Tasty

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana makan malam di rumah Jungkook seketika hening.




Lalu, Jungkook tertawa untuk mencairkan suasana, tawanya bukan main, seolah ucapan sang ibunya itu adalah hal yang tidak mungkin.

"Aniya, eomma.. Haha.. Itu-tidak mungkin." Jungkook mengusap tengkuknya yang tidak gatal. (Tidak)

Sementara itu, Yoora terdiam, perkataan ibu Jungkook itu membuatnya berpikir keras, apa Jungkook benar teman kecilnya? Untuk saat ini lupakan Yaera yang mengaku sebagai teman kecil Jungkook, lupakan sejenak. Sekarang, hanya ada Jungkook dan Yoora.




Ibu Jungkook mengetahui nama panggilan Yoora dari teman kecilnya.

Apa ini sebuah misteri? Teka-teki?

"Chogi, eomoni.. Kau tau nama panggilanku?" Perkataan Yoora berhasil membuat tawaan Jungkook memudar.

"Tokki?" Ibu Jungkook kembali memastikan apa yang disebutnya.(kelinci)

"Nee.." Yoora mengangguk, ia berharap bahwa Yaera hanya berpura-pura menjadi teman kecil Jungkook. (Iya)










"Ah, jadi benar kau orangnya."





---------------




Setelah acara makan malam tadi, kini Jungkook mengantar Yoora pulang. Suasana di mobil saat ini hening, keduanya seperti sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang sama.

Sambil menatap pemandangan luar jendela, Yoora menghela nafas.


"Jangan dengarkan kata eommaku." Ujar Jungkook yang masih terfokus pada jalanan.

Yoora menengok, menatap pria yang sibuk menyetir itu datar.

"Geunde.. Jungkook-ahh.. Bukankah--" (tapi)

"Jangan konyol, nama panggilan seperti tokki itu tidak sedikit." Jungkook tertawa remeh,

Mendengar itu, Yoora bergeming, ada sesuatu yang menusuk hatinya, rasanya hatinya tergores begitu dalam.

Satu hal, yang ia mengerti dari maksud perkataan Jungkook tadi.


Jungkook tidak ingin teman kecilnya itu Yoora.


Pikiran Yoora langsung tertuju pada Yaera. Siapa lagi? Gadis yang diam-diam terkesan mempengaruhi Jungkook hanyalah dia.


"Sebanyak itukah , kau menyukai gadis itu?" Yoora membuang muka dari lelaki bermarga Jeon itu.

Jungkook mengeryitkan dahi, tidak mengerti dengan ucapan Yoora barusan.


"Maksudmu?"

"Bae Yaera. Sebegitunya kau menyukai dia?hm?"

"Aku-"

"Kau menyukainya, sampai tidak mau menerima fakta bahwa aku ini teman kecilmu. Iya?" Nada bicaranya terdengar lebih dingin dari sebelum - sebelumnya.

"Dengar ya, Bae Yoora-ssi. Kita ini memang bukan teman kecil,geumanhae. Aku sedang tidak mood untuk berdebat sekarang." Jungkook menghela mafas, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, cengkraman jemarinya pada setir mobil semakin kuat. (Sudahlah)


"Geure.. Yaera memang pantas untukmu, karena dia cantik, normal, dan memiliki segalanya. Benar begitu bukan?" Bukannya diam, Yoora justru semakin tertarik untuk membuat Jungkook debat dengannya. (Benar)


Jungkook mengambil nafas kasar, ia baru tahu bahwa Yoora seperti ini.


"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kau katakan."


Yoora tersenyum miring menatap lelaki itu, Bae Yaera diam-diam memang mempengaruhinya.



"Jeon Jungkook, kau benar -benar melupakan aku?" Yoora meyakinkan perkataannya itu, meskipun ia tidak mengingat Jungkook sama sekali.

"Berhenti gila seperti ini,Yoora." Jungkook menggeleng kepalanya pelan, ia sama sekali tidak melirik gadis berponi tengah itu.




"Turunkan aku disini." Yoora melepas seatbelt dengan kasar.







*****

Yoora POV.

21.00.






Aku memeluk tubuhku sendiri.
Sialnya, malam ini benar-benar dingin, oh, memang setiap malam Seoul selalu dingin.

Ada sedikit penyesalan setelah memaksa Jungkook untuk menuruniku di tengah jalan seperti ini, gelap, sepi, dan tidak ada penerangan sama sekali.

Ponselku sedari tadi bergetar, namun aku sama sekali tidak ada niat untuk meng- checknya sama sekali.

Aku melihat ada cahaya yang menerangi halte bus. Dengan cepat, aku berlari kecil menghampiri halte itu.

Sial, aku menggiggil, aku meringkuk diatas kursi halte bus, aku tidak peduli, tidak ada satupun orang disini.

Aku bisa merasakan seluruh badanku gemetaran, udara dingin terasa menusuk bagian kulitku yang tidak tertutup.




Drtt... Drtt.. 

Ponselku kembali bergetar, dengan cepat aku meronggoh saku tas yang kutaruh diatas paha.



"Ye-yeobuseyo?" Ujarku begitu telepon tersambung. (Halo)

"YaaKenapa kau tidak menjawab pesan dan teleponku dari tadi eoh? Kau memnuatku cemas! Apa si brengsek itu melakukan sesuat-" suara Jimin mengagetkan gendang telingaku, dia benar - benar cempreng.




"Jimin-ah.."


"Eoh? Wae?" Suaranya mereda begitu aku memanggil namanya. (Kenapa)




"dowajuseyo." Aku menarik nafas, suaraku rasanya tidak akan keluar lagi, seluruh badanku mulai membeku. (Tolong aku)

"Huh? Yoora-ya, apa yang terjadi? Tolong apa?, neo eodisseo?!" Nafas Jimin mulai tidak beraturan, Jimin terdengar cemas, satu-satunya orang ang mencemaskanku.



Aku melirik sekitar, tidak ada tulisan nama jalan disini, bahkan di halte ini pun tidak ada tulisan apapun.

Aku mulai cemas, berbagai macam hal negatif muncul di pikiranku begitu saja.


"Mo-molla.." Suaraku bergetar, aku benar-benar tidak kuat, udara dingin ini sangat menyiksa. (Aku tidak tahu)


Beberapa kali aku mendengar Jimin mengumpat kata-kata kasar di telepon, ia kesal dan mengkhawatirkanku di waktu yang bersamaan, seharusnya aku menuruti perkataanna, seharusnya, aku tidak usah menerima perkataan Jungkook.




Bae Yoora, sampai kapan kau mau bodoh seperti ini terus?




"Kau.. Apa kau membawa jaket? Yoora? Kau dengar aku?" Jimin semakin cemas, dan aku semakin lemas.


Aku menggeleng. "A-ani.."




"Aish! KauCepat aktifkan GPSmu sekarang! Aku kesana! Kau Dengar aku? Tunggu aku." Jimin mematikan sambungan teleponnya, aku kembali menaruh ponselku di dalam tas.

Aku memeluk lututku semakin erat, seluruh tubuhku sudah membeku, bibirku juga membeku, mataku berat, kepalaku pusing, komplit sudah.

Samar-samar aku mendengar percakapan beberapa lelaki yang sepertinya berjarak tidak jauh dari tempat dimana aku berada.



Lalu , kepalaku sakit, sakit sekali. Selanjutnya, aku merasakan tubuhku terjatuh, sedetik kemudian, semuanya hitam.








Gelap.

Dan aku tidak merasakan apa - apa lagi.







Kali ini, aku benar-benar akan tamat.









*****





Aku membuka kedua mataku, begitu merasakan sentuhan lembut di dahiku.

Hal pertama yang aku lihat adalah ruangan bernuansa putih pucat.

Dan yang kedua, adalah Jimin.


Aku reflek terbangun dari posisi tidur sebelumnya, dan pusing yang tadi kurasakan sebelumnya sudah menghilang.


Badanku juga sudah terasa baikan, karena Jimin menyelimutiku dengan tiga lapis selimut tebal.

Aku menatap Jimin, yang juga sedang menatapku demgan tatapan cemas.


"Apa sudah baikan?" Tanya Jimin seraya mengelus pipiku lembut.

Aku sedikit terkejut dengan sentuhan hangatnya, aku tidak pernah disentuh sebelumnya.

"Hm." Aku mengangguk kecil,

Lalu, Jimin mengambil segelas cokelat panas di naka dan segera menyodorkannya kepadaku.


"Igeo.. Ini buatanku sendiri, jadi kau harus minum." Nadanya itu terkesan memaksa, tch

Aku segera menyeruput cokelat panas buatannya.




"Apa yang terjadi?" Tanyaku polos. Oh, Yoora memang selalu polos.

"Bodoh, tadi, kau pingsan."



"Eoh? Jinjja?" Aku menaikan se-oktaf nada bicaraku. (Benarkah)


Jimin mengangguk, lalu ia menatapku serius.






"Kau.. "



















"Sampai kapan akan membuatku terus mengkhawatirkanmu? Kau senang membuatku merasa gila seperti ini?" Tanyanya,



Jimin menatapku sayu, dan tatapannya membuat jantungku berdebar.



Deg.



Deg.




Deg.





Tidak, tidak. Ini bukan apa-apa. Jantungku berdebar seperti ini, bukan apa-apa.




"Mian.." (Maaf)


Aku melirik sekitar, aku yakin ini rumah Jimin, atau lebih tepatnya
Apartement Jimin.


"Lain kali, jangan buat aku cemas, balas pesanku dan angkat teleponku, mengerti?" Tanyanya sambil mengangkat kedua alisnya, tch. Dia lucu.


"Nee, Park Ahjussi." (Paman Park)


Jimin tersenyum, kalian tahu? Dia seperti malaikat dan Aku baru menyadarinya.


Aku melirik sofa yang jaraknya tidak jauh dari ranjang, hal pertama yang muncul adalah ponselku. Aku tidak boleh telat memberitahu Daniel oppa.


"Jamkkan.." Aku segera beranjak dari ranjang milik Jimin. (Tunggu)


Tapi, Jimin menarik lenganku, sehingga aku duduk kembali di ranjang, mau bagaimana lagi? Tenaganya lebih kuat dariku.


"Jangan kemana-mana." Ujarnya.


"Eung?" Aku menggigit bibir bawahku, Suara Jimin kali ini berat, bukan cempreng seperti biasanya.



"Tapi, ponselk-"





Chu~~






WHUT THE?!

He did it.

He did it again,
for the second time .


and you know what, it feels so damn tasty.


























To Be Continue.
Vote and spam comment, keep vomments for fast update.
Jangan lupa follow ig yaa.
Xx,
Chelsea.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro