13. Apa Kau Mau Memaafkanku?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita Abraham membuat Dhesias gundah. Selama ini dia terpaku pada kemarahan dan keinginannya untuk balas dendam, sehingga tidak melihat gambaran yang lebih besar dari tindakan sang Ratu maupun keluarganya. Jika Heris berhasil duduk sebagai Raja dan tidak ada yang menjadi pesaingnya, sudah jelas bagaimana nasib kerajaan ini. Ratu tidak membutuhkan anak yang pintar untuk duduk di atas takhta. Dia hanya butuh anak yang penurut dan polos supaya lebih mudah diatur untuk kepentingannya maupun keluarganya.

Abraham menyadarkan Dhesias, seberapa penting peran yang dia ambil saat ini. Bukan hanya sebagai anak yang marah kepada orang tuanya, melainkan orang yang bertugas menjaga kestabilan Negara. Ini mengingatkan Dhesias pada saat dilantik sebagai Putra Mahkota, dia merasa membawa beban yang amat berat di kedua pundaknya.

Kereta kuda tiba di rumah sakit ketika matahari sudah bergerak condong ke barat. Waktu yang dihabiskannya di kediaman Grand Duke lebih lama dari pada yang dia kira. Pria itu turun dari kereta, tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang menatapnya seakan sedang mengawasi. Tangan kanannya memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya membawa keranjang piknik berisi kue-kue yang dibuat oleh Chef di Mansion Grand Duke. Grand Duchess yang menitipkan makanan tersebut untuk Seveila, katanya kue-kue tersebut kesukaan Seveila saat kecil.

Dhesias menelusuri lorong rumah sakit, yang kiri dan kanannya terhampir taman dengan semak-semak pendek dan tanpa pohon peneduh, sehingga dia bisa melihat sekelilingnya dengan lebih jelas. Seorang Dokter yang memakai kemeja putih dan dua perawat yang mengenakan gaun putih selutut tampak terburu-buru menuju sebuah ruangan dan memberi Dhesias salam sekenanya, yang dia maklumi. Pasti ada pasien darurat yang baru saja masuk, mengingat tadi di selasar depan rumah sakit situasinya lebih ramai.

Semakin ke dalam memasuki area rumah sakit, semakin sepi pula keadaannya. Tidak banyak orang yang berlalu-lalang, terutama ketika Dhesias melewati pagar pemisah antara area umum rumah sakit dengan area khsus. Suasanya juga cenderung lebih mirip seperti rumah biasa yang berada di lingkungan terpencil. Suasana sepi, tetapi entah kenapa terasa lebih tenang dan nyaman, apalagi sepanjang mata memandang yang dilihat adalah hamparan taman dengan berbagai jenis bunga maupun padang rumput yang hijau. Dibanding paviliun rumah sakit, tempat ini lebih cocok disebut tempat peristirahatan.

"Bagaimana kalau kita menata bunga-bunga ini di vas?"

Dhesias mendengar suara tersebut dari arah belakang paviliun rumah sakit yang mengarah ke tebing. Pria itu tidak jadi masuk lewat pintu depan dan memutari halaman menuju ke halaman belakang. Di sana, dia melihat Seveila sedang memetik bunga bersama Countess Emilia.

Seveila tampak jauh lebih baik. Pipinya tidak secekung waktu pertama kali datang kemari. Tubuhnya mulai terlihat berisi, wajahnya tidak lagi pucat dan muram, serta tatapannya lebih hidup. Dhesias merasa sangat bersyukur dapat membawa Countess Emilia kemari. Terima kasih pada Cavadros yang berhasil membawa Countess dengan selamat.

"Oh, Pangeran," Countess Emilia menyadari kehadirannya.

Dhesias tersenyum sambil berjalan mendekati mereka. Sedikit disayangkan saat ekspresi Seveila berubah menjadi muram saat melihat kedatangannya.

Setelah memberi salam, pandangan Countess tertuju pada keranjang piknik yang dibawa Dhesias. "Tumben sekali Anda membawa makanan," komentarnya.

"Ini titipan dari Nenek," jelas Dhesias. "Isinya kue-kue kesukaan Sevi. Apa kau mau memakannya?" Dia menatap sang adik.

Seveila menggeleng pelan, "Nanti saja."

"Biar saya taruh di dalam." Wanita tua berumur sekitar kepala lima itu meraih keranjang piknik yang disodorkan Dhesias dan membawanya masuk ke paviliun.

Seveila membereskan peralatan berkebunnya, tetapi Dhesias mengajaknya duduk di gazebo taman.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Dhesias setelah mereka duduk.

"Baik seperti yang Kakak lihat," jawab Seveila.

"Kemarin aku mendengar dari dokter, kau masih harus menjalani pemulihan untuk meminimalisir efek dari racun yang kau minum," kata Dhesias. "Walau kau merasa sudah lebih baik, tetapi pengobatan masih harus berjalan, setidaknya selama setengah tahun."

"Aku mengerti," jawab Seveila.

Jawaban yang singkat dan tegas, ekspresi yang dingin, dan tatapan yang tidak tertuju padanya. Seveila seakan sedang menghindarinya. Dhesias mencoba bersabar dan mengingatkan diri sendiri bahwa, Seveila yang sekarang adalah hasil perbuatannya pula.

"Aku... minta maaf padamu." Kata-kata Dhesias membuat perhatian Seveila kini mengarah padanya.

Mata biru pucat gadis itu memandang lurus ke arah mata biru sang Kakak. Ekspresinya masih terkesan datar, tetapi sorot matanya menunjukkan rasa heran.

"Aku minta maaf, karena sudah mengabaikanmu," jelas Dhesias. "Kupikir, aku bisa membangun tempat yang aman untukmu, tetapi ternyata apa yang kulakukan justru membuatmu terkucil dan diabaikan."

"Mungkin... seharusnya dari awal aku membawamu keluar dari Istana," Kali ini Dhesias yang tidak sanggup menatap mata adiknya, sehingga mengalihkan pandangannya ke meja pualam yang ada di depan mereka. "Namun, aku terus menunda rencana itu dan menyibukkan diri untuk membangun kekuatan."

Seveila tak langsung menjawab ucapannya.

"Aku akan dianggap egois bila merengek pada Kakak tentang situasiku," kata gadis itu. "Aku bisa memahami posisi dan keinginan Kakak. Namun, aku pun memiliki masalahku sendiri."

Dhesias mengangkat pandangannya dan menatap sang adik.

"Aku sudah tidak ingin menyalahkan siapa-siapa," ucapnya. "Ayah, Kakak, Ibu, semuanya. Aku sama sekali tidak ingin menyalahkan siapa pun. Ini adalah masalah yang harus kutanggung sendirian." Dia menatap ke arah hamparan bunga di luar gazebo. "Karena itu, Kakak tidak perlu minta maaf padaku."

Harusnya Dhesias senang mendengar pernyataan itu, tetapi sebaliknya yang dia rasakan justru ketakutan. Apa yang dikatakan adiknya seolah-olah bahwa dia sudah putus asa dan menyerah dengan situasinya. Seveila terkesan tidak mau siapa pun masuk dalam hidupnya, karena itu hanya akan membuatnya merasa sakit.

"Maukah kau memberiku kesempatan lagi?" Dhesias beranjak dari kursi, lalu berlutut di depan adiknya. Dia meraih kedua tangan Seveila dan menggenggamnya erat-erat. "Apa kau mau memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku yang lalu?"

"Kak—," Seveila ingin menarik tangannya, tapi ditahan Dhesias.

"Aku bukan Kakak yang baik, aku menyadari itu. Selama bertahun-tahun aku mengabaikanmu dan berfokus pada ambisiku sendiri. Aku bersalah, karena tidak berusaha untuk memahami isi hatimu. Aku juga bodoh, karena tidak mencoba untuk mengetahui perasaanmu. Aku terjebak dalam asumsiku sendiri dan membuatmu terjebak dalam politik Ratu," kata Dhesias. "Kali ini, aku tidak akan melakukan kesalahan itu lagi, Sevi." Dia menatap adiknya lurus-lurus.

"Kali ini, aku akan membantumu keluar dari sangkar terkutuk itu. Kau bisa bebas pergi ke mana pun. Apa yang ingin kau lihat, sentuh, atau pun dengar bisa kau dapatkan. Aku akan mengusahakan semua itu! Keamanan, perdamaian, ketenangan, akan kuberikan itu," ujarnya.

Tatapan Seveila kosong sesaat, lalu dia berkata, "Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kau tepati, Kak."

"Sevi—," Dhesias hendak menjelaskan, tetapi dipotong.

"Aku memaafkanmu," ucap gadis itu kalem. "Namun, jangan pernah menjanjikan apa pun padaku."


(Senin, 29 Januari 2024)

===================

Note :

Seseorang mungkin baru menyadari betapa berharganya orang lain, ketika dia kehilangan orang itu.

Namun, haruskah kehilangan lebih dulu dari pada menyadari perasaan tersebut saat orang itu masih bersama?

Barang pecah, tentu akan sulit ditambal ulang, meski memakai lem super. Begitu juga hati. Ketika Hati sudah retak, sulit untuk menghilangkan retakan tersebut.

Jangan lupa vote dan komen cerita ini yaa~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro