Chapter 3 ~Tentang Birendra Sadhana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini tentangmu, yang datang, menetap, lalu mengisi hariku.
Ini tentangmu, yang menjadi berharga, tapi pernah aku siakan.
Ini tentangmu, yang tetap menunggu, meski tanpa alasan.

🍀🍀🍀

Buntut dari semua barang yang tertinggal, Radit pulang dengan perasaan kesal. Tidak biasanya ia melupakan benda penting jika ingin ke luar rumah. Ditambah lagi ia yang juga lupa beberapa jalan yang harus dilaluinya.

Beberapa kali ia harus turun dan bertanya ke mana jalan di hadapannya itu akan berujung. Karena beberapa peraturan daerah, nyaris semua jalanan kota dibuat satu arah. Sehingga harus memutar lebih jauh untuk sampai kembali di rumahnya.

Begitu sampai di halaman rumahnya, lelaki dengan kemeja berwarna baby blue dan celana berbahan kain langsung saja menjatuhkan badannya di karpet yang terhampar di ruang tengah dengan posisi tengkurap. Sang ibu buru-buru mengecek siapa yang baru saja datang dan membuka pintu dengan keras.

"Allahuakbar, anak bujang kenapa balik lagi? Dibiasakan salam dulu, Nak."

"Asalamualaikum, Bunda," ujar Radit sambil membalik badannya.

"Wa alaikum salam. Urusannya sudah selesai? Cepat juga ternyata."

"Radit nyasar, Bund. Ketinggalan pas ngikutin Bi mau ke sekolah, terus muter-muter jauh juga buat balik lagi ke sini."

"Alhamdulillah sampai juga. Jadinya ini belum sampai ke kampus dan balik lagi?"

Radit mengangguk dan memasang tampang memelas. Ia merubah posisinya menjadi duduk bersila. Ia duduk menghadap pada Bunda Karina, mengubah raut wajahnya menjadi lebih serius lagi.

"Entah sudah berapa kali Radit minta Bunda untuk cerita tentang Bi. Dari awal, sejak Radit pindah ikut Daddy. Kali ini saja, tolong ceritakan semuanya," pintanya pada sang bunda.

Bunda Karina menatap putra semata wayangnya dengan mata sendu. Wanita yang hampir berusia setengah abad itu seperti bimbang untuk bercerita. Beberapa kali Radit melihat sang bunda meremas tangan yang saling bertaut itu.

Semakin lama, semakin tampak terlihat bundanya gelisah. Bibirnya yang sudah sedikit terbuka, tertutup rapat kembali. Hingga ketika Radit menatapnya sekali lagi, dengan mantap Bunda Karina mulai bercerita.

"Kita salah, kami para orang tua yang bersalah. Menghalanginya untuk tentang kepergianmu. Kami berharap itu tidak menyakitinya. Begitu juga dengan kamu yang meminta untuk merahasiakan semuanya."

"Bun, kita itu berikan yang terbaik! Supaya Bi tidak merasa kehilangan. Supaya dia bisa menerima kepergian Radit. Toh, Radit pergi dan pasti kembali lagi."

"Tidak semudah itu, Nak. Kamu lupa? Yang ditinggalkan itu manusia, bukan tanaman yang hanya menunggu waktu untuk disiram dan dipupuk. Dia memiliki perasaan dan perasaannya itu yang kita lukai."

"Maksud Bunda?"

"Bunda pernah bilang, tidak ada lagi Bi yang ceria seperti dulu. Itu benar, dia seperti patung bernyawa. Dia hidup karena diperintah, disuruh makan, pergi ke sekolah, les, semua dia lakukan tanpa penolakan, tapi Bunda tidak melihat dia menikmati itu semua."

Radit tertegun mendengar ucapan sang bunda. Pantas saja jika Radit merasa bahwa adiknya seperti menjadi orang lain. Bunda Karina melanjutkan ceritanya. Kali ini dengan tetesan yang membasahi pipinya.

Wanita itu tak kuasa menahan bulir bening untuk jatuh. Ia bahkan mengusap beberapa kali karena tidak sanggup menceritakan bagaimana si kecil Birendra kala itu yang berdiri di depan pagar rumahnya di bawah guyuran hujan deras.

"Bunda ajak dia masuk, badannya menggigil, Dit. Bunda bawa dia ke kamarmu dan bawakan baju ganti buat dia. Satu hal yang bikin bunda nggak habis pikir, dia diam saja di kamarmu sambil bilang kangen berulang kali, sampai ketiduran."

"Om Yudis sama Tante Ajeng ke mana, Bund?"

"Mereka lagi ada acara ke luar kota."

"Ganesh?"

"Kamu tahu sendiri gimana Ganesh sejak ada Zio di sana. Dia lebih perhatian sama Zio daripada adik sendiri."

"Bunda nggak ajak Bi tidur di sini selama orang tuanya nggak di rumah?"

"Bunda lakukan itu, Nak. Dan kamu tahu? Bunda perlu berkali-kali meyakinkan Bi untuk percaya bahwa Bunda nggak akan ninggalin dia. Bunda juga izin sama Om Yudis dan Tante Ajeng buat rawat Bi karena waktu itu dia demam tinggi. Sampai waktu dia tidur pun, baju Bunda tetap dipegang dari saking takutnya Bunda tinggal."

Lelaki dengan mata tajam dan hidung mancung itu mengusap wajahnya. Perihal pergi saja bisa sampai separah itu, padahal perginya juga untuk kembali, tidak bersifat selamanya. Radit jadi berpikir dan mengingat kembali apa yang sudah ia lakukan sebelum dirinya pergi bersama sang ayah.

"Kamu ingat waktu kecil bahagia banget pas Bi sering main di rumah. Malah Ganesh kesal lihat kamu sering main sama Bi."

Radit terkekeh ketika mengingat masa kecilnya. "Siapa suruh dia lebih sering nemenin Zio, yaa udah, berhubung aku anak tunggal, aku embat aja adiknya."

"Kalau sekarang kira-kira gimana? Bi aja dinginnya melebihi kulkas dua pintu gitu sama kamu."

"Bunda nggak perlu khawatir, demi adik kesayangan akan ada seribu cara untuk menaklukkannya."

Bunda Karina mengelus kepala Radit, "Jangan dipaksakan kalau semisal dia masih susah diraih, berikan kesempatan untuk terbiasa lagi dengan kamu, Nak."

Radit mengangguk dan memberikan senyum terbaiknya. Ia sudah bertekad untuk memperbaiki lagi apa yang sudah ia rusak. Memulai lagi apa yang sudah ia akhiri sebelumnya.

🍀🍀🍀

Day 3
WPRD Batch 2

Bondowoso, 18 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro