Chapter 16 ~ Berharap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau mungkin bisa mematahkan harapanku.
Namun, kau harus berusaha kuat untuk menghancurkanku.
Aku memang rapuh, tetapi tidak mudah untuk dihancurkan.

🍀🍀🍀

Segala memori masa kecil Birendra yang berkelebat mulai memudar. Cukup lama ia terdiam karena tidak sanggup memikirkan masa lalunya itu dengan ditemani Birendra yang kini sudah duduk di sebelahnya.

"Maafin Bang Radit, ya? Abang janji ...."

"Nggak usah menjanjikan apa-apa lagi, Bang, sudah cukup. Semua yang terlewati biarkan begitu saja. Untuk ke depannya, jangan terlalu mudah untuk mengumbar janji."

"Maaf, Bi, nggak lagi."

"Diingat-ingat lagi janji apa saja yang pernah Abang ucapkan. Penuhi itu semua, sebelum ditagihnya nanti, di akhirat."

Radit mengangguk. Ia cukup takjub dengan perkataan Birendra barusan. Usianya masih belasan tahun, tetapi pemikirannya sudah sejauh itu.

"Siapa yang mengajari ilmu agama, Bi?"

Birendra menggeleng, setelahnya ia menghapus setetes air mata yang tersisa di sudut matanya. "Siapa saja. Bi hanya mengikuti naluri. Jika menurut naluri Bi salah, jangan diikuti. Jika naluri mengatakan itu benar, lakukan. Semudah itu."

Sosok mahasiswa yang belum selesai studinya itu mengangguk-angguk. Ia merasa dikalahkan oleh seorang pelajar SMA. Begitu malu rasanya jika harus membahas terlalu mendalam. Radit takut. Akibat pengaruh pertemanan di luar, ia takut tidak bisa mengimbangi pemikiran adiknya ini.

"Boleh Abang tanya sesuatu?"

"Tentang apa? Selama bisa, Bi akan menjawabnya."

"Pipinya kenapa?"

"Hem ..., bisa tanya yang lain?"

"Sesulit itukah pertanyaan Abang?"

Birendra menunduk, perasaannya menjadi tak menentu. Hal itu justru membuat Radit semakin intens memandanginya. Radit tidak menginginkan apa-apa selain jawaban jujur dari adiknya. Sebab Radit terlampau paham bagaimana karakter sosok di sampingnya itu.

Suasana menjadi canggung kembali untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya Birendra menurunkan kembali tudung jaketnya. Radit melihat dengan jelas bagaimana embusan napas si bungsu itu keluar.

Seperti ada tekanan dan rasa tak nyaman. Sekali lagi, penampilan pipi memar keunguan dengan pinggiran yang sudah agak memudar kembali menarik perhatian Radit.

"Kalau nggak bisa jawab, nggak apa-apa. Abang hanya khawatir. Kulit kamu sensitif, kena benturan sekecil apapun akan mudah untuk memar. Dan butuh berhari-hari sampai memarnya hilang."

"Ini saja jadi perhatian teman-teman di sekolah."

"Lalu?"

"Mas Ganesh. Ini pertama kalinya Mas Ganesh main tangan sama Bi. Kasihan, sih. Soalnya Mama marah banget sama Mas Ganesh."

Radit mulai paham akan situasin saat ini. pelaku utamanya adalah kakak dari si bungsu. Ingin kesal, tetapi memang Ganesh seperti itu. Temperamental dan mudah dihasut. Radit bahkan tak habis pikir bagaimana jalan pikiran kakak Birendra itu sampai tega menampar adiknya sendiri.

Jingga mulai menampakkan warnanya. Radit memilih untuk pulang dan mengantarkan Birendra sampai bertemu dengan Mama Ajeng. Padahal, ia sangat berharap Ganesh yang menemuinya. Sungguh, hatinya panas dan ingin juga sesekali menampanya sebagai balasan untuk tangan yang sudah menyentuh Birendra.

Dunia mungkin akan tertawa ketika melihat dua manusia ini. Siapa yang keluarga kandung, siapa yang bukan. Namun, soal urusan perhatian yang bukan saudara kandung justru lebih juara.

Setelah yakin Birendra aman, ia bergegas kembali ke rumahnya. Di sana, ayah dan bundanya sudah menunggu. Karena kedatangan Radit bersamaan dengan kumandang azan magrib, maka mereka memutuskan untuk menunggu sekalian supaya bisa salat berjamaah.

"Dad, kalau Bi kita adopsi, bisa?" tanya Radit.

Arfan yang sedang menyeruput teh hangat langsung tersedak. Mereka memutuskan untuk duduk bersama dan bersantai selepas salat magrib sambil menunggu waktu isya' tiba.

"Kamu ini apa-apaan, Dit? Daddy sampai keselek begini. Kalau bicara itu yang bener."

"Radit udah bicara benar, Bund. Pakai mulut, intonasi sudah benar, kosa kata juga sudah tepat, jelas, nggak ada yang samar."

"Son, pikiranmu yang nggak benar," ujar Arfan sambil mengusap sudut bibirnya. "Kamu boleh anggap dia adik kandungmu, tetapi jangan terlalu menuruti keinganmu. Bi punya keluarga dan masih lengkap pula."

"Dia nggak aman, Dad. Ganesh terlalu kasar sama dia. Hari ini Radit lihat pipinya memar, besok apa lagi?"

Arfan merangkul bahu Radit. Ia paham betul bagaimana putra tunggalnya itu khawatir. Bunda Karina memilih beranjak dan membiarkan kedua lelakinya supaya lebih leluasa untuk bercerita.

Biasanya, anak lelaki cenderung lebih dekat dengan sang ibu, tetapi Radit bisa sangat dekat dengan keduanya. Mereka memang sengaja untuk mendekatkan Radit kepada sang ayah, supaya lebih mengerti bagaimana menjadi lelaki yang bertanggungjawab.

"Son, kamu boleh melakukan apa saja, tetapi perlu diingat ada batasan yang tidak boleh kamu lewati."

"Radit paham, Dad. Satu saja keinginan Radit, Bi mendapatkan lagi haknya, memperoleh semua yang seharusnya dia dapat."

Sekali lagi, rangkulan di bahu Radit semakin erat. Arfan tersenyum dan sedikit takjub pada putra semata wayangnya itu. "Kamu tidak harus terlalu masuk dalam kehidupan pribadi Bi, Son. Cukup kamu berada di sampingnya, menemaninya, dan ada saat dia butuh, Daddy rasa itu sudah sangat membantunya."

Pemuda dengan mata sipit dan berambut lurus itu menoleh, kemudian menatap manik mata sang ayah. Radit berusaha mencari makna tersembunyi dari ucapan ayahnya itu. Ia mulai paham ke mana arah pembicaraan sang ayah.

Radit mulai menampakkan senyumnya. Sesederhana itu percakapan dua lelaki ini. Ketika yang satu sudah menemukan koneksi yang tepat, tidak perlu diberitahu secara tersurat, dengan tersirat saja sudah bisa untuk saling mengerti.

"Thanks, Dad."

"Son, superhero itu tidak selalu ada setiap saat, tetapi mereka hadir di waktu yang tepat, paham?" ucapan sang ayah disambut dengan anggukan kuat dari Radit.

🍀🍀🍀


Day 17
WPRD Batch 2

Bondowoso, 04 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro