, semua tragedi itu terulang kembali.

"Keadaan akan jauh lebih baik jika saya mati."

"Bagimu, mungkin." Aku tidak bisa menampik itu. Keraguan adalah alasan utama tragedi ini terulang. Dan siapa yang akan percaya jika aku mengumumkan pada dunia, gadis polos yang senantiasa tersenyum dan menolong orang lain inilah, penyebab tragedi kali ini terjadi? "Tapi bagi orang lain, tidak terlalu."

"Karena itulah, saya menghilang, Tuan," ujarnya. "Sampai Anda menemukan saya lagi."

"Dan kamu seharusnya tahu dengan tubuh sekarat seperti itu, kamu tidak punya banyak pilihan lain selain mati dengan cara apa," imbuhku. "Padahal ada orang di luar sana yang tidak ingin kamu mati."

Ratna terdiam. Dan aku pun bimbang.

Apa aku harus memberitahunya?

Apa informasi ini tidak akan membuat gadis itu lebih hancur lagi?

"Ia tahu kamu belum mati, Ratna." Pada akhirnya, aku mengalah pada akal sehat. "Meski semua orang percaya begitu ... termasuk keluargamu. Mungkin."

Aku tidak repot menutupi keraguan. Zen memang sudah menerima kenyataan di kali terakhir aku menemuinya. Tapi nyala api harapan tidak pernah pudar dari keluarga itu. Baik dari Rini maupun kedua putra kembarnya.

"Selama saya tidak muncul, pengetahuan itu hanya akan sekadar jadi pengetahuan," ujar Ratna. "Tidak akan jadi kebenaran."

"Kenapa?" Aku tidak bisa menahan diri dari bertanya. "Kenapa kamu tidak mau kembali saja?"

Ah, wajah itu. Wajahnya berubah. Wajah yang paling aku benci.

Aku memejamkan mata, menghindari pemandangan gadis yang terduduk diam di hadapanku dengan pandangan terpaku ke lantai. Tapi alih-alih ketenangan, dalam kegelapan, aku malah menemukan sosok seorang gadis lain. Gadis kecil lain yang menundukkan kepala dengan lesu. Ia menitikkan air mata dan suara tangisannya yang tersedu sedan terngiang jelas di kepalaku, tepat setelah ia terjatuh dari pohon.

"Maaf...." Gadis mungil itu terisak. "Maaf, aku tidak mendengarkan nasihat Ayah...."

Sial. Sial. Sial.

Kenapa wajahnya masih saja muncul dalam benakku?

Aku melirik tubuh Eka. "Setidaknya kembalikan anak itu. Ada yang mencarinya."

"Ini keinginan egois saya." Ratna menjawab sembari melirik Eka. Tangannya menyentuh selimut yang menutupi tubuh Eka. Senyum terlukis tipis di wajahnya sementara ia menatap Eka dengan penuh sayang. Selayaknya seorang ibu kepada anaknya. "Saya hanya ingin memastikan Eka akan kembali tanpa ditolak. Saya hanya ingin memastikan itu. Karenanya ... saya ingin menahannya di sini sebentar. Sampai saya yakin."

Ratna menarik tangannya. "Tapi jika Anda ingin segera memberitahukannya...." Sementara pembicaraan berlangsung, mata Eka sedari tadi melirik bergantian antara aku dan Ratna. "Dan jika memang itu yang diinginkan Eka, aku tidak akan keberatan."

Anak yang tidak punya kehendak. Aku selalu mengenalnya seperti ini dan hal itu tidak berubah. Aku dengar memang Ratna bukan orang yang bisa belajar dengan baik. Dari kesaksian Zen, gaya bertarung Ratna tidak berubah meski sudah dua abad berlalu. Meski dia berulang kali berlatih bersama Zen dan kedua saudara angkatnya. Meski kerapkali diajarkan ilmu baru, Ratna sulit menerimanya.

Kurasa hal itu sampai berpengaruh pada pendapat dan pandangan hidupnya juga.

Apa boleh buat kalau begitu.

"Tapi...." Aku menyerah. "Jika aku yang diberi pilihan, aku akan memberimu kesempatan hidup. Di sini. Di luar pengetahuan mereka semua."

Ratna tertegun.

Aku berdiri tegap dan menjauh dari Ratna, tidak tahan menatap mata bulatnya yang sekarang entah kenapa terlihat sangat polos seperti gadis kecil itu.

"Aku tidak tahan melihat seorang anak menyesal sendirian karena pilihan yang diambilnya."

Dalam hati, aku menyampaikan sebuah keinginan yang agak kurang ajar untuk disampaikan di situasi seperti ini, di saat aku hanya orang asing. Meminta untuk Klaus juga aku tidak sudi, tapi jika bisa ... memberi harapan pada gadis ini, aku ingin dia setidaknya merasakan sedikit saja kebahagiaan. Sesuatu yang sepertinya masih merupakan hal mewah baginya. Padahal ia sudah hidup seribu tahun lamanya.

"Terutama pilihan yang dibuat saat ia mendendam."

Ratna sedikit terlonjak. Dengan sepasang mata htam bulat yang melebar, penuh keterkejutan yang baru dan berbeda, gadis itu mengerjap ke arahku. Menatapku seolah aku binatang lucu yang baru pertama kali dilihatnya.

"Menyesal?"

"Dengan ini semua lengkap." Aku mengambil langkah untuk berbalik. Segera setelah ini, ada konsekuensi yang harus aku ambil. "Aku sarankan kamu selesaikan masalahmu dengan orang-orang, segera setelah kamu siap. Baik pada orang-orang yang masih hidup, mati, maupun ... yang bangkit kembali."

Ucapanku mengirimkan dampak yang sangat besar pada Ratna. Saking besarnya, dampak ucapanku langsung terlihat saat itu juga. Wajah Ratna seketika memucat. Tangannya meremas kain seprai begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tampak terguncang seketika, baik oleh ketakutan, harapan, serta kesedihan dan kebahagiaan.

"Akan aku biarkan kepalamu mendingin," Aku berjalan ke arah pintu. "Jika kamu sudah siap, tunggu aku diluar. Aku butuh menanyaimu soal makhluk itu."

Aku membuka pintu dan membaui udara sebagai insting pertama yang aku lakukan saat menginjakkan kaki ke luar. Tidak ada aroma mencurigakan sejauh yang aku cium. Telingaku mendengarkan sementara mataku melihat-lihat semua arah yang bisa dijangkau penglihatan, jauh maupun dekat. Menembus pepohonan, melihat beberapa ekor burung dan serangga beterbangan, tupai-tupai melompat dan beberapa musang berlari kencang. Dedaunan berjatuhan karena angin yang sepot-sepoi. Aku bergeser sedikit dari pintu sambil mengencangkan syal. Jangan sampai aromaku terbawa angin.

Untuk kali terakhir, aku menoleh kepada Ratna. "Aku ingin dengar alasanmu menyelamatkannya."

Kemudian aku pun menutup pintu pondok.

***

Kecepatan kaum Aruna bukan sesuatu yang sulit ditebak, terutama jika kau sudah hidup ratusan tahun, menghabiskan masa mudamu dengan menghabisi orang-orang yang membuatmu kesal. Sekalipun pada masa itu jumlah manusia selayaknya binatang langka yang sangat tidak teratur jumlahnya. Sangat fluktuatif.

Dan karena itulah, Leriana melarangku melakukannya.

"Ada cara lain untuk menyelesaikan masalah selain membunuh." Nasihat wanita tua itu ajaibnya masih kerapkali terdengar di kepalaku bahkan hingga hari ini.

Meski kepala ini secara teknis bukan kepala milikku.

"Kalau kepada sesama, boleh, kan?" sahutku pada waktu itu. "Mereka abadi dan bisa memulihkan diri dengan cepat. Mereka banyak. Tidak masalah jika membunuh mereka. Lagipula setiap hari kita menemukan banyak sekali—

"Membunuh teman satu kaum juga dilarang!"

Dan setelah itu ia kerap memukul kepalaku.

Bukan berarti aku merasa sakit, tapi dipukul kepalanya oleh makhluk yang sebenarnya bisa saja aku bunuh dan hanya setinggi pundakku, rasanya agak menyebalkan juga.

Terlebih jika aku harus bertahan memiliki saudara yang hobi mencari keributan meski sebenarnya tenang-tenang saja. Saat itu aku menjauhinya karena insting, tapi ada sebuah istilah bagus yang baru ditemukan beberapa abad kemudian yang cocok menggambarkan apa yang terjadi pada saudaraku itu: masalah pengendalian emosi.

"Kenapa kamu tidak menghentikan Klaus saat dia menghancurkan satu desa?"

Kami berdua duduk bersimpuh di depan Leriana yang duduk di atas batu di hadapan kami. Di sekeliling, beberapa saudara dan saudari kami menonton dalam antusiasme yang tidak biasa. Leriana seingatku—dan memang ingatanku tidak pernah salah—telah melarang mereka untuk menonton saudara mereka dihukum. Tapi sepertiku, tidak ada yang benar-benar mendengarkan Leriana.

"Dia lebih cepat dariku." Aku beralasan. "Aku tidak bisa menghentikannya tepat waktu."

"Aku tidak perlu dihentikan." Klaus dengan arogan duduk santai, bahkan tanpa repot menatap Leriana. Ia mendengkus jengkel, persis anak Manusia yang tidak diberi makan oleh orang tuanya. "Aku mengerti kalau kau harus menghindari mereka, tapi kenapa aku juga harus menghindari mereka? Manusia itu mangsa, kan? Atau jangan-jangan...." Klaus mendelik. "Kau ingin membunuh kami semua di sini pelan-pelan, eh, Leriana?"

Aku melirik ke sekeliling, menyadari pandangan saudara dan saudari kami berbeda sekarang. Perhatian mereka tertuju pada Klaus. Antusiasme mereka mewujud jelas kini dalam seringai-seringai keji dan mata penuh ambisi. Ketika mereka tidak menatap Klaus, mereka gantian memandang Leriana. Kali ini penuh rasa benci yang bahkan tidak lagi repot mereka tutupi.

Aku mendebas, lelah dan tidak minat ikut campur.

Selalu seperti ini. Selalu berulang. Setiap kali si anak terkuat angkat bicara, para pecundang selalu mengikuti di belakang.

"Kalau ya," Leriana bangkit berdiri. Dari posisinya yang lebih tinggi, ia mendelik balik ke arah Klaus. "Apa yang akan kau lakukan, Niklaus?"

Wajah wanita itu berubah angkuh. Sebuah sikap yang selalu dikeluarkannya di setiap pertempuran yang diyakininya akan dimenangkan dengan mudah. Wajah itu belum pernah membuat pemiliknya malu.

Klaus terdiam. Ketika nama itu berkumandang, maka Leriana sedang sangat marah. Dan Klaus sudah mendapat sangat banyak pelajaran—meski tidak ada satu pun pelajaran itu kelihatannya ia ingat—soal membuat marah Leriana.

"Kalian semua adalah kesalahan kami."

Ah, kata-kata itu keluar lagi.

Aku benci kalau kata-kata itu sudah keluar.

"Sudah wajar jika aku ingin kalian mati, kan? Aku hanya tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya dan aku masih ingin percaya kalian berguna," terang Leriana dengan tenang, entah tidak sadar atau tidak mau lihat kemarahan yang menggelegak dari mata kami semua. Hanya karena dia memegang nama sejati kamilah, yang menghalangi kami semua dari mencabik wanita kurang ajar satu ini. "Tapi kalau kalian tidak berguna, kalau kubiarkan mati pelan-pelan, pun, tidak akan ada ruginya, kan?"

"Kalau begitu, seharusnya kau bisa bebaskan kami, kan?" Klaus ikut berdiri. "Hei, Manusia?!"

"Dan membiarkan kalian menghancurkan satu desa lagi dalam satu malam? Tidak akan."

Klaus menggertakkan gigi. Hampir terdengar mendesis. "Selalu seperti ini...." Kedua tangannya mengepal hingga memutih. "Selalu saja kamu membela dan melindungi Manusia!"

Ah, perdebatan ini lagi.

"Kamu memperbudak kami, menarik kami dari satu pulau ke pulau lain, memperbanyak jumlah kami dalam kendalimu, dan membiarkan kami mati yang lahir dari darah kalian ini mati pelan-pelan!"

Aku tidak akan mengelak soal itu. Berada di sekitar mereka saja sudah tidak nyaman. Terlalu banyak dan beragam. Berambut merah dan emas, berkulit hitam dan putih, tinggi ataupun pendek. Kami berasal dari tempat yang berbeda dan tidak ada yang sepertiku. Entah bagaimana dari tempat asalku, Leriana hanya menemukan satu yng sepertiku dan sekarang dibawa bersama makhluk-makhluk bernama aneh ini.

"Kenapa?!" Klaus berseru. "Sementara kau berbaik hati kepada Manusia dan tidak ingin satu pun makhluk tidak berguna itu mati?!"

"Tentu saja karena mereka makhluk lemah, Klaus." Suara Leriana berubah sedikit lebih tenang. "Mereka makhluk yang perlu dilindungi. Jika mereka mati, kalian juga yang akan dirugikan, kan?"

"Kau tahu itu tidak—

Leriana tidak mendengarkan lanjutan ocehan Klaus. Wanita itu malah memandangku.

Ia menghela napas kasar. "Anak-anakku diisi makhluk idiot semuanya."

Ucapan itu membuat Klaus semakin naik pitam.

"Jangan bercanda!" Klaus menerjang dengan cakar teracung. Tapi seperti yang sudah-sudah, Leriana berhasil melihat arah pergerakan Klaus, meraih lengan Klaus.

Dengan gerakan yang mengingatkanku pada air yang mengalir, Leriana memutari tubuh Klaus dan memuntir tangan itu ke belakang punggung Klaus. Meksi tidak bersenjata, Leriana berhasil mematahkan satu lengan Klaus. Tapi Klaus tidak tinggal diam. Ia menggunakan kakinya untuk menyerang. Yang lagi-lagi bisa ditebak Leriana dengan langsung menghantamkan sikunya ke rusuk Klaus. Sekeras mungkin. Serangan Klaus batal. Tubuhnya sudah lebih dulu menghantam tanah.

Leriana tidak ragu menginjak kepala Klaus. Ia menatap Klaus yang mendesis marah dan frustrasi di bawah tubuhnya.

"Ananta." Alih-alih memanggil Klaus yang ada di bawah kuasanya, wanita itu malah memanggilku. "Kau tadi bilang, kau kalah cepat dari bajingan tolol satu ini?"

Aku bisa lihat pemberontakan Klaus semakin parah. Ia bahkan ikut memelototiku. Tapi aku mengabaikannya dan lebih fokus pada Leriana. "Ya."

"Tolol." Oh. Rupanya aku juga kena.

Leriana mendelik ke arahku, memalingkan mata terang-terangan dari Klaus. Meremehkannya.

"Kecepatan kaum kalian ini bukannya susah ditebak." Ah, satu lagi pelajaran? "Akan aku tunjukkan kepada kalian caranya menghindari serangan sesama kalian. Apalagi dari anak-anak liar itu."

Anak-anak liar, lucu sekali mendengar Leriana menyebut nama itu dengan aksen tanah kelahirannya. Rasanya seperti mendengar sekumpulan serangga kecil yang tidak berbahaya alih-alih sekelompok makhluk tidak berotak yang tidak bisa tenang walau sudah diberi nama.

"Tapi ingat." Leriana menghadap ke anak-anak lain yang sedang menyaksikan. "Gunakan ini hanya jika kalian dikejar oleh sesama kalian. Jika dikejar oleh Manusia, strategi ini harus berubah dan disesuaikan dengan kecepatan mereka."

Mendengar kata kecepatan disetarakan dengan manusia membuat beebrapa dari saudaraku tertawa geli. Yah, mereka tidak sepenuhnya salah.

"Ananta."

"Ya?"

Firasatku buruk.

"Kamu yang pertama."

Benar, kan?

***

Bersandar di pohon di tepi sungai, aku menghitung dalam kebosanan yang semakin lama semakin parah. Hitunganku belum penuh, memang, tapi menunggu selalu menjadi pekerjaan yang melelahkan, sekalipun kita tidak bergerak.

Karena itulah, menunggu lebih baik dikerjakan sembari tertidur. Atau mungkin Dorman.

Ah, ya, aku harus mempertimbangkan itu. Tidur selama lima puluh tahun mungkin tidak buruk juga. Toh setelah ini tidak ada yang harus aku lakukan lagi, kan?

Ketika hitunganku penuh, suara daun yang jatuh terdengar di kejauhan. Aku mendebas dan membuka mata, menatap aliran sungai yang jernih di hadapanku.

Beserta selusin aruna yang telah mengepungku.

"Kalian tepat waktu seperti biasanya." Aku bangkit berdiri, memandangi wajah serius mereka semua satu per satu. Tidak ada yang menyembunyikan wajah. Tapi aku mencium aroma hematit dan perak yang kuat dari masing-masing mereka. Sebuah persiapan. "Apa ada yang bisa aku bantu, Tuan-Tuan?"

"Tuan, mohon ikut kami ke Jakarta segera tanpa perlawanan," Salah seorang dari para aruna itu menyerahkan kepadaku sepucuk amplop yang aku terima dengan senang hati. "Mereka meminta kehadiran Anda di sana segera."

Aku membaca isi amplop itu dengan cepat. Sebuah perintah penangkapan. Sebuah agenda interogasi yang sudah dijadwalkan. Resmi dengan tanda tangan dan cap dari Gilang dan Klaus. Berdua.

Ah, ini bukan sesuatu yang bisa aku anggap remeh.

Aku melipat kertas itu kembali ke dalam amplop. "Baiklah." Dan memasukkannya ke dalam saku.

Bukannya aku tidak menduga kemungkinan ini. Tapi seharusnya Gilang menunggu satu atau dua hari lagi. Klaus pasti sudah bercerita kepadanya, kan?

Ya, kan?

Kecemasan itu membuatku sedikit banyak paham kenapa penjemputan ini terjadi cepat sekali. Kuharap itu hanya sekadar dugaan.

"Apa Klaus juga ada di Jakarta?"

"Tidak, Tuan." Pria yang menjawab tadi, kembali menjawab kini. Menegaskan perannya yang kelihatannya adalah juru bicara kali ini.

Sekaligus membenarkan dugaanku.

"Jadi aku hanya akan bertemu Gilang di sana?"

"Benar," jawab pria itu. "Dan beberapa perwakilan dari Eropa, Amerika, dan Afrika yang sudah datang."

Jika ini hari yang buruk bagiku, takdir sudah menemukan cara paling lucu untuk menyampaikannya.

"Baik," Aku mendebas, menyerahkan kedua tanganku. "Lakukan prosedurnya."

"Mohon maafkan kami." Salah seorang memberanikan diri untuk maju dan memasangkan padaku borgol yang sepenuhnya dari perak murni. Aku berjengit saat aroma tajamnya membuat visiku berguncang dan kepalaku terasa berat.

Borgol itu tersambung dengan seutar rantai yang juga terbuat dari perak. Rantai itu bercabang sampai enam bagian, dipegang oleh masing-masing orang yang mengawalku dari depan. Menjaga agar aku tidak sampai meloloskan diri. Sekalipun sebenarnya itu tidak perlu.

Tanpa membuang waktu, mereka langsung mengawalku melintasi hutan, meninggalkan kediamanku yang damai.

Dalam pergerakan yang cepat, aku melihat sekelebat bayang-bayang di antara dedaunan. Sekilas terlihat seperti hewan, tapi aroma yang samar-samar tercium mengatakan kepadaku yang sebaliknya.

Setidaknya bukan manusia.

Bagian dari prosedur. Pemeriksaan menyeluruh di semua area. Mereka tidak diragukan lagi akan menemukan pondok kecilku itu. Dan jika Ratna dan Eka tidak beruntung, mereka akan langsung ketahuan.

Itu, kalau Ratna memang ingin keberadaannya diketahui.

***

A/N:
Setelah bulan September melelahkan, akhirnya bisa lowong juga. Yah, walau nggak untuk waktu yang lama, sih. haha. 

Lagi mempertimbangkan untuk pindah aplikasi utama. Wattpad udah nggak asik karena gak bisa kepoin orang lagi. Padahal aktivitas saya sehari-hari di wattpad itu kepoin orang.  Notifikasi cerita baru juga nggak akan muncul kalau authornya gak bikin pengumuman. Padahal nggak semua dari kita ingat pengumuman, nggak semua baca pengumuman yang kadang bertumpuk, dan nggak semua dari kita baca notif pop-up yang nongol di handphone. 

Dengan sekolah daring ini, apalagi. pasti pas ada notif langsung hapus atau bersihkan. 

Kalau udah begini, kesempatan untuk penulis baru dikenal, semakin tipis. Alasan saya masih follow wattpad tinggal wattys aja. Kalau wattys juga udah nggak bisa diandalkan--a.k.a desain stikernya makin nggak niat--saya juga ogah bertahan di sini.

Saya tetap akan menamatkan kisah di sini, tapi mungkin wattpad ini bukan akan jadi yang utama lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro