7. The Raid

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingat Tuan Ananta memintaku untuk keluar dan ingin bicara mengenai Eka, tapi ...

Aku mengedarkan pandang, mendengarkan sekitar, dan membaui udara sebisaku. Sekuat yang aku mampu.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tuan Ananta di mana pun. Apa Beliau bercanda?

Ah, tidak mungkin, kan? Membayangkan orang seserius itu bercanda ... rasanya lebih tidak masuk akal daripada membayangkan Eka memakai gaun. Tapi alasan apa lagi yang ada jika orang yang mengundangku mendadak tidak ada? Beliau bilang akan menunggu, jadi tidak mungkin Beliau pergi duluan kecuali ...

Ah, apa Beliau berbohong? Tuan Ananta sedang....

Pikiranku terhenti saat mendengar ada yang datang. Banyak. Aku menghitung. Enam. Aroma aruna masuk ke hidungku. Enam Aruna datang dalam kecepatan tinggi ke mari. Dan dari berbagai arah.

Apa ... maksudnya ini?

Meski masih bertanya-tanya, aku memutuskan untuk bergerak cepat dan masuk kembali ke dalam pondok. Siapa pun itu, aku yang tidak mau ambil risiko, jadi aku kembali menyelimuti Eka dengan kain. Namun tinggal di dalam pondok juga bukan pilihan. Itu sama saja mengurung diri kami berdua dalam botol kaca tanpa jalan keluar. Jadi aku segera bergegas membawanya keluar pintu belakang. Aromaku mungkin masih akan tersisa di sekeliling pondok, tapi aku tidak menemukan barang apa pun yang bisa dijadikan bahan bakar untuk menghanguskan pondok ini jadi abu.

Lagipula aku tidak mau sembarangan menghanguskan tempat tinggal seseorang jadi abu. Terlalu frontal. Terlalu gegabah. Bisa-bisa, jika ada yang tahu kalau Tuan Ananta punya rumah di sini, akan ada yang curiga perihal kenapa rumah ini dibakar tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, sementara hutan di sekelilingnya tidak terbakar.

Kalau mau sekalian saja buat kebakaran hutan. Tapi kekacauan sebesar itu juga pasti mengundang perhatian: sesuatu yang paling tidak aku butuhkan sekarang.

Jadi, tidak. Terima kasih.

Aku memilih kabur saja.

Lagipula belum tentu ada yang tahu bauku di antara para aruna itu, kan? Aruna yang memergokiku tempo hari juga tidak tampak mengenalku sama sekali.

Dan ngomong-ngomong....

Aku menatap Eka dalam dekapan. "Eka, kamu tambah berat."

Selepas kata-kata itu keluar, aku merasakan tubuh dalam dekapanku sedikit bergerak. Tapi tidak ada suara. Syukurlah.

Sepertinya, meski pendengaran Eka sudah berfungsi baik, mulut Eka belum seberapa pulih. Kalau sudah pulih, mungkin gendang telingaku yang harus hancur, berikut pelarian kami yang serba apa adanya ini.

Sebuah ledakan emosi mendadak mengguncang kepalaku.

Berhenti, aku langsung bersandar dan bersembunyi di salah satu pohon besar. Ledakan emosi itu berdenyut-denyut di belakang tengkorakku. Kencang dan berdentam-dentam.

Kemarahan.

Tapi aku tidak marah sama sekali. Belum, setidaknya.

Ah, ya, benar. Kepala ini sekarang bukan hanya milikku. Ini bukan amarahku. Dentam ini tidak berasal dari kepalaku. Memejamkan mata, aku merasakan dentam ini berasal jauh dari dalam diriku, jauh ada di luar ragaku. Di sisi lain ikatan yang kembali hidup.

"Arka...." Ini amarahnya.

Kenapa dia bisa semarah ini? Baiklah, dia memang senantiasa kesal dan kadang mengamuk tanpa sebab, tapi amarah sekencang ini tidak biasa. Hanya untuk alasan baguslah ia bisa semarah ini.

Apa yang kiranya membuat dia kesal?

"Kalian menemukan sesuatu?"

Suara itu membuatku terlonjak. Menoleh ke balik pohon, pandangan mataku memusat ke arah pondok yang ternyata sudah lumayan jauh dari tempatku berdiri.

Ada lima orang memasuki dan mengelilingi pondok. Aku menghirup udara.

"Aruna...." Dan dari aroma mereka, kemungkinan kelas Generasi Pertama dan Original. Aku mendongak ke langit, baru menyadari sinar matahari terhalang pepohonan dan awan yang mulai berkumpul. Aroma air samar-samar tercium. Akan hujan.

"Ada aroma yang tertinggal di pondok, tapi aku tidak kenal." Aku kembali mendengarkan percakapan mereka. "Tapi ini jelas bukan aroma Tuan Ananta."

Bagaimana ini? Haruskah aku pergi dari sini segera? Seharusnya. Tapi jika aku bergerak dan mereka mendengar suara, mereka bisa melacakku langsung. Itu lebih dari berbahaya. Tapi jika aku tinggal, siapa yang tahu kapan mereka akan mulai menyisir daerah ini, kan? Jika aku tetap di sini dan ketahuan, itu akan jadi cara ketahuan paling konyol yang pernah ada.

Pikirkan bagaimana baiknya, Ratna. Pikirkan jalan yang akan membantumu lolos.

Ya ampun, denyut di kepala ini ... kemarahan ini membuatku sulit berkonsentrasi. Arka, tenanglah kamu di sana. Sebentar saja....

"Jadi kabar kalau Tuan Ananta merencanakan sesuatu itu, benar?"

"Tidak, kita tidak bisa menyimpulkan terlalu dini." Salah seorang Aruna yang lain menengahi. "Terlebih karena kita tidak menemukan satu pun barang aneh di dalam."

"Kamu benar." Aruna lain yang memakai jaket bertudung menjawab. "Aroma aneh itu hanya ada di dipan. Mungkinkah ... makanan?"

Makanan ... diam-diam aku melirik Eka. Mereka tidak salah sebenarnya.

"Kemungkinan sederhana itu memang masih bisa," Aruna lain menjawab. "Tapi kalau memang sesederhana itu, kenapa dia membangkitkan Sang Anak tak Bernama? Dia tahu betapa berbahanya makhluk itu, kan?"

Membangkitkan Anak tanpa Nama?

Mereka sedang membicarkaan Arka dan Tuan Ananta? Jadi kaum Aruna juga mengetahuinya? Ah, tidak, jika mereka datang begini, artinya ... tuan Ananta melakukannya diam-diam? Dan sekarang ia dicurigai?

Jadi Tuan Ananta memang benar-benar kabur? Meninggalkanku sendirian bersama Eka dan menghadapi semua aruna itu sendirian?

Mendadak saja, aku merasa kesal setengah mati. Aruna itu tidak membawa pakaian lain, aku ingat sekali, jadi ia tidak mungkin jauh. Tapi jika ia memang dikejar, pasti dia tidak akan kembali dalam waktu lama. Aruna bukan makhluk yang akan melupakan konflik begitu mudah.

Ampun. Sekarang aku harus bagaimana?

"Kita simpan pertanyaan itu untuk nanti." Aruna itu menengahi lagi. "Untuk saat ini, kita kabari Yang Mulia."

"Benar." Aruna itu tampak ragu. "Menurutmu kita harus melaporkannya pada Beliau juga?"

Aruna di sekelilingnya saling bertukar pandang, lalu mereka mengangguk bersamaan.

"Ya." Salah satu aruna menjawab. "Meski perintah ini tidak datang dari Beliau, sebagai salah satu pimpinan, Yang Mulia Klaus juga harus tahu."

Nama itu membuat sekujur tubuhku membeku. Seluruh tubuhku tidak bisa bergerak. Seperti ada kekang yang mengurung. Untuk waktu yang entah berapa lama, aku hanya bisa bergetar. Napasku sesak dan berubah cepat, pendek, dan putus-putus. Kepalaku langsung pening.

"Ini masalah yang bisa mengakibatkan konflik berkepanjangan," Salah satu Aruna menjawab. "Terlebih dengan pihak Manusia. Jelas keduanya harus tahu."

"Tapi Yang Mulia memutuskan untuk bergerak lebih dulu."

"Aku tidak menyalahkannya." Aruna lain menyahut. "Tapi Yang Mulia Klaus yang sekarang ... aku jauh lebih menyukainya. Aku rasa kita bisa percaya dan melaporkan hal ini juga kepada Beliau Jika Yang Mulia sudah mengijinkan."

"Sepakat." Semua aruna itu sepakat secara bersamaan.

Tenang, Ratna. Tenanglah.

Bukankah kamu sudah dengar kabar ini sebelumnya? Tuan Ananta juga sudah bilang, Tuan Klaus sudah dihidupkan kembali. Ini juga bukannya jauh dari dugaanmu, kan? Biar bagaimanapun, mereka pasti butuh Tuan Klaus. Mereka hampir hancur. Nara seorang diri tidak akan cukup.

Tapi ... tetap saja mendengar dirinya terlibat langsung ... artinya para aruna itu turun ke mari langsung atas perintah Tuan Klaus.

Jika aku sampai ketahuan....

Tanpa pikir panjang, aku berlari. Mungkin aku meninggalkan suara. Mungkin ada yang sadar. Ada suara di belakang, mungkin suara salah satu aruna itu yang sadar betapa berisiknya saat aku kabur, tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah menoleh lagi.

Pergi. Pergi. Pergi.

Hanya itu yang penting. Hanya itu yang bisa aku pikirkan. Pergi sejauh mungkin. Pergi ke luar jangkauan Tuan Klaus. Pergi keluar jangkauan pendengaran dan pelacakan para aruna itu. Jangan sampai mereka melihatku, mencurigaiku, dan membawaku. Hanya tinggal tunggu waktu jika aku sampai tertangkap. Mungkin tidak akan ada yang memikirkan seorang wanita asing di tengah hutan, tapi di tengah populasi yang menipis, kabar sekecil apa pun di bawah, akan sampai dalam waktu singkat ke orang-orang di atas.

Dan karena tidak ada cukup orang untuk menanganinya, para pemimpin bisa jadi langsung turun tangan.

"Kau adalah kesalahan, Ratna." Kata-kata itu bergema dalam kepalaku, membuat dekapanku ke tubuh Eka semakin erat. Tapi hal itu rupanya tidak mencegah wajah Tuan Klaus dari muncul menghantui benakku. Wajahnya yang senantiasa dingin, suaranya yang selalu tanpa emosi kepadaku, tapi hangat kepada para Manusia. Kata-katanya yang tidak pernha berubah tidak peduli selama apa aku hilang atau separah apa lukaku saat kembali.... "Kau kesalahanku ... kesalahan yang tidak bisa diperbaiki."

Tidak.

Itu tidak benar. Ya, kan?

Aku adalah aku. Ratna bukan kesalahan. Aku bukan kesalahan.

Benar, kan ... Guru?

"Kau bukan kesalahan, Ratna."

Tanpa sadar pandanganku memburam. Air mata menumpuk di mataku, menggelapkan pandanganku yang berlalu dengan cepat karena berlari dengan kecepatan penuh, menghindari semua ranting dan dahan yang rentan patah. Tidak boleh ada suara. Tidak boleh ada jejak yang terlalu banyak.

"Kau berubah, Ratna."

Kendali atas emosiku lenyap. Aku berhenti menenangkan Arka dan mengirimkan segenap emosi yang aku rasa. Sambungan itu senyap untuk sesaat, sebelum terisi kepanikan yang teramat sangat. Kepalaku berdenyut oleh rasa sakit yang baru, rasa sakit yang kali ini aku biarkan saja menggerogoti kesadaranku

Aku punya alasan. Dekapanku kepada Eka menguat. Aku punya alasan untuk mengakhiri semua ini. Aku sudah punya alasan dan kekuatan berkat anak ini, tapi ... ternyata memang belum bisa.

Aku belum siap. Mendengar Tuan Klaus kembali dan berkuasa lagi, tanpa ada yang memihakku kali ini ... dengan aku yang tahu tidak akan lagi ada yang sanggup menghentikan atau melawannya ... aku tidak sanggup.

Aku berhenti ketika denyut itu sudah tidak bisa lagi aku tangani. Denyutnya membuat pening dan sakit secara bersamaan hingga tubuhku limbung.

Kami berdua sampai di lahan terbuka. Tepat di tepi hutan. Di tepi peradaban yang kelihatannya sudah ditinggalkan.

Pemandangan di depan sana menakjubkan. Banyak rumah yang ditinggalkan, mobil yang dibiarkan berserak, dan tentunya jika beruntung akan ada perabotan yang bisa kami pakai. Mungkin malah menjadi tempat persembunyian yang bagus.

Tapi aku tidak bisa menikmati apa pun. Tidak termasuk staminaku yang kembali atau bagaimana perjalanan kali ini lancar tanpa ada gangguan seperti sebelumnya. Aku tidak terjatuh ataupun mendadak kehilangan kesadaran.

Sayang, di saat yang sama, aku tidak peduli pada apa yang tersaji di depan mata, tidak ketika aku merasa tenggelam semakin dalam di pikiranku sendiri.

Aku jatuh berlutut, mendekap Eka. Wajahku tenggelamn ke lutut. Dahiku bertumpu di tempurung lutut yang ditekuk.

"Kenapa...." Aku yang memilih jalan ini. Aku yang memutuskan untuk percaya sekali lagi pada mereka, Manusia dan Aruna. Aku tidak lagi ragu saat mengakhiri semuanya kali ini.

Tapi aku rupanya masih belum sanggup memaafkan. Aku ditampar oleh kenyataan bahwa memberi kesempatan pada orang lain tidak sama dengan memaafkan. Aku memberi mereka kesempatan untuk hidup, tapi melihat mereka ... mengetahui jika mereka selamat saja ... aku hampir mual mendengarnya.

Tidak bisa. Ternyata memang tidak bisa.

"Eka." Aku mendekap selimut itu lebih dekat. Dia adalah harapanku, harapan jika aku masih punya nurani. Harapan yang menunjukkan bahwa aku masih bisa ... menyelamatkan satu jiwa. Satu saja.

Dia juga harapanku untuk kaum Aruna dan manusia, melihat reaksi mereka. Mengamati sekali lagi.

Tapi kali ini untuk apa? Apa aku mau memusnahkan mereka lagi? Meluapkan kebencianku kepada mereka? Untuk apa?

Wajah-wajah dari orang yang menerimaku, sedikit orang yang mau menerimaku, tapi kini telah menjadi bagian dari hidupku, kembali muncul. Aku tidak bisa membayangkan mereka semua mati. Apalagi karena ulahku. Aku tidak mau membayangkannya. Tidak lagi.

Tapi memangnya ... jika sampai Eka ditolak oleh orang-orang ... jika nasib Eka tidak ubahnya sepertiku, bukan berarrti Eka akan menyerah sepertiku, kan? Gadis ini ... pasti akan maju tanpa ragu, melibas semua yang menghalangi. Dia punya kekuatan aneh yang membuat orang-orang mendekat kepadanya, tidak peduli seberapa menakutkan dirinya. Eka punya kekuatan untuk terus berdiri meski semua orang menghujatnya. Aku sudah menyaksikannya sendiri.

Lalu jika pun Eka jatuh, apa yang mau aku lakukan?

Aku mau Eka mengikuti jejakku? Memusnahkan semuanya?

Tidak, aku tahu itu bukan yang aku inginkan. Aku tidak menginginkan hal serumit itu. Segalanya tidak pernah rumit sedari awal, jika saja aku lebih memahami diri sendiri. Jika saja aku sedikit lebih pintar.

Dalam diam, aku mengirimkan ketenangan ke ujung lain ikatan jiwa itu. Mengirimkan sebuah kebahagiaan dan kenyamanan, sebanyak mungkin ketenangan sembari membayangkan beberapa kenangan damai yang aku miliki. Tidak bahagia, tapi aku merasa damai setiap kali mengingatnya.

Bukan pula sebuah kenangan indah. Kenangan itu kebanyakan hanya diisi sebuah sore atau pagi ketika aku tidak melakukan apa pun selain minum teh di meja sendirian atau memanjat pohon dan mengamati pemandangan, tersembunyi dari mata orang-orang. Selama beberapa saat yang sangat berharga.

Ujung lain ikatan itu tenang. Kepanikan yang tadi sempat menguasaiku, perlahan-lahan sirna. Dan sebuah ketenangan yang balik menenangkan dikirim dari sana.

Seolah ia ingin menenangkanku juga.

Aku menahan dengkus tawa. Tidak hanya kepada Tuan Klaus saja aku takut. Ada satu orang lagi yang belum sanggup aku temui sampai sekarang. Dan mungkin tidak akan pernah siap. Tidak setelah apa yang aku lakukan.

"Tapi ... segalanya memang harus berakhir ... bukan begitu, Arka?" Aku mendongak, menatap deretan rumah tak berpenghuni di hadapanku. "Setelah semua ini berakhi...."

Aku memejamkan mata. Setetes air mata terakhir turun membasahi pipiku. Tanganku mengelus selimut tempat Eka bergelung. Perlahan, aku mendekat, tepat ke arah telinganya.

"Tolong bunuh aku."

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro