11. Pembentukan Poros Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa kau akan membiarkan putrimu disingkirkan?" Pertanyaan Abraham membuat Sadhe menggertakkan gigi. "Mereka pernah merusak rumah tanggamu dan membunuh Milana, sekarang mereka mengarahkan senjatanya ke anak perempuanmu. Jika Seveila berhasil dibunuh, sebentar lagi giliran Dhesias."

Sadhe diam dengan tatapan tertuju pada berkas laporan yang ada di depan matanya. Grand Duke Abraham merupakan adik Ayahnya dan mereka berdua memiliki hubungan yang cukup dekat. Dulu, saat dia masih kecil, Abraham sering bermain bersama serta mengajarinya banyak hal tentang disiplin militer. Namun, setelah Abraham menerima gelar dan mengubah nama keluarga, mereka jadi jarang bertemu. Mulanya Milana yang memelihara hubungan keluarga di antara mereka berdua, dengan sering mengajak Seveila dan Dhesias pergi berlibur ke wilayah kekuasaan Abraham. Namun semenjak Milana meninggal, tidak ada lagi yang bisa merawat hubungan tersebut sehingga mereka agak canggung saat bertemu.

Tapi, kecanggungan itu langsung lenyap begitu membicarakan masalah Seveila dan Dhesias. Buktinya, sang Paman langsung menodongnya dengan pertanyaan yang membuat Sadhe kesulitan menjawab.

"Paman tahu sendiri, sulit membungkam mulut mereka saat ini," kata Sadhe sembari memijat pangkal hidung. Kepalanya sakit usai membaca laporan tentang pergerakan pasukan Querta di perbatasan Utara.

"Apa kau benar-benar yakin kalau kali ini sulit membungkam mereka?" Abraham yang duduk di seberang meja kerja Sadhe menatapnya tajam.

"Apa maksud Paman?"

"Dulu kau gagal melindungi Milana karena kebodohan dua keluarga besarnya dan tidak punya cukup pendukung untuk balik menekan keluarga Leroid," kata Abraham. "Apa sekarang kau mengira situasinya masih sama?"

Kali ini Sadhe terdiam. Leroid merupakan keluarga Ratu Lalena dan memiliki kekuasaan yang cukup besar. Keluarga mereka merupakan salah satu pendukung Raja pertama dan menjadi pahlawan kerajaan yang dijuluki Kesatria Mawar Hitam dengan gelar Marquiss. Kekuatan militer mereka sangat disegani, sebelum ada undang-undang yang memaksa tentara keluarga Leroid melebur di bawah komando Istana.

"Sekarang tidak ada orang bodoh yang bersekongkol dengan pengkhianat," jelas Abraham dengan dua tangan bertumpu pada tongkat jalannya. "Dan kau tidak sendirian untuk memperjuangkan anakmu. Ada Dhesias yang bisa membantumu. Aku yakin, kalian sama-sama tidak ingin nasib Seveila lebih buruk dari ini. Bicaralah dan cari jalan keluarnya."

Sadhe mengepalkan tangan dengan dahi berkerut, hingga Abraham mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.

"Hubungan kalian masih buruk?"

"Paman sepertinya mendengar banyak hal ya, walau berdiam diri di timur," sindir Sadhe.

"Diam bukan berarti buta dan tuli, Nak." Panggilan Abraham membuat Sadhe kembali diam. "Kalau kau membiarkan Leroid berkuasa lebih dari ini, maka tata aturan di kerajaan ini akan berantakan."

"Paman bicara seperti itu setelah cengkeraman mereka sedalam ini?" geram Sadhe.

"Kau tahu sendiri, aku harus membereskan masalah dengan Darkailant dan menyelamatkan sisa harta Milana untuk Dhesias dan Seveila," Abraham menarik napas panjang.

Darkailant merupakan kekaisaran yang berbatasan langsung dengan Ifrusilant di bagian timur. Seperti hubungan Ifrusilant dengan Querta, hubungan antara Ifrusilant dan Darkailant juga terkadang kurang bagus.

"Beri Dhesias wilayah dan gelar, biarkan Seveila mengikutinya," kata Abraham. "Walau pun Majelis Tinggi akan menyudutkanmu, tetapi kau bisa memberikan alasan yang layak. Sudah terlalu lama kau menahan Dhesias di sini."

"Anak itu tumbuh dengan sangat baik, sampai aku takut melepasnya," gumam Sadhe.

"Kau terpikir perang saudara?" tanya Abraham.

Sadhe mengangguk pelan. "Hubungan Ayah dan Paman berbeda dari hubungan Dhesias dan Heris. Aku rasa, Dhesias tidak akan segan untuk memotong tangan atau kaki Heris."

Abraham tertawa mendengarnya. "Jadi ini tentang anak yang kau sayangi?"

"Bukan, Paman. Maksudku, jangan sampai terjadi lagi ketimpangan kekuatan di kerajaan ini!"

"Justru kau akan membuat kekuatan tersebut imbang!" tukas pria tua berambut kelabu itu. "Mereka akan saling mengekang!"

"Bagaimana kalau aku meninggal?!" nada suara Sadhe meninggi.

"Nak..., kau tidak bisa mengontrol anak-anakmu terus-menerus," ujar Abraham. "Stevan dan Damien merupakan anakku, tapi aku tidak bisa memaksa mereka untuk bersamaku terus-menerus. Mereka manusia, punya akal dan rasa. Yang bisa kau lakukan adalah memberi mereka pengarahan dan pengertian, tentang betapa kejamnya hasil yang diperoleh dari perang saudara."

Sadhe tak bisa berkata apa-apa mendengar ucapan pamannya. "Apa Paman tidak punya saran lain?"

"Saran yang tadi bukan pilihan, tapi keharusan. Kemudian satu tambahan dariku, pastikan permata-permata itu ditangani oleh Sanwell. Kalau permata itu jatuh ke tangan Leroid atau keluarga yang berafiliasi dengan Leroid, kau benar-benar akan mati langkah."

***

Sadhe memanggilnya ke Istana.

Dhesias bertanya-tanya, apa yang ingin dibicarakan ayahnya di masa tenggang sebelum sidang Majelis Tinggi tujuh hari lagi. Dia yang tadinya berniat melihat keadaan adiknya di rumah sakit, pada akhirnya berangkat pagi-pagi sekali ke Istana untuk menemui ayahnya. Di sana, Sadhe menunggu dengan mengenakan setelan kemeja berwarna gelap dan lencana jabatan yang tersemat di dada kanan.

"Yang Mulia," Dhesias membungkuk, memberikan salam pada ayahnya.

Bukannya dipersilakan duduk di seberang meja kerja, tetapi Dhesias justru diminta duduk di kursi tamu yang ada di dalam ruangan. Lebih mengherankan lagi, di atas meja kopi kini sudah terhidang sepiring camilan dan dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap.

Apa Ayahnya mencoba meracuninya? Apa yang sedang dipersiapkan Ayahnya? Dhesias duduk di seberang kursi Sadhe dengan ragu-ragu. Kemudian perbincangan dibuka dengan kue yang disukainya sewaktu kecil dulu. Ini membuat Dhesias tidak tahan untuk bertanya ke pokok pembicaraan.

"Apa Yang Mulia memanggil saya hanya untuk mengajak minum teh dan makan kue?" tanya pria bersetelan biru gelap itu tajam.

Sadhe tersenyum getir melihat reaksi anaknya yang tidak sabaran. "Sudah berapa lama kita tidak duduk berdua dengan tenang dan nyaman?" Dia meletakkan cangkir teh yang dipegangnya ke meja. "Sudah berapa lama kau berhenti memanggilku Ayah, Nak?"

Pertanyaannya membuat Dhesias terdiam.

"Aku tahu, keputusanku di masa lalu pasti mengecewakanmu dan Seveila. Bahkan, aku kecewa pada diriku sendiri," kata Sadhe. "Aku masih belum bisa menerima kematian Ibu kalian hingga saat ini."

Dhesias ingin mencemooh ucapan ayahnya. Bagaimana beliau bisa mengatakan belum bisa menerima kematian Ibu mereka, sementara setelah hukuman gantung itu, Beliau menikahi dua wanita lain dan memiliki anak dari mereka, yaitu selir Hilna dan Itania. Bagaimana Dhesias bisa percaya pada ucapan ayahnya?

"Penyesalan tidak akan membawa ke mana-mana, Yang Mulia," ujar Dhesias. "Ibu juga tidak akan kembali hidup."

"Kau benar," Sadhe tersenyum tipis. "Karena itu, aku tidak ingin menambah penyesalan."

"Apa maksud Anda?" Dhesias menatapnya tidak mengerti.

"Aku akan memberimu gelar, wilayah, dan nama keluarga baru," ujar Sadhe. "Bawa Seveila bersamamu setelah ini."

Dhesias terpaku mendengar pernyataan ayahnya. Itu berarti, dia akan bebas dari pengawasan Ratu! Mendapatkan gelar, wilayah, dan nama keluarga baru sama saja memberinya keleluasaan dalam memasuki ranah politik.

"Namun, Ayah ingin meminta satu hal padamu," Sadhe menatap putra sulungnya dalam-dalam. "Jadilah penengah untuk kerajaan ini."

Dhesias menyeringai, nyaris ingin tertawa mendengar permintaan ayahnya. Sudah jelas, bahwa ayahnya tidak ingin dia menyerang Heris atau pun keluarga Ratu.

"Ayah masih melindungi mereka?" Panggilan itu terlepas begitu saja dari bibir Dhesias. Ekspresi wajahnya terlihat penuh kepahitan. "Setelah yang dilakukan mereka semua, Ayah masih memikirkan mereka?!"

"Heris putra Ayah, sama sepertimu," ujar Sadhe. "Ayah hanya tidak menginginkan terjadi perang saudara."

"Lalu di mana Ayah saat aku butuh sokongan Ayah saat mereka melengserkanku?!" serunya marah. "Ayah hanya diam, tidak melawan atau pun membela!"

Sadhe tidak bisa mengelak dari tuduhan itu. Memang itu yang terjadi pada waktu sidang Majelis Tinggi setelah keluarga Ratu sebelumnya dieksekusi. Babak kedua dalam hidupnya yang terasa sangat berat, karena dia harus memilih antara putranya dibiarkan hidup tanpa kekuasaan, atau mati.

"Ayah melakukannya untuk mempertahankan kalian," jelas Sadhe.

Dhesias tertawa lirih. "Mempertahankan atau membiarkan kami hidup sengsara? Sepuluh tahun aku merasa seperti tikus got yang harus lari ke sana-kemari untuk bertahan hidup. Sekarang Ayah memberiku kebebasan, tapi dengan syarat seperti itu? Ini tidak adil."

"Dhesias, Ayah mohon... Ayah tidak ingin kerajaan ini pecah karena perang saudara," kata Sadhe.

"Harusnya Ayah memikirkan itu sebelum menerima uluran Leroid," balas Dhesias sambil melipat kedua tangan di dada. "Jika boleh memberi saran, sebaiknya Ayah melepas Heris. Dia tidak akan jadi apa-apa, jika Ayah maupun Ratu melindunginya terus-menerus. Anak itu akan jadi pohon di rumah kaca kalau dibiarkan seperti ini."

"Tidak perlu mengulang tragedi, jika bisa mencegahnya," komentar Sadhe.

Dhesias memalingkan muka dengan malas. Kesal mendengar pembelaan ayahnya kepada Heris.

"Bagaimana? Kau setuju dengan penawaran Ayah atau tidak?" Sadhe mengulang lagi penawaran tadi.

Dhesias menggertakkan gigi. Tanpa dipikir dua kali, dia tahu mana yang lebih menguntungkan untuk dirinya maupun adiknya. Terkait dengan permintaan ayahnya? Itu bisa dipikirkan belakangan.

"Aku setuju," ucap Dhesias.

"Bagus. Kalau begitu bersiaplah untuk seremoni tujuh hari lagi."

(Senin, 4 Desember 2023)

============

Note:

Yeah... ternyata baru selesai 1 chapter. Tunggu chapter baru minggu depan yaa...

Akhirnya ada babak baru dalam kehidupan Seveila dan Dhesias...

Jangan lupa komen dan vote yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro