Chapter 28 ~ Yang Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bisa berencana, Tuhan yang menentukannya.
Aku bisa meminta, Tuhan yang memutuskan memberi atau tidak.
Setiap usaha akan ada hasilnya.
Baik ataupun buruk, itu akan memberi pelajaran berarti

🍀🍀🍀

Waktu memang bisa berjalan begitu cepat. Bahkan bergulirnya waktu terkadang tidak terasa. Namun, waktu juga memberikan banyak pelajaran berarti. Waktu memang sebercanda itu, ia bisa datang dengan cepat, bisa juga dengan lambat.

Kegiatan amal tahun pertama saat Birendra masih di kelas X berjalan dengan sangat baik. Begitu juga dengan kegiatan amal yang dilakukan di tahun kedua. Itu merupakan tahun terakhir seorang Ari bergabung dan menjadi penentu suksesnya acara tersebut.

Tidak terasa, kini Birendra sudah memasuki tahun terakhir di SMA. Ia bersama tiga teman lainnya sudah ditunjuk menjadi penanggung jawab acara. Mereka adalah yang teristimewa.

Namanya ditulis sebagai pencetus kegiatan amal yang akan berlangsung tiga tahun berturut-turut. Supaya lebih baik lagi, mereka tidak lagi menggunakan aula sekolah. Rencana yang lebih besar sudah disusun sedemikian rupa.

"Kalian sudah kelas XII, jadi ambil bagiannya seperti mandor saja. Bagian matengin konsep dan ngawasin adik-adiknya saja, ya," pinta ibu wakil kepala sekolah kepada empat serangkai yang tersisa karena Ari sudah lulus tahun lalu.

Citra sebagai anak yang sudah membolos akhirnya menghilang saat kesuksesan didapat di tahun pertama. Nama mereka menjadi lebih baik dan dilirik sebagai anak yang memiliki jiwa dermawan.

🍀🍀🍀

Sepulang sekolah, Birendra yang tidak membawa sepeda rupanya dijemput oleh seseorang. Abangnya sudah menunggu di gerbang dengan motor matic yang biasa digunakan untuk bepergian.

"Abang sudah lama?"

"Baru saja, Bi. Kita langsung pulang, ya? Mendung. Abang juga nggak bawa mantel."

"Oke, meluncur, Bang."

Suara cerita Birendra membuat Radit bersemangat dan melajukan motornya. Mereka bercengkerama selama di perjalanan. Membahas berbagai hal sampai tidak terasa gerbang rumah keluarga Wardhana sudah berdiri kokoh di hadapan keduanya.

"Kayaknya ada tamu, Bi. Siapa?"

Birendra mengangkat bahunya. "Kan dari tadi Bi sekolah. Sebelum berangkat itu mobil juga nggak ada, Bang."

"Nggak mau, Zio nggak mau ikut Ayah sama Ibu. Zio mau di sini. Zio mau di sini saja, titik!"

Suara teriakan Zio yang terdengar sampai ke halaman membuat Radit dan Birendra bertukar pandang. Mereka bergegas masuk ke rumah dan melihat bagaimana dua sosok asing itu berusaha membujuk Zio yang bersembunyi di balik punggung Ganesh.

"Ibu kangen sama Zio. Ayah juga kangen sama Zio. Ikut kita, ya?"

Zio menggeleng, tangannya semakin erat memeluk tangan Ganesh. Pelajar yang duduk di kelas IX itu mulai tidak tenang. begitu juga dengan Ganesh. Melihat sang kakak kesusahan, Birendra beralih berdiri di sebelah Zio.

Mama Ajeng dan sang suami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua orang itu adalah orang tua kandung Zio, mana mungkin bisa menolak jika mereka ingin bersama Zio. Hanya saja, mungkin situasi yang tiba-tiba menjadi penyebab Zio tidak siap untuk meninggalkan keluarga Wardhana yang sudah merawatnya selama bertahun-tahun.

"Om, boleh Radit bicara?"

Sosok yang meminta izin itu sudah bukan lagi mahasiswa, ia telah berganti status menjadi seorang guru BK di salah satu sekolah favorit di kotanya. Sedikit banyak, ia juga tentu paham bagaimana menghadapi situasi yang rumit ini.

Yudis mengangguk, begitu juga Mama Ajeng yang memandang Radit dengan tatapan penuh permohonan supaya mampu menyelesaikan masalah ini. Usia bukanlah ukuran untuk dewasa, kadang yang muda jauh lebih bijak dan yang tua jauh lebih kekanak-kanakan.

"Nesh, bawa Zio ke kamarnya saja. Biarin gue yang bantu ngomong."

"Bi, temenin Zio ke kamarnya." Bukannya menuruti permintaan Radit, Ganesh justru menyuruh Birendra untuk menggantikan posisinya.

Radit paham betul bagaimana kekhawatiran Ganesh saat ini. Bukan bermaksud bersorak atas situasi yang pernah ia prediksi, tetapi cepat atau lambat memang kondisi ini akan segera terjadi.

Dua remaja yang berjarak usia tiga tahunan itu beranjak menuju lantai dua. Mereka pasrah pada situasi dan keputusan yang akan diterima nantinya. Meski terkadang Zio menyebalkan, tetapi belakangan Zio juga berlaku sebagai anak baik dan tidak macam-macam.

"Om sama tante kapan datang?"

"Siang ini. Sebenarnya kami sudah kembali sejak seminggu yang lalu, tetapi kami sengaja kemari hari ini karena ingin memberi Zio waktu."

"Apa sebelumnya sudah diberi tahu bahwa Zio akan dijemput?"

"Baru saja kami beri tahu," ujar Ibu Zio.

"Wajar saja kalau Zio menolak. Dia sudah terlalu lama ditinggalkan dan dititipkan ke keluarga Om Yudis tanpa ada kabar, telepon, atau bahkan berkirim surat. Selama itu, Om." Ucapan Radit seperti pukulan telak.

Kebenarannya memang seperti itu. Radit bukan hanya dekat dengan Birendra, ia juga sering mendengarkan keluh kesah Zio yang bahkan sudah mulai lupa bagaimana wajah orang tuanya.

Kini keduanya sudah hadir, bukan melepas rindu, tetapi meminta Zio untuk pergi dan meninggalkan keluarga yang sudah merawatnya sekian lama.

"Om, Zio masih terlalu kaget. Om dan tante nggak pernah ada kabar, tapi tiba-tiba ngajak Zio pindah begitu saja. Wajar kalau dia menolak." Ganesh sudah mulai terpancing dan berbicara dengan suara agak tinggi.

"Kami orang tuanya, Nesh. Apa salah kami jika meminta putra kami kembali?" ujar Ayah Zio dengan nada sedikit tinggi.

"Om, nggak ada yang salah dengan permintaan itu, tapi kami mohon. Jangan seperti ini caranya. Biarkan Zio mempersiapkan dirinya dulu. Sekolahnya juga akan selesai nggak lama lagi. Bisa menunggu sebentar lagi?" Radit mencoba mencari jalan tengah.

"Kami nggak melarang kalian bawa Zio, tetapi Zio juga butuh waktu lagi untuk beradaptasi dengan kehadiran kalian. Tinggallah di sini selama beberapa waktu, sampai Zio terbiasa dengan kehadiran kedua orang tuanya." Mama Ajeng berujar dengan lembut dan memilih kata-kata yang halus supaya tidak menyakiti keduanya.

"Sampai kapan kami harus menunggu?"

"Setidaknya sampai Zio terbiasa dan dia yang bersedia untuk ikut bersama kalian," ujar kepala keluarga di rumah itu.

Kesepakatan akhirnya tercapai. Ganesh juga puas dengan apa yang sudah disampaikan. Setidaknya musyawarah adalah jalan terbaik supaya tidak ada yang tersakiti. Bolehkan kali ini saja ia menanggalkan rasa egoisnya dan berucap terima kasih pada Radit?

🍀🍀🍀

Day 30
WPRD Batch 2

Bondowoso, 17 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro