Chapter 17 ~ Berdamai (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan keluar memang harus dicari.
Namun, saat tidak menemukannya jangan dulu khawatir.
Akan selalu ada jalan tak terduga yang menunggu.

🍀🍀🍀

Beberapa percaya bahwa sebuah ujian itu pasti datang karena mereka mampu untuk melewatinya. Meski perlu sedikit usaha untuk menyelesaikannya, tetapi mereka yakin akan bantuan tak terduga yang datang entah dari mana.

Setiap proses yang dijalani adalah pembelajaran dalam hidup. Setiap proses yang berhasil dilewati adalah keberhasilan. Namun, jika gagal yang datang, tidak apa-apa, sebab itu adalah bagian dari proses.

Radit sedang dalam posisi menikmati prosesnya untuk sebuah penebusan tentang masa lalu. Meski menurut yang lain hal itu bukan apa-apa, tetapi memikirkan Birendra yang memendam segala kesulitannya dari kecil membuatnya sedikit merasa bersalah.

Hari ini ia sengaja menunggu kepulangan adiknya. Ia berdiri di balkon kamarnya saat mendekati waktu kepulangan Birendra dari sekolah. Tidak berapa lama yang ditunggu akhirnya datang.

Radit melambaikan tangan dan disambut dengan Birendra yang juga langsung menuju balkon kamarnya.

"Hai, Bang. Ngapai di situ?"

"Lagi nungguin adik Abang pulang sekolah."

Lagi, setelah kejadian kemarin, Birendra menyapa Radit terlebih dahulu. Sebuah kemajuan yang besar 'kan? Radit tersenyum, ia melemparkan minuman yogurt rasa buah dan sebungkus roti susu secara bergantian.

Satu hal yang tetap selalu diingat oleh Radit. Adiknya itu akan takluk pada semua yang berbau olahan susu dan tahu. Apapun bentuknya, Birendra pasti tidak mampu untuk menolaknya.

"Makasih, Bang," ujar Birendra sambil duduk bersila di balkon dan masih menggunakan seragamnya.

"Sekolahnya gimana? Ada yang seru, nggak?"

"Biasa saja. Bi nggak terlalu dekat dengan mereka."

"Masa SMA itu termasuk yang paling singkat, tapi paling dikenang. Jangan diem aja, Bi. Cari cewek, kek. Bikin geng, kek."

"Cari cewek, pacaran, putus. Ngenes, Bang! Bikin geng? Rame-rame, gerombolan bikin rusuh, keciduk, masuk buku pelanggaran. Ngenes juga ending-nya."

"Terus yang nggak berakhir ngenes apaan?"

"D3. Duduk. Diam. Dadah buat pulang."

Radit tersenyum kaku mendengar ucapan Birendra. Ia tak menyangka adiknya lebih memilih untuk diam di kelas daripada berbaur dengan yang lainnya. Lelaki yang memakai kaos putih itu memilih untuk diam dan membiarkan adiknya menikmati makanan pemberiannya.

Dari situ sudah terlihat jelas, kesukaan si bungsu itu tidak banyak berubah. Sementara itu, Birendra yang tengak asik memakan roti tiba-tiba mendongak dan menatap Radit. Ia seperti ada pertanyaan yang ingin diutarakan.

"Kenapa, Bi?"

"Nggak ada, nggak apa-apa."

"Kalau memang ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja."

"Abang kuliah jurusan apa?"

"Pendidikan Psikologi."

"Bisa bikin proposal kegiatan?"

"Apa hubungannya jurusan kuliah sama bikin prosposal, Bi?"

"Mau minta bantuan."

Radit menghela napas, untuk meminta bantuan membuat proposal saja Birendra harus mengajukan pertanyaan yang berputar-putar dan tidak langsung pada tujuan.

"Langsung aja bilang, Abang bisa bantuin bikin proposal, nggak? Gitu kan cepet kelar, Bi."

Birendra mengerucutkan bibirnya. Rasa canggung yang ada diantar ia dan abangnya seperti langsung tertangkap basah. Ia memilih menenggak isi botol yogurt guna mengalihkan salah tingkah yang muncul.

Belum selesai mereka bercengkraman, suara teriakan Ganesh terdengar. Rupanya si sulung sudah berada di depan pintu kamar Birendra. Radit berdiri dan melihat pintu kamar Birendra terbuka. Sementara itu, si bungsu langsung saja masuk ke kamar dan menutup pintu balkon kamarnya supaya suara Ganesh sedikit teredam.

Namun, suara percakapan keduanya masih saja terdengar meski samar-samar. Kakak beradik itu terlibat percakapan. Ganesh memarahi Birendra karena terlalu lama berdiam diri di kamar, sedangkan Zio sudah menunggunya di bawah untuk diantar ke tempat les Matematika.

"Sudah dibilang pulang sekolah langsung ganti baju dan anter Zio ke tempat lesnya. Kenapa kamu malah ngobrol? Zio jadi terlambat, Bi."

"Bi masih capek, Mas. Lagian Zio juga bilang nggak apa-apa meski sedikit terlambat."

"Kamu ini nggak bisa menghargai waktu banget. Disiplin itu penting, Bi. Jangan terlalu mengentengkan. Nanti malah jadwal yang lainnya berantakan."

"Bi siap-siap sekarang."

Ganesh melemparkan kunci motor dan langsung disambut oleh si bungsu. "Pakai motor saja. Kalau pakai sepeda makin terlambat."

"Mas Ganesh tahu 'kan kalau Bi belum punya SIM?"

"Nggak akan ada polisi sore-sore begini, Bi. Nggak usah banyak alasan. Cepetan berangkat sebelum guru lesnya makin lama nungguin."

"M-mas, Bi juga nggak terlalu lancar bawa motornya, gimana kalau ...."

"Nggak usah banyak alasan. Mas Ganesh ada urusan, Mama juga ada pekerjaan. Satu-satunya yang bisa hanya kamu," bentak Ganesh.

Birendra terdiam, begitu sang kakak keluar kamarnya, ia langsung bersiap dan dengan tergesa-gesa turun ke lantai bawah. Di sana, Zio sudah menunggunya dengan membawa tas dan berpakaian rapi. Bercelana panjang dengan kemeja polos berwarna biru tua.

Si bungsu sendiri mengenakan celana hitam panjang dan kaos berwarna army lengkap dengan jaket kesayangannya yang berwarna hitam. Setelah siap dengan helm masing-masing, dan Zio sudah berada di boncengan motor, Birendra melajukan motornya dengan sangat pelan.

Namun, belum juga keluar gerbang, mendadak Birendra menghentikan motor dan menoleh pada Zio.

"Pakai sepeda aja, ya? Gugup, nih!"

"Kelamaan, Bi. Lo mah enak nggak dimarahin. Ini guru lesnya galak, Bi."

"Kenapa tadi malah bilang nggak apa-apa kalau telat? Dodol, ih!"

"Gue kasian, lo keliatan capek banget. Eh, malah duluan Mas Ganesh yang naik sebelum lo turun. Udah, gas keun!" pinta Zio.

Birendra mau tak mau mengangguk dan membawa Zio ke tujuannya. Meski dengan perasaan yang tak enak dan berkecamuk, si bungsu keluarga Wardhana itu mencoba membawa motor dengan setenang mungkin.

🍀🍀🍀

Day 18
WPRD Batch 2

Bondowoso, 05 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro