4. Luka Dan Jahitan Yang Berbekas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sang Dewi - Lyodra

=========================

Seveila sedang membaca buku dan menunggu Lorena membawakan makan malamnya saat selir Itania masuk ke kamar. Wanita berambut hitam dan mengenakan gaun cokelat muda dengan bordiran membentuk dedaunan pohon maple berwarna merah itu menyapanya.

"Nyonya Selir," Seveila bangkit dari tempat duduk dan memberikan salam yang sepantasnya pada wanita berumur tiga puluh tahun itu.

Ayah Seveila dan Dhesias memiliki empat orang istri. Istri pertamanya adalah Milana, yang sudah meninggal. Kemudian istri keduanya adalah Lalena, yang sekarang menggantikan posisi Milana. Sementara istri ketiganya adalah Hilna−−cucu Raja Sakarina terdahulu dan istri keempatnya adalah Itania yang merupakan putri mantan Jenderal besar Ifrusilant.

"Kau terlihat sehat, Putri," ucapnya sembari duduk di salah satu kursi yang ada di seberang meja makan Seveila. Dia duduk dengan hati-hati, satu tangan memegang lengan kursi sedangkan tangan lainnya melingkari perutnya yang besar seakan-akan menjaga bayi dalam tubuhnya agar tidak terguncang sewaktu dia duduk. Dia memang sedang hamil dengan usia kandungan tujuh bulan. Itu merupakan anak pertamanya setelah lima tahun menikah.

Gadis itu hanya mengulas senyum lemah, sembari duduk di tempatnya lagi dan menutup buku.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Itania.

"Baik," jawab Seveila singkat.

"Syukurlah," ucap Itania dengan nada lega, seakan benar-benar mengkhawatirkan kondisi Seveila. Kemudian pandangannya beralih pada isi kamar sang putri yang sederhana. Perabotan di ruangan ini sangat sedikit. Hanya ada tempat tidur, nakas, lemari untuk menyimpan gaun, perangkat meja belajar, serta meja makan kecil, juga dua buah lemari buku. Warna ruangan ini juga suram dengan kertas dinding berwarna cokelat kusam serta tirai putih polos dan gorden berwarna merah tua.

"Apa kau tidak merasa sesak tinggal di tempat seperti ini, Putri?" Itania kembali menatap Seveila. Iris matanya sehitam langit malam, membuat tatapannya terkesan tajam dan menusuk.

Seveila memilih diam dan balas menatap wanita itu seperti memandang orang asing yang baru dikenal. Jika dibilang tidak sesak, itu bohong. Paviliun kecil yang ada di belakang Istana Keputrian sama sekali bukan tempat tinggal ideal. Pada hari yang cerah sekalipun, bangunan ini selalu tertimpa bayangan Istana.

Dulu paviliun ini adalah gudang barang tidak terpakai, tapi ketika dia keluar dari Istana Ratu setelah Ibunya dihukum, paviliun ini adalah satu-satunya tempat dia berlindung. Walau udara di bangunan ini selalu lembap dan dingin, serta pencahayaannya kurang baik, hanya tempat ini yang jauh dari ingar-bingar dunia luar. Setidaknya Seveila tidak perlu bertemu orang banyak atau pun mendengarkan suara bising yang menjengkelkan, meski kesunyian tempat ini memuakkan.

Ketika suasana terlalu sepi dan suara ranting-ranting pohon yang ada di taman angsa putih, yaitu taman yang memisahkan antara paviliun Seveila dengan Istana Keputrian, bergesekan, Seveila hanya bisa memejamkan mata dan menutup kedua telinganya rapat-rapat. Malam-malam sunyi seperti itu sangat menakutkan, mengingatkannya saat menunggu kedatangan ibunya−yang tidak pernah datang.

"Apa kau tidak ingin keluar dari sini, Putri?" Pertanyaan Itania ditanggapi Seveila dengan senyuman.

"Apa saya bisa keluar dari sini?" jawab Seveila tenang.

Itania tersenyum, "Tentu saja bisa. Bukankah seorang perempuan dapat keluar dari rumah orang tuanya bila menikah?"

Jawaban yang sudah bisa ditebak.

"Apakah pernikahan hanya menjadi jalan satu-satunya?" Seveila balik bertanya.

Bukannya menjawab, Itania justru tertawa kecil dan balik melemparkan pertanyaan, "Apa ada cara selain pernikahan?"

Seveila diam, tidak menjawab pertanyaan jebakan itu.

"Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu," kata Itania. "Dengan menikahi Pangeran Entrafarmona, setidaknya kau bisa bebas di kerajaan lain, tidak hanya terkurung di paviliun yang ada di belakang Istana keputrian."

"Ayah pasti sudah kehilangan kekuatannya, sampai tidak bisa mencarikan jalan bagi anaknya," komentar Seveila tajam. "Atau, sepertinya pendukung Ratu berhasil menekan Ayah sampai beliau tidak bisa berkutik."

"Putri," Itania menegurnya.

"Nyonya..., sepertinya kekuatan Ratu berkembang lebih kuat sampai dapat menggerakkan Nyonya Selir yang merupakan putri dari Jenderal Angkatan Darat yang paling tersohor di Negara ini," sindir Seveila.

"Kau tidak terlihat seperti anak kecil yang dikurung selama sepuluh tahun." Senyum Itania menipis.

"Nyonya, saya hanya dikurung, tapi saya tidak buta dan tuli," kata Seveila.

Walaupun dia jarang keluar dari paviliun, bukan berarti dia bodoh dan dapat dipermainkan. Ratu memang membatasi orang-orang yang dapat bertemu dengannya. Raja pun memilih menjaga jarak darinya, karena tahu kondisinya. Namun, ada banyak jalan untuk belajar. Dhesias serta Itania merupakan pintu informasi yang membuatnya tahu keadaan di luar, meski Seveila kadang membenci kakak laki-lakinya.

"Sepertinya aku tak perlu mengkhawatirkan kondisimu, jika kau dikirim ke Entrafarmona. Walau kau diasingkan di sana, tampaknya kau juga dapat mengetahui kondisi di sini," timpal Itania tajam.

"Nyonya Selir jangan khawatir. Lebih baik, Anda mengkhawatirkan kandungan Nyonya. Bukankah gawat bila yang terlahir adalah seorang laki-laki?" Seveila melirik perut Itania yang buncit. "Walaupun Heris dalam posisi aman, bukan berarti Ratu merasa tenang."

Itania mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Tadinya dia ingin membujuk Seveila untuk menerima pernikahannya dengan lapang dada, tapi yang didapatnya justru penghinaan serta ejekan yang menusuk. Seorang putri yang terbuang, anak dari Ratu pengkhianat, masih dapat bersikap sombong seperti ini? Terus terang, dia merasa marah pada gadis di depannya ini.

Sikap tenangnya yang dingin mengingatkan Itania pada perilaku Raja bila telah memutuskan sesuatu. Wanita itu kemudian menatap kedua tangan Seveila yang ada di atas meja. Dia tahu masa lalu gadis ini. Dia mendengar kegilaan yang pernah dilakukan Seveila.

"Dengan cara apa kau menghindari pernikahan?" Itania mencibir, "Bunuh diri? Apakah itu bukan tindakan untuk mencari perhatian saja?"

Sinar mata Seveila meredup mendengar pertanyaannya.

Itania tersenyum miring. "Kau tidak akan bisa menolak pernikahan ini, Nak. Di sini, tidak ada bangsawan yang mau menikahimu."

"Saya akan mencari cara untuk menolaknya," jawab Seveila dingin.

***

Kehidupan Seveila hancur ketika ibunya dituduh berselingkuh dengan seorang pengawal dan keluarga ibunya dituding membocorkan dokumen rahasia kepada pihak Querta. Saat itu hubungan antara Ifrusilant dan Querta memanas akibat masalah perbatasan utara dan ayahnya harus pergi ke sana untuk mengambil alih komando pasukan karena kematian Jenderal Tiberias dan Michelian dalam waktu bersamaan. Negara dalam keadaan darurat dan rumor perselingkuhan Ratu berhembus sekencang angin laut.

Ratu Cabul.

Ratu Yang Tidak Setia.

Ratu Asusila.

Seveila mengingat semua hinaan dan cemohan yang didapat ibunya, bahkan dia sempat dicurigai sebagai anak hasil perselingkuhan. Jika Raja tidak menegaskan bahwa dia adalah anak kandungnya, mungkin hidup Seveila akan lebih merana dari sekarang.

Istana tak lebih dari penjara bagi Seveila. Tempat yang dulu dia sebut rumah, kini tak ubahnya seperti sangkar burung. Dia benci tinggal di sini, tapi tak punya kekuatan untuk keluar. Sayap-sayapnya dipatahkan, kedua kakinya dirantai, sehingga yang bisa dilakukan Seveila hanya diam seperti orang mati. Kebahagiaan, kenyamanan, dan kemewahan yang sempat dirasakan gadis itu berubah menjadi bara api yang menyiksa.

Pertengkaran Ayah dan Ibunya masih terpatri dalam ingatan Seveila. Namun, yang lebih buruk adalah saat kematian ibunya. Ibunya dibawa ke bawah tiang gantungan. Masyarakat yang menonton di sekitar panggung penghakiman bersorak, memaki, dan menghina mantan Ratu yang telah berbuat asusila. Di panggung lain, ayahnya duduk dengan ekspresi dingin bersama selir pertama, yaitu Selir Lalena. Saat dosa-dosa sang ibu dibacakan, seluruh orang diam dan pada saat itulah Seveila berteriak, menangis dan memohon agar ibunya diampuni.

Ayahnya marah saat tahu kehadirannya, lalu menyuruh pengawal untuk menyeretnya pergi. Namun, dia berhasil lolos dan naik ke panggung hukuman ibunya. Tangisan pecah di wajah ibunya. Beliau berteriak, memanggil-manggil nama Seveila dan Dhesias, serta memohon maaf . Seveila tak kuasa menahan kesedihannya, dia menangis meraung-raung sampai salah satu prajurit berhasil menariknya dan membawanya pada ayahnya. Di sana, dalam pelukan ayahnya yang kokoh, Seveila tidak diijinkan untuk melihat proses eksekusi ibunya.

Kemudian, semua berakhir dengan sorakan kegembiraan.

Seveila tidak ingat apa-apa lagi setelah itu karena jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Setelah itu, nyaris setiap malam, Seveila bermimpi melihat sosok ibunya mengayun-ayun di tiang gantungan. Setiap kali dia berusaha mengejar bayangan tersebut, sosok sang ibu selalu menjauh. Mimpi buruk itu terus dilihatnya selama bertahun-tahun, bersamaan dengan darah yang mengalir di atas mayat-mayat paman, bibi, serta saudara sepupunya.

Seveila selalu merasa ketakutan. Dia sering bersembunyi di dalam lemari, di bawah kolong tempat tidur dan meja, demi mendapatkan rasa aman. Ibu asuhnya berusaha menenangkannya, tetapi tidak berhasil. Dia akan histeris bila mendengar suara tawa banyak orang. Entah berapa banyak dokter yang didatangkan untuk menyembuhkan ketakutannya, tetapi perkembangannya lambat.

Selama bertahun-tahun, kabut gelap itu menghantui Seveila, sampai dia dapat menemukan jalan tengah untuk mengatasi rasa sakitnya, yaitu dengan menggaris bagian dalam kedua lengannya, atau bagian tertentu di tubuhnya dengan pisau kecil pemberian Raja yang disimpannya diam-diam. Karena itu, Seveila tidak pernah mengijinkan siapa pun untuk membantunya berganti pakaian. Selain itu, selalu ada perban, kapas, alkohol, maupun obat-obatan dalam kamarnya untuk membalut luka-lukanya, saat dia merasa tidak mampu mengontrol emosinya.

Dengan apa yang telah dilaluinya, orang-orang ingin memaksanya menikah dengan seseorang?

Seveila tersenyum getir saat menatap pemandangan di luar jendela kamarnya. Langit masih terlihat gelap dan suara-suara di sekitar istana mulai tenang. Gadis itu beranjak menuju pintu kamar. Ketika membuka pintu, salah satu tangan langsung menghalangi langkahnya.

"Anda tidak boleh keluar, Putri," tegur kesatria wanita berkulit sawo matang dan mengenakan seragam hitam, tanda bahwa dia termasuk pasukan elite yang bertugas mengawal keluarga kerajaan.

"Aku ingin bertemu dengan Raja," jawab Seveila.

Pengawal wanita itu menatapnya tanpa berkedip, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Sampaikan pada pelayan, supaya besok pagi, aku dapat menghadap Raja."

(Jum'at, 17 Februari 2022)

===========================

Note:

Ketika membuat part ini, terus terang, saya merasa kurang nyaman.

Pengalaman yang didapat Seveila itu sangat menyakitkan dan berbekas, bahkan dia masih bisa bertahan hidup adalah sebuah berkat.

Saya nggak bisa membayangkan, pengalaman seberat itu harus ditanggung anak kecil yang baru berumur 10 tahun.

Dan trauma ini dia tanggung seumur hidupnya.

Selama bikin cerita ini, lagu yang terus terngiang dalam telinga saya ya lagunya MIA - Dinasty, Lyodra - Sang Dewi.

Bikin cerita ini tuh, sampe ngingetin serial The Glory di Netflix. Nggak kuaaat... 

Yah..., nantikan untuk part selanjutnya. Jangan lupa, komen, vote, dan share cerita ini ya... 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro