12. Kenapa Militer Ada di Bawah Komando Istana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhesias tengah berjalan di lorong Istana ketika berpapasan dengan Lalena. Walau hatinya enggan beramah-tamah, tetapi dia segera mengatur ekspresinya supaya terlihat lebih tenang dan kalem. Pria itu menyapa Lalena lebih dulu dan memberikan salam yang diterima sang Ratu dengan anggukan pelan.

"Baru saja bertemu Raja, Pangeran?" tanya Lalena. Ekspresinya menyiratkan ketenangan dan tidak terlihat bahwa dia tidak menyukai Dhesias.

"Ya. Yang Mulia memanggil saya tadi," jawab Dhesias sambil menyunggingkan senyum tipis. Hubungan mereka memang buruk dan sudah diketahui banyak orang, tetapi bukan berarti mereka melupakan norma sopan santun atau tata krama saat berhadapan. Dhesias lebih dari tahu, bahwa orang-orang Istana bisa saling membunuh pada malam hari, padahal siang harinya mereka masih bercakap-cakap akrab layaknya sahabat lama.

"Apa ini karena masalah Putri?" tanya Lalena lagi.

"Bukankah itu memang topik hangat yang banyak dibicarakan?" Dhesias balik bertanya sambil mempertahankan senyumnya tetap terulas. Dia mulai meraba ke mana arah pembicaraan sang Ratu.

"Aku masih tidak percaya Putri bisa melakukan hal gila di tengah banyak orang," Lalena menatap Dhesias tajam. "Seharusnya dia menurut dan pergi ke Entrafarmona dengan tenang. Di sana, dia bisa hidup tenang dan kelak menjadi Ratu Entrafarmona. Namun, Putri justru memilih jalan yang sulit untuk hidupnya sendiri."

"Benarkah?" Kali ini senyum Dhesias lenyap. Ratu memilih mengangkat topik yang paling tidak ingin dia dengar saat ini. Namun, pria itu masih bisa mengontrol emosinya dan memasang ekspresi seperti orang sedang berpikir. "Entrafarmona memang Negara yang bagus, terlepas letaknya yang ada di utara benua dan musim dinginnya yang lebih panjang. Di sana juga lebih banyak tambang batu mineral yang berharga. Agak disayangkan, Seveila tidak bisa pergi ke sana setelah peristiwa di pesta waktu itu."

Lalena tak segera menimpali. Ucapan Dhesias memang terkesan meninggikan Entrafarmona, tetapi bisa jadi ini jadi jalan untuk membalikkan situasi ke arahnya.

"Memang disayangkan," Lalena menyetujui. Wanita bergaun merah marun itu melanjutkan, "Tapi yang sudah terjadi biarlah terjadi. Sekarang lebih baik fokus pada penyembuhannya dan kehidupan barunya."

"Kehidupan baru?" Dhesias mengernyitkan dahi.

"Dengan tindakannya berusaha melakukan percobaan bunuh diri di depan banyak orang, apa kau masih menganggap adikmu pantas menyandang nama Ifrusilant, Pangeran?" Pertanyaan Lalena menusuk perasaan Dhesias. "Sebentar lagi dia harus melepas nama itu dan mungkin memakai nama keluarga Ibu kalian."

Air muka Dhesias berubah muram, membuat sang Ratu tersenyum tipis. Wanita itu tampak puas bisa membuat mantan Putra Mahkota Ifrusilant tidak senang atau mungkin merasa terpojok.

"Lebih baik hentikan semua usahamu selama ini dan perhatikan saja adik perempuanmu," Lalena melangkah melewati sisi Dhesias. "Percuma saja jika kau menginginkan kekuasaan kembali ke tanganmu."

Dhesias menyeringai masam mendengar ancaman ibu tirinya. Tanpa menoleh ke belakang, dia berkata, "Sebaiknya Yang Mulia Ratu juga memperhatikan Putra Mahkota baik-baik, karena sepertinya Dunna jauh lebih pintar dari pada anak laki-laki Yang Mulia."

Pernyataannya membuat Lalena berhenti. Dia berbalik dan menatap Dhesias yang juga berbalik ke arahnya.

"Putri Yang Mulia jauh lebih pandai dari pada Putra Mahkota," ujarnya.

"Beraninya kau bicara begitu!" hardik Lalena.

"Saya hanya bicara fakta," Dhesias menjawab dengan santai. "Bukankah Majelis Keagaman sudah dipegang oleh Dunna, Yang Mulia? Kenapa Anda tidak menjadikan anak itu sebagai Putri Mahkota, atau bahkan menjadikan dia sebagai Ratu Entrafarmona? Dia lebih cocok didudukkan di posisi pemimpin."

Lalena mengatupkan rahangnya mendengar pernyataan Dhesias yang terkesan mengejek. Dia tahu kemampuan Heris dan kapasitas Dunna, tetapi yang bisa duduk di kursi pemimpin secara resmi hanyalah laki-laki. Sudah pasti Heris yang mendudukinya! Dunna hanya pelengkap yang akan menopang kursi kakaknya dari belakang.

"Kemampuan bicaramu masih sama seperti saat di Majelis Tinggi," kata Lalena. "Simpan tenagamu untuk pertemuan berikutnya dan pastikan kau bisa menjawab pertanyaan para bangsawan."

Dhesias menundukkan kepala dalam-dalam, "Tentu saja, Yang Mulia Ratu. Saya sangat menantikan persidangan dimulai kembali."

Setelah berkata seperti itu, pria itu pamit dari hadapan Lalena. Walau ekspresinya menyiratkan kekesalan pada Ratu, tetapi batinnya tengah mencemooh ucapan Lalena tadi. Dia akan sangat menantikan persidangan Majelis Tinggi—dengan jabatan dan gelar baru yang akan membuat mulut mereka terkunci rapat.

***

Usai meninggalkan istana, Dhesias memilih pergi menemui Grand Duke Abraham. Keputusan ayahnya yang tiba-tiba ingin memberinya jabatan serta gelar pasti ada kaitannya dengan sang Kakek. Tidak mungkin ayahnya memiliki ide untuk memberinya wilayah, setelah sepuluh tahun membiarkannya menjadi pangeran tanpa kekuasaan. Pasti ada yang mendorong ayahnya untuk melakukan hal tersebut dan Dhesias mencurigai sang Kakek.

"Ayah memutuskan memberi gelar dan wilayah pada saya," Dhesias memulai ceritanya saat bertemu dengan Abraham di mansion keluarga Vaselonta.

Rumah keluar Grand Duke Abraham berada di pinggiran ibu kota bagian timur, berbeda dari rumah Dhesias yang terletak di bagian utara Avera. Besarnya tiga kali rumah Dhesias dan bangunannya memiliki detail cantik berupa sulur tanaman serta ulir yang dibentuk halus. Yang paling mengesankan adalah sepasang kuda berwarna hitam dan putih yang menjadi lambang keluarga Vaselonta terukir di tiap pintu rumah tersebut.

Biasanya Grand Duke beserta istri dan anak bungsunya menghabiskan waktu di kediaman mereka yang ada di wilayah timur. Anak pertama dan kedua, yaitu Estevan dan Damien telah diberi wilayah sendiri yang masih berada di lingkup wilayah kekuasaan Grand Duke, sehingga mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Mansion di ibu kota jarang sekali ditempati kecuali untuk acara-acara khsusus, seperti ulang tahun kerajaan, atau pesta-pesta besar yang mengharuskan Grand Duke beserta keluarga harus datang ke Avera.

Mansion itu sering sekali kosong, tetapi berkat perawatan dan ketekunan dari para pekerja di rumah tersebut, Mansion tersebut masih terawat dengan baik, begitu pula taman-taman yang dibangun di sekitarnya.

"Bukankah itu kabar baik?" Grand Duke Abraham menimpali cerita Dhesias setelah menyesap teh lemon hangat yang dihidangkan pelayan.

Mereka berdua berada di ruang keluarga yang berdekatan dengan taman mawar putih. Dari pintu jendela di ruangan tersebut, Abraham dapat melihat kesibukan istrinya yang tengah memetik mawar-mawar yang sedang mekar di kebun. Pagi hari yang cerah, suasana yang damai, dan kehidupan yang tenang. Abraham menyukai ritme kehidupannya yang seperti ini. Dia tidak suka masalah, tetapi bukan berarti melarikan diri bila harus menghadapi masalah.

Sekarang, di seberang tempat duduknya, cucu atau cucu dari kakak kandungnya meminta waktu bertemu secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Hal itu sudah memberinya pemahaman, bahwa Sadhe menyetujui desakannya waktu itu.

"Dulu, saya berpikir Ayah akan memberi gelar dan wilayah ketika saya memasuki usia dewasa, tetapi tidak," Dhesias tersenyum miris, "Selama lima tahun, saya mulai memupus harapan untuk mendapatkan wilayah dan gelar, sehingga mencoba membangun kekuatan sendiri. Namun, tidak ada angin, tidak ada hujan, pagi ini Ayah memanggil saya dan menyatakan keinginannya untuk memberikan gelar dan wilayah pada saya. Sungguh kejutan yang tidak disangka. Apa Kakek yang mempengaruhi keputusan Ayah?"

"Ayahmu pasti memutuskan hal tersebut melalui pertimbangan panjang," komentar Abraham. "Tidak mungkin dia memutuskan hal besar dalam waktu yang sangat singkat."

Dhesias tersenyum getir. "Tapi Beliau memutuskan hal itu setelah bertemu Kakek."

"Aku hanya memberinya saran," kata Abraham. "Memberimu gelar dan wilayah sama saja menyeimbangkan kekuatan politik di kerajaan ini. Tidak baik membiarkan salah satu pihak berkuasa terlalu kuat. Perlu ada oposisi sehingga politik bisa berjalan lebih sehat dan seimbang."

"Saya tersanjung, karena itu berarti kekuatan saya dianggap bisa memberi kestabilan pada kerajaan ini," Dhesias mengambil cangkir dan menyesap tehnya pelan-pelan.

"Sebagai pemilik sebuah jaringan informasi, kau terlalu merendah bila menganggap kemampuan jaringanmu tidak dapat menstabilkan kerajaan ini," komentar Abraham.

Sejenak, Dhesias terpaku. Namun, pria itu dengan cepat menguasai diri dan mengulas senyum lebar.

"Kakek tahu banyak," komentar Dhesias.

"Tidak sebanyak yang kau tahu," timpal Abraham ringan.

"Apa itu artinya saya tidak perlu menjelaskan apa pun?"

"Aku tahu, bukan berarti tahu semuanya, Nak," ujar Abraham sembari meletakkan cangkirnya. "Kondisi saudarimu saja tidak Kakek ketahui." Ada nada sedih dalam suaranya. "Yang Kakek harapkan, setelah kau memiliki wilayah, kau bisa melindungi adikmu lebih baik."

"Tanpa Kakek ingatkan, saya akan melakukannya," Dhesias tersenyum pahit mengingat kondisi Seveila. "Saya selalu ingin memberinya kehidupan baru, tetapi saya tidak pernah merasa cukup kuat untuk dapat melindunginya. Saya selalu merasa cemas dan ketakutan, apa saya bisa menjaganya? Apa saya bisa membuatnya bahagia?"

Tatapan Dhesias beralih ke arah kebun yang terlihat dari dinding kaca.

"Saya bukan Kakak yang baik, karena membiarkannya menderita selama bertahun-tahun. Bahkan, saya hampir kehilangannya," gumamnya.

Abraham menghela napas, "Aku pernah merasakan hal yang kau rasakan, tapi dalam situasi yang berbeda," ucapnya. "Kakekmu sebenarnya sudah sangat lama ingin memberikan wilayah dan kekuasaan pada Kakek di wilayah Timur, tetapi Kakek selalu menolak dan memilih untuk terjun langsung di medan perang."

"Kakek tidak pernah menginginkan kekuasaan dan menghindari pertikaian di Istana. Saat itu, situasi politik sangat tidak nyaman, terutama karena beberapa suadara tiri kami menutut hak lebih atas tanah kerajaan. Perpecahan tersebut kemudian menimbulkan makar, hingga terjadilah pemberontakan yang mengakibatkan Kakek harus membunuh saudara-saudara Kakek sendiri."

"Saat itu, Kakek terus mempertanyakan dalam hati, apa yang sebenarnya dicari oleh orang-orang? Kenapa mereka melakukan tindakan sembrono dengan memutuskan untuk membangkang? Kenapa Kakek harus membunuh saudara sedarah sendiri? Waktu itu, Kakek merasa marah pada Kakekmu, tapi kemarahan itu hanya bisa dipendam. Setelah kejadian itu, Kakekmu menjadi lebih kaku, kejam, dan tidak segan memberi hukuman berat pada kesalahan sepele. Itu yang membuat Kakek enggan ikut campur dalam urusan Negara."

"Kakek memutuskan untuk berkelana dan melepas jabatan militer, tapi Kakekmu menolaknya. Dia justru tetap menempatkan Kakek pada jabatan tersebut dan membuat Kakek berpindah-pindah tempat kerja untuk melihat situasi dan kondisi rakyat secara langsung. Waktu itu, Kakek sadar, bahwa apa yang diberikan pada Kakek merupakan kekuatan untuk melindungi dan menjaga orang-orang yang tidak memiliki apa pun, sehingga saat Kakekmu kembali menawari Kakek wilayah dan kekuasaan, Kakek pun mengiakannya."

Dhesias mencoba meresapi cerita Kakeknya tadi.

"Kau sudah memiliki kekuatanmu sendiri, Dhesias," Abraham menatap Dhesias. "Kakek hanya membantumu mendapat tambahan kekuatan. Apa yang kau lakukan dan upayakan juga bentuk dari keinginanmu untuk menjaga dan melindungi adikmu, kan? Beri dia waktu untuk memahami dan beri dia ruang untuk mempelajari. Sama seperti Kakekmu ketika memberikan Kakek waktu untuk merenungi, apa yang sebenarnya Kakek inginkan."

"Luka di hati tidak akan pernah bisa hilang, tetapi bukan berarti tidak bisa tertutup. Walau saat ini berat, tapi Kakek harap, ke depannya jalan kalian lebih ringan," ujar Abraham.

"Terima kasih karena selalu memperhatikan kami," kata Dhesias sendu.

"Kakek tidak ingin melihat pertumpahan darah sia-sia," kata Abraham pelan. "Semoga tidak ada lagi darah dan nyawa yang pergi hanya karena omong kosong belaka."

Pernyataan Abraham merujuk pada peristiwa pembantaian keluarga Milana serta hukuman gantung yang diterima Permaisuri terdahulu. Bagi Abraham, hukuman tersebut terlalu berlebihan, saat bukti yang diajukan pun lemah. Walau begitu, tuntutan dan situasi yang kisruh membuat keponakannya harus memberikan keputusan cepat, hingga mengorbankan nyawa wanita yang dicintainya.

"Apa kau pernah mendengar... cerita tentang Leroid yang menginginkan tanah emas dan perak?" tanya Abraham.

Dhesias mengerutkan dahi, "Saya tidak pernah mendengarnya." Dia berpikir sejenak, "Apa ini ada kaitannya dengan sejarah pendirian Negara?"

Abraham mengangguk pelan. "Kau pasti tahu legenda Kekaisaran Moretta."

"Ya. Itu cerita yang selalu diulang-ulang oleh Guru sejarah dulu," komentar Dhesias.

Kekaisaran Moretta adalah Kekaisaran yang berdiri seribu tahun lalu dengan wilayah yang luasnya nyaris dua per tiga benua ini. Dari cerita Guru sejarahnya, Kaisar Moretta terakhir memiliki tiga orang anak. Karena sangat menyayangi anak-anaknya dan tidak ingin terjadi perang saudara pada ketiga anaknya, maka sang Kaisar pun membagi wilayahnya menjadi tiga. Seluruh Timur menjadi bagian milik si Sulung, di Utara dan Barat menjadi tempat si Tengah, dan Daerah Selatan menjadi wilayah si Bungsu.

Setelah sang Kaisar mangkat, anak-anaknya pun pergi ke wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Namun, sebagian di antara mereka ternyata memendang rasa iri dan kebencian terhadap saudara yang lain, sehingga perang perebutan wilayah pun dimulai. Batas wilayah yang ditetapkan oleh sang Kaisar terakhir pun berubah-ubah dan menjadi seperti sekarang. Nama-nama kerajaan yang menjadi pecahan wilayah Kekaisaran Moretta tak lain Querta, Ifrusilant, dan Darkailant.

Ketiga kerajaan ini tidak pernah akur dan saling berperang untuk merebut wilayah masing-masing. Walau beberapa kali terjadi kesepakatan damai, tapi biasanya tidak bertahan lama. Dalam kurun waktu dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian, perang kembali terjadi.

Dhesias mendengar cerita itu begitu sering, hingga hafal di luar kepala.

Yang paling menarik dalam cerita legenda itu adalah anak Bungsu Kaisar Moretta yang pergi ke selatan didampingi oleh kesatria dan keluarga-keluarga prajurit terbaik kekaisaran. Kabarnya, anak bungsu tersebut sangat disayangi oleh sang Kaisar dan dulu, daerah selatan merupakan daerah yang sepi dan belum seramai sekarang, sehingga dia menempatkan banyak kesatria dan pengawal untuk anak tersebut.

"Saya masih belum mengerti maksud Kakek," kata Dhesias. "Apa maksud dari Leroid yang menginginkan tanah emas dan perak?"

"Saat Raja pertama datang ke wilayah ini, tidak ada yang tahu timbunan mineral di selatan," kata Abraham. "Ketika mereka mulai mengembangkan wilayah, barulah mereka menyadari kelimpahan daerah selatan. Itu juga yang membuat dua anak kaisar sebelumnya dengki pada adik mereka."

"Menurutmu, apakah ajudan maupun pengikut Raja pertama tidak tergiur dengan kelimpahan ini?" Pertanyaan Abraham membuat Dhesias termenung. "Bukan sekali atau dua kali, Leroid mencoba menguasai kerajaan dengan cara-cara halus. Ada banyak bukti dan catatan bagaimana mereka berupaya menggeser kedudukan Raja, bahkan melalui anak-anak perempuan yang mereka kirimkan kepada keluarga Kerajaan."

"Coba buka lagi buku sejarahmu dan carilah era di masa Raja yang memiliki istri atau selir dari keluarga Leroid, maka kau akan tahu, bahwa era itu pasti akan menjadi era berdarah," Abraham melanjutkan, "Kakek tidak ingin kerajaan ini menjadi lautan darah. Menurutmu, kenapa Raja Oruthan mengeluarkan mandat supaya semua pasukan militer pribadi milik para bangsawan melebur dalam komando Istana?"

(Senin, 22 Januari 2024)

=======================

Note:

Well... saya jadi deg degan setelah menyelesaikan part ini. Walau dimulai dari Seveila, saya belum tahu, ini akhirnya mau ke mana.

Stay tune!

Jangan lupa vote dan komen cerita ini yaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro