Bab 6. Diva: Getar Manis yang Menyakitkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabtu sore yang cerah, kebetulan jadwal pemotretan kosong. Al dan Tante Ayu sedang pergi arisan yang memang diadakan setiap sabtu sore. Aku berniat menikmati jus jeruk di teras depan dengan novel romantis karya Elang.

Baru beberapa menit aku merasa seperti diperhatikan. Dengan sedikit penasaran aku mendongak dan mencari. Di sana, sosok itu kutangkap. Laki-laki berjaket kulit hitam dengan rambut pirangnya yang berkilau terpapar matahari sore. Kulit putih yang kontras dengan pakaian membuat wajahnya bagai memancarkan aura cemerlang, cerah seperti cuaca sore ini.

Nick terlihat menatapku dalam diam di atas sepeda motor besar berwarna hitam, helm full face terlihat dalam dekapan tangan berkaus dengan warna senada. Jins biru adalah satu-satunya yang nampak terang, selain wajah dan rambut di antara warna gelap nan terlihat macho itu.

Tak sadar bibirku mengucap nama lelaki itu. Senyuman manis terkembang dari bibir merahnya yang terlihat basah. Senyuman yang begitu manis. Aku yang seperti kena sihir mendadak sadar dan tiba-tiba penasaran sedang apa dia di sana.

Segelas jus jeruk manis segere kutenggak habis demi menambah energi dan kekuatan. Menyambangi lelaki itu untuk menanyakan apa yang dia lakukan di sana akan menjadi hal sulit dan kemungkinan akan membutuhkan banyak energi untuk meredam gejolak hati yang tak menentu. Novel bersampul biru putih sengaja kubawa, siapa tahu bisa dijadikan senjata.

Lelaki itu tersenyum semakin lebar saat menyadari langkahku terayun ke arahnya. Seperti memang begitulah yang dia mau. Helm yang sedari tadi dipeluknya sekarang diletakan di atas tangki. Dengan ragu aku semakin memangkas jarak dengan langkah kecil. Meski debaran jantung tak menentu, tapi aku berusaha mengendalikan dengan berpura-pura bersikap tenang.

"Halo, Div," sapanya dengan senyum yang sukses menghasilkan sedikit cekungan di pipi kirinya, sungguh manis, "masih ingat aku?"

"Mau apa lo kemari?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.

"Pengen lihat kamu, ngobrol, atau jalan bareng malam mingguan juga boleh," Nick terkekeh dan itu membuat aku meradang. Bukankah dia kemarin lihat Al? Berani-beraninya menawarkan kencan, eh ralat malam mingguan bareng. Nggak bisa dibiarkan.

"Nick, atau siapapun nama lo, tolong jangan ganggu gue," tegasku. Sebelum berbalik aku bilang padanya, "gue udah punya anak."

Langkahku tertahan karena tangannya meraihku. Lenganku sedikit dicengkeramnya, dan itu membuatku takut. Perlahan tapi pasti peluhku membanjir. Nick melepaskan cengkeramannya, karena mungkin takut akan reaksiku.

"Sorry. Aku cuma pengen kenal kamu lebih jauh, Div," ujarnya serius. Tatapan pria berkulit putih itu terasa begitu intens seperti sedang menelanjangiku, "Aku melihat begitu berat beban yang kamu tanggung saat ini," katanya kemudian.

Aku kembali berbalik dan memberanikan diri membalas tatapannya. Pria itu bisa melihat bebanku? Bahkan mengenalku saja tidak, bullshit!

"Jangan berlagak sok tahu! Gue nggak punya beban apa-apa, fyi!"* Kali ini aku benar-benar melangkah pergi dengan perasaan kacau. Siapa dia berani mengatakan hal seperti itu?

"Ngomong-ngomong kamu baca novel romantis?" tanyanya.

"Bukan urusan lo!"

Langkahku makin menjauh dan bersiap menyeberang jalan. Sepertinya Nick melihat sampul novel di tangan kiriku tadi. Masa bodo, aku nggak punya urusan sama dia. Aku memang suka baca novel romantis dan sering terbuai akan kisah-kisah di dalamnya.

"Aku nggak akan nyerah sampai aku dapatin kamu!" teriaknya.

Aku hanya mendengkus seraya menahan sesak yang perlahan mulai terasa. Menyeberang jalan secara asal, untung saja kendaraan sedang tak begitu banyak berlalu lalang. Sesampainya di depan pagar tiba-tiba Nick sudah berada di sampingku. Dengan sepeda motor yang meraung perlahan dan kaca dibuka menampakkan mata coklat nan lembut itu. Segera kubuka pagar dan masuk lalu menguncinya.

"Gue mohon ini pertama dan terakhir! Nggak usah kepo sama urusan gue, ngerti?" cerocosku dari balik pagar besi warna hitam yang sudah berkarat dan beberapa bagian mengelupas catnya. Pintu pagar rumah Tante Ayu ini memang tidak terlalu tinggi dan juga hanya berupa besi yang dipasang vertikal yang dilapisi plastik viber rendah sehingga bisa bertatap muka dengan orang di luar. Nick hanya menampakkan mata yang tersenyum.

***

Mataku menatap baris kata yang tercetak di novel karya Elang itu, tapi pikiranku justru melanglang buana. Kilasan-kilasan kejadian dalam kurun waktu seminggu ini sungguh membuat getaran asing di hati. Terutama saat akh mengingat tatapan lembut dan senyum manis Nick.

Aku berusaha memejamkan mata sejenak demi membuat konsentrasi baca kembali, tapi nihil. Justru wajah Nick yang makin merangsek dan memenuhi pikiran. Tante Ayu dan Al sudah tertidur, dan biasanya aku pun begitu. Sangat berbeda dengan malam ini, pikiranku benar-benar kalut.

Ada sebuah rasa yang sepertinya sangat aku kenal tapi terasa asing. Ada getaran halus yang justru menyesakkan. Debar-debar manis yang justru menyakitkan. Aku berharap perasaan ini hanya sementara.

Aku sungguh tidak mengizinkan diriku jatuh ke lubang dalam layaknya masa silam. Aku tak menginginkan kesakitan yang mungkin akan lebih mematikan dari yang pernah kurasakan. Tidak, aku akan membuang segalanya.

Tuhan, tolong jangan biarkan aku merasakan sakit lagi.

Dalam keadan seperti ini aku hanya akan membaginya dengan Yama. Kemudian akh meraih ponsel yang tergeletak di nakas lalu menghubungi mantan bosku itu. Nada telepon berbunyi lama dan tak ada jawaban.

Yam, besok aku ke restoran ya, kamu ada waktu?

Kuletakkan kembali ponsel dan segera merebah, berharap kantuk segera menjemput dan bisa tidur dengan tenang tanpa mimpi buruk. Biasanya saat pikiran kacau seperti ini mimpi buruk dengan senang hati mampir ganpa permisi. Doa tidur kulafalkan dan berharap malaikat menjagaku.

***
*for your information

Mamak renjer lagi manjah, maafkan baru up. Ada yang kangen? Enggak? Yaudah.

Kritik saran masih boleh di komen kok.

Salam manjah, muachhh

Nofi.

Tangsel, 6 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro