Chapter 27 ~ Sadar Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Terkadang memang butuh sedikit tamparan.
Bukan untuk menyakiti, melainkan supaya sadar.
Pada akhirya, aku sadar bahwa posisiku salah.
Tidak seharusnya terlalu lama berada di sana.

🍀🍀🍀

Radit tersenyum. Ia menampilkan senyuman terbaiknya, paling tulus dari lubuk hatinya. Ia akhirnya sadar akan posisinya kali ini. Apa yang dianggap baik tidak selamanya baik oleh orang lain.

Bahkan, apa yang menurutnya benar, tidak begitu dengan anggapan orang lain. Seperti makan buah simalakama, Radit ingin bertahan dengan keluarganya, tetapi ia sadar ia sudah terlalu lama masuk dalam keluarga Wardhana.

"Sori kalau kehadiran gue di sini malah bikin lo nggak nyaman."

"Itu lo sadar, harusnya sekalian saja lo nggak pernah kembali. Sekalinya kembali lo malah ngerusak suasana."

"Oke, gue penuhi untuk jaga jara dari lo, tapi gue nggak bisa melepas Bi sepenuhnya. Kalau lo janji bakal lebih baik sama adik lo, baru gue bisa."

"Dit, lo masih juga nggak nyadar, ya? Yang bikin gue sama Bi jauh itu karena lo hadir di antara kita."

"Bukan. Bukan gue, tapi lo sendiri. Nesh, lo sendiri yang milih Zio dan mengabaikan Bi. Ingat, Zio nggak akan selamanya di sini. Minta tolong sampein ke Bi, gue pamit."

Ganesh tidak menanggapinya. Ia memilih untuk terus menatap punggung Radit yang menjauh dan menghilang di balik pintu. Akhirnya, ia bisa bernapas lega. Begitu membalik badannya dan berjalan beberapa langkah, Ganesh berhenti tiba-tiba dan mendapati Birendra berdiri sambil besandar pada dinding.

"Bi, dari kapan di situ?"

"Dari tadi, pas Mas Ganesh minta Abang buat nggak ke sini lagi."

Kata terakhir Birendra yang diucapkan dibarengi dengan langkah kaki yang menjauh dari kakaknya. Si bungsu itu memilih untuk menemui teman-temannya. Ia bergabung dan membereskan semuanya sesuai dengan permintaan sang kakak di awal.

🍀🍀🍀

Kejadian terakhir itu berbuah pahir. Radit benar-benar mewujudkan apa yang Ganesh minta padanya. Selama beberapa pekan ia tidak menampakkan batang hidungnya.

Bahkan sesekali Mama Ajeng bertanya pada Bunda Karina perihal Radit yang jarang bermain ke rumahnya. Bunda Karina hanya menjawab Radit sibuk dengan tugas akhirnya.

Namun, Birendra yang sebenarnya paling kehilangan. Ia harus rela bersusah payah melaksanakan rencana-rencana kegiatan amal di sekolah tanpa adanya pengawalan dari sang abang.

"Bi, itu si Abang ke mana, sih? Tiap bahas ini di rumahmu, dia nggak ada. Kita ini butuh penasehat batin supaya kembali ke jalan yang benar." Willy mengutarakan keresahan yang ia alami karena tertekan bersama rekan yang tidak bisa diandalkan.

"Nggak ada. Si Abang lagi nggak bisa diharapkan," jawab Birendra sekenanya karena ia juga kesal karena tingkah temannya yang super.

Bukannya bekerja mempersiapkan dan merencanakan semuanya, mereka justru bercanda dan tidak menanggapi serius saat pembahasan di mulai. Padahal, kali ini mereka melibatkan beberap orang sebagai tambahan.

Karena tak tahan dengan keadaan, Birendra menggantikan posisi Ari yang berada di salah satu ruang organisasi yang mereka pinjam. Ia mengambil posisi untuk memimpin rapat, tetapi pikirannya juga sedang tidak di sana.

"Ya sudah, sementara itu dulu. Untuk berikutnya kami harap ada bantuan tenaga dari ekskul Pramuka dan PMR untuk mengondisikan jika tiba-tiba ada kejadian tidak terduga seperti sakit atau kecelakaan kecil. Untuk ekskul lainnya, besar harapan kita supaya bisa bergabung dan menjadi pengisi acara atau membantu di beberapa seksi yang sudah kami bentuk," ujar Birendra mengakhiri pertemuannya kali ini.

Begitu ia menutup dengan salam, ruangan itu hanya berisikan penggagas acara amal saja, yaitu Arga, Willy, Sandi, Ari, dan Birendra.

"Sebenarnya Abang masih bantuin, tapi dia nggak bisa ke rumah lagi. Mas Ganesh nggak kasih izin."

"Si Mas nggak asik, Bi. Masa nggak dikasih izin? Kalau kita yang ke rumah Bang Radit, gimana?" usul Sandi.

"Ntar gue coba kabari lagi. Sekarang paling sering gue diem-diem ketemu di luar. Mas Ganesh emang nggak pernah suka sama Abang."

"Kabari kita kalau emang jadi."

Jujur saja, ini sedikit berat untuk Birendra. Sebab, perubahan yang ia hadapi ketika tanpa Radit dan dengan dukunga Radit, itu sangat jauh berbeda. Ia dulu sulit untuk percaya dan berteman.

Terlebih lagi dengan sikapnya yang lebih memilih untuk menyendiri. Namun, sejak adanya Radit, Birendra seperti mendapatkan dunianya kembali. Ia bisa menjadi anak yang lebih ramah.

Terbukti dengan ia bisa berbaur lagi dengan beberapa teman barunya, yang bahkan tidak pernah ia sangkakakn bisa sudah sedekat ini. Beberapa teman sekelasnya juga sudah mulai mendekat dan menjalin pertemanan yang lebih baik lagi.

Senyum yang dahulu pernah ia rahasiakan, kini mulai ia pamerkan pada sebagian orang yang dipercaya. Selain itu, Birendra juga sudah mulai lebih ceria. Seolah awan mendung yang bergelayut di wajahnya sudah pergi.

🍀🍀🍀

Seseorang yang beberapa waktu lalu sempat menghilang, dan hanya bisa bersua melalui telepon, kini sudah berdiri di depan gerbang rumah keluarga Wardhana. Radit bersandar pada dinding dan melambaikan tangan pada Birendra yang mengayuh sepeda.

Binar cerah di wajah si bungsu tidak bisa ditutupi lagi. Ia semakin semangat mengayuh sepedany. Begitu sampai, Birendra langsung saja turun dan meninggalkan sepedanya yang tergeletak di aspal.

"Ke mana saja? Kenapa nggak bisa ditemuin? Teman-teman juga sudah nggak sabar buat belajar lagi sama Abang."

"Satu-satu nanyanya. Abang lagi ribet sama tugas kuliah. Maaf kalau memang bikin khawatir."

"Kirain Abang marah karena dilarang sama Mas Ganesh."

"Cuma Ganesh, kalau Om Yudis atau Mama Ajeng yang larang, baru Abang nggak berani lawan. Kalau masmu saja yang ngomong, ah, sudah biasa."

Keduanya terkekeh. Kehangatan kembali menebar di antara keduanya. Bukannya masuk ke rumah keluarga Wardhana, Radit justru menggiring Birendra untuk ke rumahnya. Dengan pelukan erat di bahu, mereka berjalan berdampingan menuju kediaman keluarga Nugraha.

🍀🍀🍀

Day 29
WPRD Batch 2

Bondowoso, 16 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro