Bab 5. Nick: Fakta Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue termenung sepanjang perjalanan. Laju sepeda motor besar yang biasanya gue pacu kencang kali ini hanya perlahan. Gue merasa kehilangan harapan, padahal semua belum jelas. Namun, pemandangan yang baru saja gue lihat cukup menohok.

Diva memiliki anak? Lalu Yama itu siapanya? Terlihat jelas perempuan berpotongan bob tadi kayak nggak suka sama Yama. Apa mereka suami istri yang dalam proses perceraian? Atau apa? Hah, gue pusing dan bingung mikir semua itu.

Sengaja gue nggak pulang ke rumah mama dan memilih ke apartemen. Gue perlu menenangkan diri. Mungkin dengan menulis, kekacauan dalam otak gue bisa reda. Gue harus menulis biar otak kembali waras.

Sesampai di apartemen, gue langsung mandi dan bikin smoothie buah, kebetulan persediaan alpukat masih ada dalam kulkas. Sengaja nggak pakai gula dan susu demi memperoleh hasil terbaik buat badan gue. Alpukat itu buah yang kaya akan omega sembilan dan serat, juga mengandung asam lemak tak jenuh tunggal yang berguna untuk menurunkan kolesterol jahat sehingga baik untuk kesehatan jantung. Alpukat juga baik untuk kulit dan rambut, serta ... bisa meningkatkan libido--sebenarnya belum perlu--jadi mungkin saat gue kesambet setan mesum itu nggak lain adalah ulah buah ini.

Gue memang termasuk yang peduli dengan kesehatan. Namun, ada satu makanan yang sampai saat ini masih jadi candu buat gue, yaitu mi instan. Gue sering banget curi-curi kesempatan untuk makan mi instan. Apalagi mama selalu akan ceramah kalau tahu gue makan makanan sejuta umat itu.


Meski gue tahan dan cegah tapi keinginan makan mi instan bakal lebih besar, lalu gue menyerah. Selalu kayak gitu. Kali ini berhubung nggak ada makanan sudah pasti jadi alasan gue untuk mengonsumsi makanan kemasan itu. Gue merebusnya dicampur telur dan caisim.


Mi instan dengan aroma khasnya kini siap di santap. Gue membawa mangkuk keramik hitam berisi mi instan panas dengan nampan menuju ruang baca. Di sini gue biasa menghasbiskan waktu berjam-jam dengan bacaan atau tulisan.


Sebenarnya papa yang menata ruangan ini, semua disusun rapi dan selalu berpesan untuk merapikannya kembali saat gue selesai. Papa memang gemar baca, beda sama mama yang terkesan menghindari buku, terutama buku fiksi. Gue kurang paham kenapa mama kayak gitu, tapi papa melarang untuk bertanya lebih jauh.


Baru saja buka komputer dan menulis beberapa kalimat, ponsel gue bunyi tanda ada pesan masuk. Sesuap mi instan masuk ke mulut lalu gue beranjak mengambil handphone bergambar apel itu dari meja kaca yang berada di samping pintu. Ternyata ada sebuah chat masuk dari Bunga.


Bunga ini adalah teman dunia maya gue. Kami berteman sudah cukup lama, tepatnya saat gue mulai suka posting tulisan di grup kepenulisan facebook. Dia salah satu pembaca setia cerpen maupun cerbung punya gue.


Bunga: Sore, Elang!
Bunga: Apa kabar?
Bunga: Lama kita nggak ngobrol, kamu sehat, kan?


Elang: Sore juga.
Elang: Kabar baik. kamu apa kabar?


Bunga: Baik juga. Kamu sibuk apa sekarang?
Bunga: kok nggak posting cerita lagi?


Elang: Ada kesibukan dunyat.


Bunga: Aku kangen.


Elang: hahhaha.


Bunga: jangan geer. aku kangen tulisan kamu.


Elang: lagi nulis, bentar lagi aku post.


Bunga: Kapan kita bisa ngobrol langsung, ya?


Elang: Gimana?


Bunga: ketemu, ngobrol, tatap muka.
Bunga: aku penasaran sama wajah kamu, eh.
Bunga: ketemuan yuk!


Elang: Hhahhhaaa nggak janji. aku sibuk banget.


Setelah jawaban gue itu Bunga nggak balas lagi, padahal lampu hijau masih menyala, itu artinya dia masih online. Gue bukan benar-benar sibuk sampai-sampai diajak ketemuan sama cewek nolak. Gue sebenarnya takut. Takut identitas asli gue terbongkar. Gue nggak mau mama marah besar kalau tahu tentang ini.


Elang: kamu lagi ngapain?


Nggak ada jawaban juga. Gue rasa dia sedikit ngambek. Saking asyiknya gue menatap layar ponsel sampai lupa mi instan sudah nggak layak makan. Duh, sialnya gue. Padahal bayangan mi super lezat tadi sempat memenuhi otak. Kini semua tinggal kenangan, karena mi yang gue makan ini nggak jauh beda sama makanan bayi yang hambar. Nasib gue gini amat.


Dengan menahan kesal akhirnya tandas juga mi rasa makanan bayi itu. Gue putuskan untuk kembali menulis sebuah cerpen dan kemudian unggah ke grup. Ratusan like gue dapat seketika, bahkan belum genap sepuluh menit diunggah. Komen-komen bermunculan, tapi nggak ada nama Bunga di sana. Tumben.


Dering telepon membuyarkan fokus gue dari komputer. Adhi. Gue menjawab panggilan itu sambil membawa smoothie alpukat keluar ruang baca. Gue duduk di balkon yang menghadap ke jalanan ramai di bawah sana. Minuman hijau itu sudah pindah ke perut sebelum oksidasinya bertambah karena nggak buru-buru diminum. Oksidasi mengubah rasa alpukat yang tadinya gurih jadi sedikit langu dan asam.


"Apa kabar, Bro?"


"Baik, Dhi. Gue belum balik ke rumah, nih. Masih di apartemen."


"Aku baru ingat sesuatu," ucapnya di seberang sana terdengar serius, "tentang Diva."


Napas gue sedikit tertahan demi mendengar nama itu. Adegan beberapa jam lalu kembali memenuhi pikiran. Ditambah Adhi yang tiba-tiba menyebut nama wanita bertato matahari dengan mata cokelat mudanya yang memabukkan.


"Ada apa?" tanya gue tanpa semangat.


"Aku yakin banget ini," tegas Adhi sebelum memberitahukan informasi utama, "Diva itu mantan pacar Anthony, salah satu anak teman Bapak. Kamu ingat, kan?"


Deg! Jantung gue seolah berhenti berdetak. Anthony Alexander White adalah anak tunggal dari seorang investor asal Australia yang kekayaannya luar biasa banyak. Tanah-tanah Bali sebagian adalah miliknya, meski menggunakan nama orang lain yang merupakan penduduk setempat. Ayah Adhi adalah salah satu yang dipercaya sebagai nama yang didaftarkan sebagai pemilik.

"Serius kamu?" Gue mendadak tegang mendengar informasi dari Adhi, "jangan ngarang!"

"Yah, masa aku bohong, buat apa coba?" Adhi menarik napas berat, "aku ingat betul wajahnya, pernah beberapa kali ketemu pas ngumpul di kafe. Sorry to say, mereka pernah tinggal bareng," lanjutnya melengkapi informasi yang sukses membuat gue terlonjak kaget. Gue berusaha nggak percaya, tapi ini yang bicara Adhi. Gue tahu seorang Adhi nggak akan berkata bohong sekalipun keadaannya terdesak. Jadi, kali ini gue cuma bisa memejamkan mata sejenak.

Jadi, apa anak perempuan kecil tadi itu anak Anthony? Memang raut wajahnya sedikit kebulean. Dengan rambut sedikit bergelombang yang berwarna hitam, sama dengan rambut Anthony. Gue memijit kening yang serasa berdenyut. Gue benar-benar speechless, nggak tahu harus bagaimana. Gue mengacak rambut yang masih menguarkan aroma shampoo kemudian mendengkus.

Adhi mematikan sambungan telepon setelah info yang dia berikan dirasa cukup. Rasa ingin tahu gue kembali memuncak dan akhirnya menyerah, lalu mengambil satu keputusan. Gue harus cari tahu yang sebenarnya.

Detektif Nick akan kembali beraksi untuk menemukan fakta baru dan mengungkap kebenaran. Gue semangat melakukannya. Sekarang lebih baik gue pulang ke rumah mama. Setelah mencuci perabot kotor akhirnya gue turun dari lantai delapan belas menuju parkiran. Sempat mengamati sebentar penampilan gue dari kaca spion. Senyum manis tetap masih jadi milik gue meski hidup tanpa konsumsi gula berlebih. Rambut pirang gue terlihat sedikit berantakan, mungkin sudah waktunya menyambangi tukang cukur langganan di pengkolan jalan pas di belakang kantor Walikota.

********$$$$$********
Selamat pagi, semoga sehat semua ya. Mamak renjer up pagi trus mau bobo lagi, body lagi manjah, lagi pengen dimanjah. Typo dan plot hole mungkin akan bertebaran, percayalah memang baru segini kemampuan nulisku.

Kritik saran boleh disampaikan. Maaf kalau nggak balas komen, bukan malas tapi ada masalah sama sinyal, maafkan.

Salam hangat

Nofi

Tangsel, 5 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro